Lieus Sungkharisma yang berprofesi Wiraswasta, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.
Pasal 222 UU Pemilu
Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.7] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukum dan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.7.1] Bahwa norma yang diajukan Pemohon berkenaan dengan ketentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam mengajukan permohonan pengujian ketentuan tersebut, Pemohon berkedudukan sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak konstitusional dalam memperoleh kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum;
[3.7.2] Bahwa berkaitan dengan kedudukan hukum perseorangan warga negara dalam mengajukan permohonan pengujian ketentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden in casu Pasal 222 UU 7/2017, Mahkamah telah mempertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-
XIX/2021 bertanggal 24 Februari 2022, yang telah diucapkan sebelumnya, antara lain menyatakan:
[3.6.2] …jelaslah bahwa Mahkamah pernah memberikan kedudukan hukum terhadap perseorangan warga negara yang memiliki hak memilih untuk menguji norma berkenaan dengan ketentuan ambang batas pencalonan presiden. Namun, oleh karena terdapat perbedaan mekanisme dan sistem yang digunakan dalam penentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu Tahun 2014 dengan Pemilu Tahun 2019 dan Pemilu berikutnya pada tahun 2024, sehingga terjadi pergeseran sebagaimana yang dipertimbangkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-XVIII/2020 bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan berkenaan dengan persyaratan ambang batas untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) in casu, Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.
[3.6.3] Bahwa partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu memiliki kerugian hak konstitusional untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017 sejalan dengan amanat konstitusi yaitu Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menentukan pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, bukan oleh perseorangan. Demikian juga sejalan dengan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 yang secara eksplisit menentukan hanya partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya yang dapat mengusulkan dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden untuk dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan. Ketentuan konstitusi tersebut semakin menegaskan Mahkamah bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu, bukan perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk memilih.
Adapun perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dapat dianggap memiliki kerugian hak konstitusional sepanjang dapat membuktikan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden atau menyertakan partai politik pendukung untuk secara bersama-sama mengajukan permohonan. Penilaian kerugian hak konstitusional yang demikian menurut Mahkamah tetaplah sejalan dengan Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945.
Dalam putusan tersebut terdapat 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih serta Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra. Dalam pendapat berbeda tersebut, yang selengkapnya termuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih berpendapat meskipun Pemohon perseorangan memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan mengenai ketentuan ambang batas pencalonan Pasangan Presiden dan Wakil Presiden, akan tetapi dalam pokok permohonan berpendapat tidak beralasan menurut hukum, sehingga permohonan Pemohon ditolak. Adapun Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra berpendapat Pemohon perseorangan memiliki kedudukan hukum dan dalam pokok permohonan berpendapat beralasan menurut hukum, sehingga mengabulkan permohonan Pemohon;
[3.7.3] Bahwa berdasarkan pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021 tersebut, terkait dengan kualifikasi Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk memilih (right to vote) dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah warga negara Indonesia, yang sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah menikah, Pemohon harus membuktikan bahwa Pemohon benar benar ikut serta dalam pemilihan umum sebagai pemilih dan telah menggunakan hak pilihnya yang dibuktikan dengan dokumen seperti kartu pemilih dan nama yang tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Jikapun bukti itu ada, quod non, berkenaan pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2019, pemilihan anggota legislatif serta pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan dalam waktu bersamaan (pemilu serentak), mekanisme dan sistem penentuan persyaratan ambang batas untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden pada pemilu tahun 2019. Menurut Mahkamah, Pemohon telah mengetahui hasil hak pilihnya dalam pemilu legislatif tahun 2019 akan digunakan juga sebagai bagian dari persyaratan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2024 yang hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu, sehingga tidak terdapat kerugian konstitusional Pemohon. Persoalan jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan berkontestasi dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tidak berkorelasi dengan norma Pasal 222 UU 7/2017 karena norma a quo tidak membatasi jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang berhak mengikuti pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian, selain Pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional dengan berlakunya norma Pasal 222 UU 7/2017, juga tidak terdapat hubungan sebab akibat norma a quo dengan hak konstitusional Pemohon sebagai pemilih dalam pemilu;
[3.7.4] Bahwa terkait dengan argumentasi Pemohon bahwa partai politik hanyalah kendaraan bagi para Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, sedangkan penerima manfaat utama dari penyelenggaraan pemilihan presiden dan wakil presiden adalah warga negara termasuk Pemohon, hal tersebut adalah bukan persoalan yang mendasar dalam permohonan a quo. Ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Makna dari “kedaulatan berada di tangan rakyat”, yaitu bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Perwujudan kedaulatan rakyat tersebut dilaksanakan melalui Pemilu sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih pemimpin melalui Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih dalam satu pasangan secara langsung.
Selanjutnya, sistem pemilu bangsa Indonesia merupakan perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pelaksanaan pemilu dikatakan berjalan secara demokratis apabila setiap warga negara Indonesia yang mempunyai hak pilih dapat menyalurkan pilihannya secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Setiap pemilih hanya dapat menggunakan hak pilihnya satu kali dan mempunyai nilai yang sama, yaitu satu suara (one person, one vote, one value). Sementara, yang dimaksud dengan peserta pemilu adalah partai politik untuk Pemilu anggota DPR, anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, perseorangan untuk Pemilu anggota DPD, dan pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (vide Pasal 1 angka 27 UU 7/2017). Dengan demikian, anggapan potensi kerugian yang diuraikan oleh Pemohon tidak berkaitan dengan isu konstitusionalitas norma a quo, sehingga Mahkamah berpendapat Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohoan a quo.
Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
[3.8] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430