Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 7/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILU TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 24-02-2022

Ikhwan Mansyur Situmeang, yang selanjutnya disebut Pemohon.

Pasal 222 UU 7/2017

Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 222 UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara seksama uraian Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.6.1] Bahwa norma yang diajukan Pemohon berkenaan dengan ketentuan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU 7/2017. Dalam mengajukan permohonan a quo, Pemohon berkedudukan sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang juga berprofesi sebagai ASN pada sekretariat Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI yang mendalilkan memiliki hak konstitusional untuk memilih dan dipilih dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
[3.6.2] Bahwa berkaitan dengan kedudukan hukum perseorangan warga negara dalam mengajukan permohonan pengujian ketentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden in casu Pasal 222 UU 7/2017, Mahkamah telah mempertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021 bertanggal 24 Februari 2022, yang telah diucapkan sebelumnya, antara lain menyatakan:
[3.6.2] …jelaslah bahwa Mahkamah pernah memberikan kedudukan hukum terhadap perseorangan warga negara yang memiliki hak memilih untuk menguji norma berkenaan dengan ketentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Namun, oleh karena terdapat perbedaan mekanisme dan sistem yang digunakan dalam penentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu Tahun 2014 dengan Pemilu Tahun 2019 dan Pemilu berikutnya pada tahun 2024, sehingga terjadi pergeseran sebagaimana yang dipertimbangkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-XVIII/2020 bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan berkenaan dengan persyaratan ambang batas untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) in casu, Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.
[3.6.3] Bahwa partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu memiliki kerugian hak konstitusional untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017 sejalan dengan amanat konstitusi yaitu Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menentukan pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, bukan oleh perseorangan. Demikian juga sejalan dengan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 yang secara eksplisit menentukan hanya partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya yang dapat mengusulkan dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden untuk dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan. Ketentuan konstitusi tersebut semakin menegaskan Mahkamah bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu, bukan perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk memilih.
Adapun perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dapat dianggap memiliki kerugian hak konstitusional sepanjang dapat membuktikan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden atau menyertakan partai politik pendukung untuk secara bersama-sama mengajukan permohonan. Penilaian kerugian hak konstitusional yang demikian menurut Mahkamah tetaplah sejalan dengan Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945.
Dalam putusan tersebut terdapat 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih serta Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra. Dalam pendapat berbeda tersebut, yang selengkapnya termuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih berpendapat meskipun Pemohon perseorangan memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan mengenai ketentuan ambang batas pencalonan Pasangan Presiden dan Wakil Presiden, akan tetapi dalam pokok permohonan berpendapat tidak beralasan menurut hukum, sehingga permohonan Pemohon ditolak. Adapun Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra berpendapat Pemohon perseorangan memiliki kedudukan hukum dan dalam pokok permohonan berpendapat beralasan menurut hukum, sehingga mengabulkan permohonan Pemohon.
[3.6.3] Bahwa berdasakan pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021 tersebut, berkenaan dengan kedudukan hukum Pemohon sebagai perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk memilih sehingga merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya pasal a quo karena membatasi hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan calon alternatif Presiden dan Wakil Presiden, menurut Mahkamah, hal tersebut tidaklah beralasan, karena Pemohon telah mengetahui hasil hak pilihnya dalam pemilu legislatif tahun 2019 akan digunakan juga sebagai bagian dari persyaratan ambang batas pencalonan Presiden pada tahun 2024 yang hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu, sehingga tidak terdapat kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon. Persoalan jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan berkontestasi dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tidak berkorelasi dengan norma Pasal 222 UU 7/2017 karena norma a quo tidak membatasi jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang berhak mengikuti pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian, selain Pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional dengan berlakunya norma Pasal 222 UU 7/2017, tidak terdapat hubungan sebab akibat norma a quo dengan hak konstitusional Pemohon sebagai pemilih dalam pemilu.
Adapun berkenaan dengan uraian argumentasi Pemohon terkait adanya anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon sebagai ASN in casu PNS Sekretariat Jenderal DPD RI [vide Risalah Sidang Pemeriksaan Pendahuluan tanggal 24 Januari 2022] yang menurut Pemohon secara spesifik atau aktual atau setidak-tidaknya potensial merugikan hak konstitusional Pemohon akibat berlakunya Pasal 222 UU 7/2017. Mahkamah tidak dapat meyakini Pemohon secara aktual maupun potensial mengalami kerugian konstitusional karena berlakunya pasal a quo, terlebih lagi, Pemohon sama sekali tidak menyampaikan alat bukti lain terkait dengan dukungan atau dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden dari partai politik atau gabungan partai politik serta tidak terdapat bukti yang berkenaan dengan syarat pencalonan. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, tidak terdapat kerugian konstitusional sebagaimana yang dimaksud oleh Pemohon, seandainya Pemohon didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk mencalonkan diri sebagai Presiden dan Wakil Presiden maka semestinya Pemohon menunjukkan bukti dukungan itu kepada Mahkamah.
Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
[3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.