Euis Kurniasih; Jerry Indrawan G. S.IP., M.Si; Herdiansyah; A. Ismail Irwan Marzuki, S.H.; Bayu Widianto; dan Musono yang dalam hal ini memberikan kuasa khusus kepada Iqbal Tawakkal Pasaribu, S.H., M.H., Ade Yan Yan Hasbullah, S.H., dan Kurniawan, S.H., M.H., para Advokat yang tergabung dalam ITP & Associates Law Office, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.
Pasal 53 dan Frasa “usia pensiun paling tinggi 58 (lima puluh delapan) tahun bagi perwira dan 53 (lima puluh tiga) tahun bagi bintara dan tamtama” dalam Pasal 71 huruf a UU TNI
Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian UU TNI dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan yang pada pokoknya adanya pengaturan yang berbeda dalam hal usia pensiun antara prajurit TNI dengan anggota Polri yang mempunyai kesamaan sebagai alat negara dan kekuatan utama yang merupakan satu kesatuan dalam Sishankamrata, menimbulkan ketidakadilan karena adanya perlakuan yang berbeda terhadap hal yang sama, menimbulkan ketidakpastian hukum, dan menghilangkan kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Usaha pertahanan dan keamanan Negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung”. Hal tersebut dilakukan demi mencapai tujuan utama nasional yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Pertahanan dan keamanan Indonesia dalam perwujudannya tidak dapat dilepaskan dari fungsi dan peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Pemisahan secara kelembagaan yang setara antara TNI dan Polri dilakukan berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, bertanggal 18 Agustus 2000. Pemisahan dimaksud merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kinerja dan profesionalisme aparat pertahanan dan aparat keamanan. Dalam kaitan tersebut, TNI adalah alat negara yang berperan dalam pertahanan negara dan Polri adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan, ketertiban, dan penegakan hukum.
Bahwa dalam perannya sebagai alat pertahanan Negara, TNI bertugas menegakkan kedaulatan Negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Seiring dengan perkembangan global, ancaman terhadap keutuhan bangsa dan negara tidak hanya berasal dari militer namun juga non militer sehingga pertahanan negara tidak cukup didekati dari aspek militer yang hanya dikaitkan dengan fisik semata. Pertahanan negara memerlukan keterpaduan pertahanan militer dan pertahanan non militer melalui usaha membangun kekuatan dan kemampuan pertahanan negara yang kuat dan disegani serta memiliki daya tangkal tinggi. Oleh karenanya wajib bagi TNI untuk memiliki kemampuan dan keterampilan secara profesional sesuai dengan peran dan fungsinya.
Bahwa sejalan dengan peran TNI, Polri sebagai alat negara juga berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Sehingga Polri wajib memiliki keahlian dan keterampilan secara profesional.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, meskipun kedua alat negara tersebut (militer dan kepolisian) memiliki peran yang berbeda, namun pada dasarnya kedua lembaga ini memiliki kedudukan kelembagaan yang setara dan strategis pada setiap negara sehingga keduanya harus selalu bersinergi dalam mewujudkan sistem pertahanan keamanan negara.
[3.13.2] Bahwa dalam kaitannya dengan batas usia pensiun TNI yang menurut dalil para Pemohon perlu disetarakan dengan batas usia pensiun Polri, menurut Mahkamah, hal tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang yang sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada dan sesuai dengan jenis serta spesifikasi dan kualifikasi jabatan tersebut atau dapat pula melalui upaya legislative review. Namun demikian, meskipun penentuan batas usia pensiun TNI merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang, Mahkamah perlu menegaskan kembali bahwa peran yang dilakukan kedua alat negara (TNI dan Polri) memang berbeda namun keduanya memiliki kedudukan kelembagaan yang setara dan strategis serta merupakan kekuatan utama sistem pertahanan keamanan rakyat semesta sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 ayat (2) UUD 1945.
Mengacu pada keterangan Presiden dan keterangan DPR yang juga dibenarkan oleh keterangan Pihak Terkait (Panglima TNI), perubahan UU 34/2004 (termasuk mengenai ketentuan batas usia pensiun TNI) telah tercantum dalam Daftar Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Perubahan Kedua Tahun 2020-2024 nomor urut 131 berdasarkan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 8/DPR RI/II/2021-2022 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2022 dan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Perubahan Ketiga Tahun 2020- 2024, bertanggal 7 Desember 2021 [vide bukti PK-1] sehingga demi memberikan kepastian hukum, kiranya pembentuk undang-undang harus melaksanakan perubahan UU 34/2004 dimaksud dengan memprioritaskan pembahasannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, Pasal 53 dan frasa “usia pensiun paling tinggi 58 (lima puluh delapan) tahun bagi perwira dan 53 (lima puluh tiga) tahun bagi bintara dan tamtama” dalam Pasal 71 huruf a UU 34/2004 tidak bertentangan dengan Pasal 27, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430