Gunawan A. Tauda, S.H., LL.M (Dosen Fakultas Hukum Universitas Khairun - PNS) dan Abdul Kadir Bubu, S.H., M.H. (Dosen Fakultas Hukum Universitas Khairun - PNS), untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.
Pasal 9 ayat (1) UU 46/1999.
Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian UU 46/1999 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.6] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh ihwal kedudukan hukum para Pemohon, Mahkamah perlu menegaskan hal-hal sebagai berikut:
[3.6.1] Bahwa sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XIII/2015 bertanggal 13 Oktober 2016, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya terkait dengan siapa pihak yang dapat mewakili kepentingan daerah untuk melakukan pengujian norma yang berkaitan dengan urusan pemerintahan daerah sebagai berikut:
“... apabila terhadap urusan pemerintahan yang diselenggarakan oleh pemerintahan daerah ada pihak yang secara aktual ataupun potensial menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU Pemda maka pihak dimaksud adalah Pemerintahan Daerah, baik Pemerintahan Daerah provinsi atau Pemerintahan Daerah kabupaten/kota. Sehingga, pihak yang dapat mengajukan permohonan dalam kondisi demikian adalah Kepala Daerah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yaitu Gubernur bersama-sama dengan DPRD Provinsi untuk Pemerintahan Daerah Provinsi atau Bupati/Walikota bersama-sama dengan DPRD Kabupaten/Kota untuk Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.”
Pertimbangan Mahkamah demikian kemudian antara lain ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XVIII/2020 bertanggal 25 November 2020 yang dalam pertimbangannya Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
“Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XIII/2015 ini menegaskan bahwa terhadap persoalan yang kewenangannya dipegang secara bersama-sama antara pemerintah daerah dan DPRD sebagai penyelenggara pemerintahan daerah maka pihak yang dirugikan dengan berlakunya UU terkait dengan daerah adalah Pemerintahan Daerah. Selain itu juga ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan pemerintahan daerah adalah Kepala Daerah sebagai satu kesatuan dengan DPRD. Penegasan mengenai hal ini pun termaktub dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU 23/2014) yang menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Selain itu, Pasal 57 UU 23/2014 juga menyatakan bahwa penyelenggara pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota terdiri atas kepala daerah dan DPRD dibantu oleh Perangkat Daerah. Atas dasar itu maka yang dapat mengajukan permohonan mewakili daerah adalah Kepala Daerah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yaitu Gubernur bersama-sama dengan DPRD Provinsi untuk pemerintahan daerah Provinsi atau Bupati/Walikota bersama-sama dengan DPRD Kabupaten/Kota untuk Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota;”
Oleh karena itu, menjadi jelas pendirian Mahkamah terkait dengan pihak yang dapat mewakili kepentingan daerah untuk melakukan pengujian norma yang berkaitan dengan pemerintahan daerah adalah kepala daerah (gubernur atau bupati/walikota) bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (provinsi atau kabupaten/kota);
[3.6.2] Bahwa terkait dengan hal tersebut, oleh karena yang ditentukan dalam Pasal 9 ayat (1) UU 46/1999 adalah berkenaan dengan penetapan administratif Sofifi sebagai Ibukota Provinsi Maluku Utara yang berkaitan erat dengan pemerintahan daerah, maka yang dapat mewakili kepentingan daerah untuk mengajukan pengujian ketentuan dimaksud adalah pemerintahan daerah. Berkenaan dengan hal itu, saat Persidangan Pendahuluan secara daring pada 25 Oktober 2021, Majelis Panel Hakim telah memberikan nasihat kepada para Pemohon untuk memperkuat kedudukan hukum Pemohon dengan melibatkan pemerintahan daerah, karena persoalan yang dimohonkan oleh para Pemohon berkaitan langsung dengan pemerintahan daerah [vide Berita Acara Persidangan Perkara 54/PUU-XIX/2021 tanggal 25 Oktober 2021]. Namun demikian, para Pemohon dalam perbaikan permohonannya tidak dapat mengikutsertakan pemerintahan daerah sebagai pemohon. Dalam Persidangan Pendahuluan dengan acara perbaikan permohonan yang juga dilakukan secara daring pada 8 November 2021, para Pemohon menjelaskan kepada Majelis Panel Hakim bahwasanya Pemerintah Provinsi Maluku Utara melalui Sekretaris Daerah Provinsi Maluku Utara menyikapi positif upaya para Pemohon, namun pemerintah daerah tidak ikut serta. Sedangkan untuk Pemerintah Kota Tidore Kepulauan memutuskan akan mengajukan diri sebagai Pihak Terkait [vide Berita Acara Persidangan Perkara 54/PUU-XIX/2021 tanggal 8 November 2021];
Dengan demikian, walaupun para Pemohon telah menjelaskan adanya hak konstitusional yang dijamin dalam UUD 1945, namun sesuai dengan asas yang berlaku universal dalam gugatan di pengadilan, yaitu point d’interet point d’action, tanpa kepentingan tidak ada suatu tindakan, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo;
[3.7] Menimbang bahwa oleh karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon maka pokok permohonan para Pemohon tidak dipertimbangkan.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430