Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 10/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-03-2022

Viktor Santoso Tandiasa, S.H., M.H., Muhammad Saleh, S.H., M.H., dan Nur Rizqi Khafifah yang memberikan kuasa kepada Harseto Setyadi Rajah, S.H. dkk. untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 175 Angka 6 UU 11/2020 yang memuat perubahan Pasal 53 ayat (4) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014)

Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 10/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh jajaran di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

[3.10] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan para Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan oleh para Pemohon, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa berkaitan dengan permohonan a quo, Mahkamah perlu menegaskan kembali berkenaan dengan UU 11/2020 yang telah diputus pengujian formilnya oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, bertanggal 25 November 2021, yang amarnya menyatakan:
1. Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima;
2. Mengabulkan permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI untuk sebagian;
3. Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”;
4. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini;
5. Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) menjadi inkonstitusional secara permanen;
6. Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) dinyatakan berlaku kembali;
7. Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
8. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
9. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 berkenaan dengan pengujian formil UU 11/2020 tersebut, terdapat 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, dan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul.

[3.11] Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah perlu menegaskan kembali pertimbangan hukum pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-XIX/2021, bertanggal 25 Januari 2022, Paragraf [3.11] yaitu,
[3.11] Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon dalam permohonan a quo yang menyatakan walaupun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dalam pengujian formil UU 11/2020 menyatakan UU a quo adalah inkonstitusional bersyarat, namun pengujian materiil masih dapat dilakukan sebab UU 11/2020 masih tetap berlaku. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, secara formil UU 11/2020 telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 sehingga secara formal tidak sah berlaku sampai ada perbaikan formil selama masa tenggang waktu 2 (dua) tahun dimaksud. Masa 2 (dua) tahun tersebut adalah masa perbaikan formil. Hal itu disebabkan karena dalam masa perbaikan formil tersebut tidak tertutup kemungkinan adanya perubahan atau perbaikan substansi yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Terlebih lagi, dalam amar Putusan a quo angka 7 Mahkamah menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dengan demikian, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon menjadi prematur. Pertimbangan demikian disebabkan oleh karena permohonan a quo diajukan setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, bertanggal 25 November 2021.
Berdasarkan kedua putusan Mahkamah Konstitusi di atas sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.10] dan Paragraf [3.11], telah jelaslah bahwa permohonan para Pemohon terhadap pengujian materiil UU 11/2020 adalah prematur karena diajukan selama masa tenggang waktu 2 (dua) tahun perbaikan formil UU 11/2020, dan tidak menutup kemungkinan adanya perubahan atau perbaikan substansi yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Adapun berkenaan dengan dalil adanya kekosongan hukum akibat dihapusnya kewenangan pengadilan, in casu Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menetapkan keputusan dan/atau tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum, menurut Mahkamah, hal tersebut tetap dapat dikaitkan dengan Pasal 175 angka 6 UU 11/2020 mengenai Perubahan Pasal 53 ayat (5) UU 30/2014 yang menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden”. Sebab, UU 11/2020 masih dinyatakan tetap berlaku, namun sepanjang dilakukan pengujian secara materiil, Mahkamah berpendapat, penilaian konstitusionalitasnya harus menunggu masa 2 (dua) tahun perbaikan UU 11/2020 berakhir. Dengan demikian, sesungguhnya tidak terdapat kekosongan hukum sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon, andaipun Peraturan Presiden belum mengaturnya atau materinya bertentangan dengan peraturan di atasnya, maka hal tersebut bukanlah merupakan kewenangan Mahkamah untuk menilainya.

[3.12] Menimbang bahwa setelah Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan, dikarenakan kerugian hak konstitusional para Pemohon belum ditentukan sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] dan Paragraf [3.6] di atas, maka sebelum Mahkamah berkesimpulan berkaitan dengan perkara a quo, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon, sebagai berikut:
Bahwa para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya mengemukakan kualifikasinya sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai advokat (Pemohon I), sebagai Peneliti (Pemohon II), dan berstatus sebagai mahasiswa (Pemohon III) yang memiliki hak konstitusional yang dijamin oleh konstitusi dan menganggap mengalami kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 UU MK.
Berkenaan dengan argumentasi para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya tersebut, setelah Mahkamah mencermati alat bukti yang diajukan, baik oleh Pemohon I, Pemohon II dan Pemohon III, Mahkamah mempertimbangkan, bahwa Pemohon I dalam menerangkan kedudukan hukumnya telah menganggap dirinya mengalami kerugian aktual dengan berlakunya norma yang dimohonkan pengujian. Namun demikian, setelah Mahkamah mencermati secara saksama bukti yang diajukan oleh para Pemohon, khususnya terhadap Pemohon I telah ternyata tidak terdapat surat kuasa yang bersifat khusus yang diberikan oleh prinsipal (klien) untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah hanya mendapatkan alat bukti surat kuasa khusus yang berasal dari prinsipal (klien) Pemohon I untuk dipergunakan mengajukan permohonan pada Dirjen Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM [vide bukti P-11] serta surat kuasa khusus untuk mengajukan upaya Fiktif Positif pada pengadilan TUN [vide bukti P-13]. Dengan demikian, Pemohon I sebagai advokat yang tidak secara langsung mengalami kerugian konstitusional, tidak dapat serta merta menggunakan kerugian prinsipal (klien) sebagai kerugian konstitusionalitasnya, kecuali dengan surat kuasa khusus mewakili kepentingan prinsipalnya (kliennya) tersebut untuk mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konsitusi.
Bahwa advokat tidak dapat menggunakan alasan kerugian konstitusional prinsipal (klien) tersebut sebagai alasan kerugian konstitusional Pemohon I sebagaimana yang telah Mahkamah tegaskan dalam putusan-putusan sebelumnya sebagai dasar untuk mempertimbangkan kedudukan hukum yang diajukan oleh advokat dengan didasarkan pada kasus tertentu yang telah dialami oleh prinsipalnya (kliennya). Sebab, subjek hukum yang mengalami kerugian kontitusional secara faktual sesungguhnya adalah prinsipal (klien), sedangkan advokat yang bersangkutan belum tentu mengalami kerugian spesifik maupun aktual dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Berkenaan dengan hal tersebut, selanjutnya penting dikutip kembali pendirian Mahkamah pada putusan sebelumnya, yaitu “Dalam menjalankan profesinya memberi jasa hukum, advokat ikut berperan penting dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui jasa hukum yang diberikan, advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan. Dengan demikian, tugas dan tanggung jawab advokat adalah terkait dengan kepentingan klien atau masyarakat yang diwakilinya. Jika pun ada kerugian konstitusional, hal itu hanya mungkin terjadi terhadap klien yang diwakili oleh Pemohon, atau dalam hal Pemohon sendiri secara pribadi sebagai pihak (bukan kuasa) telah dirugikan. Dalil-dalil Pemohon dalam permohonan ini, lebih mempersoalkan kerugian konstitusionalnya dalam menjalankan profesi advokat daripada sebagai pribadi yang langsung dirugikan oleh berlakunya norma Undang-Undang a quo [vide Putusan Mahkamah Konstitusi antara lain: Nomor 10/PUU-VIII/2010, Nomor 17/PUU-VIII/2010, Nomor 72/PUU-XII/2014 dan Nomor 32/PUU-XIV/2016].
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas Mahkamah berpendapat Pemohon I tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Demikian pula halnya dengan Pemohon II dan Pemohon III, walaupun telah menguraikan perihal kerugian konstitusionalnya, namun oleh karena kerugian tersebut tidak bersifat spesifik (khusus) dan aktual terjadi pada Pemohon II dan Pemohon III, maka menurut Mahkamah, Pemohon II dan Pemohon III tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo.

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Seandainyapun para Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non, telah ternyata pokok permohonan para Pemohon prematur.

[3.14] Menimbang bahwa terhadap pokok permohonan dan hal-hal lain dari permohonan a quo tidak dipertimbangkan lebih lanjut.