Leonardo Siahaan dan Fransiscus Arian Sinaga. yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Eliandi Hulu, S.H., dkk untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.
Pasal 16 ayat (1) huruf d UU Kepolisian
Pasal 28G ayat (1), Pasal 28G ayat (2), dan Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 16 ayat (1) huruf d UU Polri dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Kedudukan Hukum Pemohon
[3.10] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan para Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan oleh para Pemohon, inti permohonan a quo sesungguhnya bertumpu pada persoalan apakah dengan tidak dibatasinya kewenangan Kepolisian untuk menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan diperiksa identitasnya sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d UU 2/2002 akan mengakibatkan aparat Kepolisian menjadi sewenang-wenang dalam melaksanakan tugasnya, yang seringkali menyebabkan kehormatan dan martabat seseorang yang dilindungi oleh Pasal 28G ayat (1), Pasal 28G ayat (2), dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, menjadi terabaikan. Terhadap dalil pokok permohonan para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.10.1] Bahwa kewenangan aparat Kepolisian untuk menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d UU 2/2002, merupakan norma yang sama isinya dengan norma dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu mengatur wewenang penyelidik untuk melaksanakan tugas dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam konteks permohonan para Pemohon, aparat Kepolisian yang melakukan patroli terutama pada malam hari dengan melakukan pemeriksaan seseorang yang dicurigai sesungguhnya akan memberikan rasa aman dan perlindungan pada masyarakat. Keberadaan aparat Kepolisian di jalan pada malam hari diharapkan akan meningkatkan keamanan dan ketertiban wilayah, serta memberikan perlindungan kepada masyarakat dari orang-orang yang berniat jahat ataupun orang-orang yang mengganggu ketertiban umum. Namun, yang menjadi permasalahan pokok permohonan a quo adalah kegiatan aparat Kepolisian yang sedang melakukan tugas memberhentikan orang yang dicurigai di jalan dan melakukan pemeriksaan identitas tersebut direkam dan ditayangkan di media televisi atau media lainnya.
Bahwa saat ini, semakin marak tayangan di media televisi dan platform digital lainnya yang menayangkan kegiatan aparat Kepolisian yang sedang menjalankan tugasnya baik kegiatan sederhana seperti mendisiplinkan lalu lintas, memeriksa orang yang mencurigakan di jalan, membubarkan kerumunan, maupun kegiatan penangkapan dan penggeledahan atas kejahatan berat seperti narkoba dan prostitusi. Bagi sebagian orang, tayangan di media televisi dan media sosial yang menayangkan kegiatan aparat Kepolisian sangat menarik untuk disaksikan. Tingginya minat masyarakat menonton tayangan demikian juga dapat dipahami karena orang-orang yang dianggap meresahkan dan mengganggu ketertiban umum itu berhasil diamankan oleh aparat Kepolisian.
Bahwa bagi Kepolisian, penayangan aktivitas aparat Kepolisian di berbagai media selain bertujuan sebagai bentuk keterbukaan informasi kepada masyarakat mengenai pelaksanaan tugas penegakan hukum dari Kepolisian, juga bertujuan untuk mengedukasi masyarakat menggunakan tayangan dari aksi nyata, di mana masyarakat dapat mengetahui aturan-aturan yang ada, kejahatan yang seringkali terjadi di jalan, sehingga masyarakat dapat lebih peduli dan waspada dengan lingkungan sekitarnya. Tayangan-tayangan seperti ini sesungguhnya juga menjadi pengetahuan hukum terutama hukum pidana bagi masyarakat, yang diharapkan akan memberikan efek jera kepada pelaku yang tertangkap sedang melakukan hal yang melanggar hukum ataupun mengganggu ketertiban umum. Selain itu, bagi masyarakat luas agar dapat lebih memperhatikan keluarga dan lingkungan sekitar sehingga menjauhi perilaku melanggar hukum dan mengganggu ketertiban umum;
Bahwa di pihak lain, media masa baik itu televisi dan platform digital yang bekerjasama dengan Kepolisian untuk menayangkan kegiatan Kepolisian memiliki tanggung jawab besar untuk memberikan informasi yang cepat, tepat, akurat dan benar kepada masyarakat. Namun sebaliknya, media masa dengan semua tayangannya dapat menjadi pembentuk opini masyarakat. Oleh karenanya, meskipun kemerdekaan pers dijamin oleh Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (selanjutnya disebut UU 40/1999), namun Pasal 5 UU 40/1999 membatasi kebebasan pers dengan kewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
[3.10.2] Bahwa terhadap dalil permohonan para Pemohon tayangan kegiatan aparat Kepolisian yang memberhentikan orang yang dicurigai dengan melakukan tindakan yang melanggar kehormatan dan martabat seseorang, Mahkamah mendasarkan pada Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang menjamin kehormatan, martabat, dan derajat manusia. Dalam suatu negara hukum, perlindungan terhadap kehormatan, martabat, derajat, serta nama baik seseorang harus dilindungi oleh hukum yang berlaku. Dalam hukum, berlaku asas praduga tak bersalah, yang dalam butir 3 huruf c Penjelasan Umum KUHAP dinyatakan bahwa “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memeroleh kekuatan hukum tetap.” Hal ini juga ditegaskan kembali dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam penerapan asas praduga tak bersalah seseorang harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat martabat. Dia harus dinilai sebagai subjek, bukan objek. Perbuatan tindak pidana yang dilakukan itulah yang menjadi objek pemeriksaan. Oleh karena itu, seseorang harus dianggap tidak bersalah, sesuai dengan asas praduga tak bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah menyatakan kesalahannya dan berkekuatan hukum tetap.
Bahwa dalam konteks permohonan a quo, menurut Mahkamah setiap tayangan di media manapun yang dapat disaksikan oleh masyarakat luas akan membentuk opini publik, karena memang itulah tugas media dan pers sebagaimana telah disebutkan pada Paragraf [3.10.1] di atas. Oleh karena itu, yang harus menjadi perhatian adalah bahwa dengan tayangan tersebut persepsi penonton yang berasal dari berbagai kalangan akan terbentuk dan tidak bisa dibendung dan dibatasi, yang terkadang akan menyudutkan seseorang dan menimbulkan stigma yang tidak baik. Padahal orang yang diberhentikan di jalan yang ditayangkan di media belum tentu terbukti melakukan pelanggaran, sedangkan opini masyarakat telah terlanjur terbentuk. Di sinilah pentingnya penerapan asas praduga tak bersalah, di mana orang yang dicurigai dan diberhentikan petugas seharusnya diperlakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Namun demikian, seandainyapun terjadi tindakan yang merendahkan harkat dan martabat manusia saat aparat Kepolisian menjalankan kewenangannya yang diatur Pasal 16 ayat (1) huruf d UU 2/2002 dan kemudian ditayangkan di media, apakah dapat dikatakan norma a quo inkonstitusional karena tidak memberi batasan? Hal inilah yang menjadi persoalan utama yang harus dijawab.
[3.10.3] Bahwa untuk menjawab persoalan utama permohonan para Pemohon, maka Mahkamah akan melihat kembali pada norma Pasal 16 ayat (1) huruf d UU 2/2002 yang tidak dapat dilepaskan dengan norma Pasal 13 UU 2/2002 mengenai tugas pokok Kepolisian yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Menurut Mahkamah sebagai sebuah norma, Pasal 16 ayat (1) huruf d UU 2/2002 telah jelas rumusannya, dan tidak menimbulkan tafsir yang berbeda. Norma-norma yang mengatur tugas dan kewenangan demikian menurut Mahkamah tidaklah harus dijelaskan lebih lanjut karena sudah cukup jelas. Kewenangan memberhentikan orang yang dicurigai merupakan langkah awal dilakukannya pemeriksaan untuk menemukan tindak pidana atau pelanggaran hukum dalam suatu peristiwa. Kewenangan demikian, adalah kewenangan yang dimiliki oleh Kepolisian di negara manapun.
Bahwa dengan tidak adanya batasan yang tersurat dalam norma Pasal 16 ayat (1) huruf d UU 2/2002 yang menyebutkan kalimat “untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta tidak melakukan perekaman atau pengambilan video yang bertujuan untuk ditayangkan di televisi dan/atau youtube dan/atau media lainnya tanpa izin dari orang yang diperiksa”, sebagaimana permintaan para Pemohon, bukan berarti norma a quo melanggar hak atas jaminan perlindungan harkat dan martabat apalagi merendahkan derajat manusia yang telah dijamin oleh Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Batasan-batasan dari kewenangan a quo dalam teknis pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksana, yang tidak mungkin kesemuanya tertuang dalam undang-undang. Selain itu, semua kewenangan Kepolisian yang diatur dalam Pasal 16 UU 2/2002 tetap tunduk pada batasan-batasan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Terlebih lagi, dalam Pasal 19 ayat (1) UU 2/2002 diatur secara tegas bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Kepolisian senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Pasal 34 UU 2/2002 juga menegaskan bahwa sikap dan perilaku pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia terikat pada Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Bahwa selain itu Kepolisian juga memiliki Standar Operasional Prosedur, aturan disiplin, dan Peraturan Kapolri dalam pelaksanaan tugas, di mana setiap aparat Kepolisian terikat pada semua peraturan tersebut, dan jika melanggar peraturan maka aparat yang bersangkutan harus mempertanggungjawabkannya baik secara hukum, moral, maupun secara teknik profesi dan terutama hak asasi manusia. Sebagai pedoman hidup Kepolisian juga memiliki Tri Brata dan Catur Prasatya yang merupakan sumber nilai Kode Etik Profesi Kepolisian yang mengalir dari falsafah Pancasila yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, sehingga harus tercermin pada aparat Kepolisian RI dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Komitmen untuk memperhatikan hak asasi manusia dalam pelaksanaan tugas Kepolisian disebutkan dalam Penjelasan Umum UU 2/2002 pada pokoknya menyatakan perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia sangat penting karena menyangkut harkat dan martabat manusia. Selain itu, setiap anggota Kepolisian wajib mempedomani dan menaati ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam dan Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lebih lanjut, aparat Kepolisian juga harus memerhatikan perundang-undangan yang berkaitan dengan tugas dan wewenangnya antara lain KUHAP dan peraturan perundang-undangan lain yang menjadi dasar hukum pelaksanaan tugas dan wewenang Kepolisian.
Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka telah jelas terdapat batasan-batasan yang berlaku dalam pelaksanaan norma Pasal 16 ayat (1) huruf d UU 2/2002 meskipun tidak tersurat dalam norma a quo. Oleh karena itu, apabila dalam pelaksanaannya terjadi pelanggaran maka hal itu adalah persoalan implementasi dari norma dimaksud, bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma.
[3.11] Menimbang bahwa terlepas dari tidak adanya persoalan inkonstitusionalitas norma terhadap Pasal a quo, Mahkamah mengingatkan agar masyarakat selalu mendukung pelaksanaan tugas Kepolisian dengan menyeimbangkan perlindungan hak asasi yang dimilikinya dengan cara tidak segan-segan untuk mengingatkan kepada aparat Kepolisian dan mengajukan keberatan apabila dalam pelaksanaan tugasnya Kepolisian melanggar hak asasinya.
Bahwa lebih lanjut berkenaan dengan pelaksanaan norma Pasal 16 ayat (1) huruf d UU 2/2002 Mahkamah menegaskan agar diimplementasikan dengan selalu menjunjung prinsip due process of law yang berdampingan dengan asas praduga tak bersalah sebagaimana diamanatkan oleh KUHAP.
[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa tidak adanya batasan kewenangan Kepolisian yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d UU 2/2002 bukanlah menjadi penyebab oknum Kepolisian melakukan tindakan yang merendahkan martabat dan kehormatan orang lain. Persoalan yang para Pemohon dalilkan bukanlah persoalan konstitusionalitas norma, melainkan persoalan implementasi dari norma Pasal 16 ayat (1) huruf d UU 2/2002. Persoalan implementasi norma terkait dengan tayangan kegiatan Kepolisian yang marak di media masa menurut Mahkamah telah memiliki batasan yang jelas sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, kode etik profesi, serta peraturan pelaksana lainnya. Oleh karena itu, baik aparat Kepolisian maupun media masa diharapkan dapat selalu berhati-hati dalam menjalankan tugas dan fungsinya, agar tetap dalam koridor yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, menurut Mahkamah Pasal 16 ayat (1) huruf d UU 2/2002 adalah norma yang konstitusional. Sehingga, kekhawatiran para Pemohon berkenaan dengan adanya tindakan merendahkan harkat dan martabat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, dan kekhawatiran akan diperlakukan semena-mena sebagaimana dijamin dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, merupakan persoalan implementasi norma a quo, bukan persoalan inkonstitusionalitas norma.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430