Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Materil Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 56/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN MATERIL UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2014 TENTANG TENAGA KESEHATAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 15-12-2021

Dr. Ir. H. M. Budi Djatmiko, SK., M.Si., M.E.I. yang dalam hal ini diwakili Didi Cahyadi Ningrat, S.H., Fanny Fauzie, S.H., M.H., Guntur Abdurrahman, S.H., M.H., dan Khairul Abbas, S.H., S.Kep., M.K.M. yang tergabung dalam kantor Hukum DIDI CAHYADI NINGRAT & REKAN Advocates & Legal Consultants, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 21 ayat (1) UU 36/2014

Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materil UU 36/2014 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.7] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan frasa “secara nasional” dalam Pasal 21 ayat (1) serta Pasal 21 ayat (7) UU 36/2014 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut (dalil permohonan Pemohon selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara):
1. Bahwa menurut Pemohon, frasa “secara nasional” dalam norma Pasal 21 ayat (1) UU 36/2014 membuka ruang kemandirian-otonomi-kemerdekaan masingmasing perguruan tinggi akan “dikebiri” dengan adanya upaya untuk menarik kembali sebagian kewenangan masing-masing perguruan tinggi dalam hal pelaksanaan uji kompetensi ke pemerintah pusat;
2. Bahwa menurut Pemohon, Pasal 21 ayat (7) UU 36/2014 membuka ruang penyelenggaraan uji kompetensi mahasiswa tenaga kesehatan diatur ulang ataupun diubah hanya dengan “Peraturan Menteri” tanpa harus mengubah undang-undang yang menjadi dasar hukum sebelumnya, padahal pelaksanaan uji kompetensi tersebut sebelumnya merupakan bagian integral dari kewenangan yang telah diberikan kepada perguruan tinggi kesehatan;
3. Bahwa menurut Pemohon, frasa “secara nasional” pada Pasal 21 ayat (1) dan ketentuan Pasal 21 ayat (7) UU 36/2014 tidak mendorong peningkatan mutu pendidikan tinggi kesehatan, tidak membawa iklim yang kondusif bagi berlangsungnya proses pendidikan tenaga kesehatan, telah mengerdilkan keberadaan Perguruan Tinggi yang notabene mempunyai kemandirian dan otonomi dalam membentuk manusia Indonesia yang berpendidikan, sehingga pemaknaan yang demikian haruslah ditinjau kembali dan dengan segera harus diluruskan sejalan dengan semangat konstitusi;
4. Bahwa berdasarkan dalil permohonan di atas, Pemohon memohon agar Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon dengan menyatakan:
a. Frasa “secara nasional” pada ketentuan Pasal 21 ayat (1) UU 36/2014 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga bunyi ketentuan norma pada Pasal 21 ayat (1) yang konstitusional adalah “(1) Mahasiswa bidang kesehatan pada akhir masa pendidikan vokasi dan profesi harus mengikuti Uji Kompetensi”;
b. Pasal 21 ayat (7) UU 36/2014 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;

[3.8] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-12 yang telah disahkan dalam persidangan.
[3.9] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, dengan berlandaskan pada Pasal 54 UU MK, oleh karena permohonan a quo telah jelas, maka Mahkamah berpendapat tidak terdapat urgensi untuk meminta keterangan pihak-pihak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 54 UU MK;
[3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan Pemohon, Mahkamah perlu terlebih dahulu mempertimbangkan mengenai pengujian norma Pasal 21 ayat (1) UU 36/2014 yang sebelumnya pernah diajukan pengujian dan telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XIII/2015, bertanggal 14 Desember 2016 dengan amar, antara lain, menolak permohonan para Pemohon. Berkenaan dengan hal tersebut, Mahkamah akan mempertimbangkan apakah permohonan a quo memenuhi kriteria sebagaimana ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap pengujian norma a quo dapat dimohonkan kembali.
Bahwa ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021 masingmasing menyatakan sebagai berikut: Pasal 60 UU MK (1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda. Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan: (1) Terhadap materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.
Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo mengajukan pengujian norma Pasal 21 ayat (1) UU 36/2014 terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Adapun dalam Perkara Nomor 82/PUU-XIII/2015, para Pemohon mengajukan pengujian, antara lain, norma Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU 36/2014 terhadap Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Sehingga, dengan adanya penambahan dasar pengujian dalam permohonan a quo, yaitu Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 maka terlepas secara substansial permohonan a quo beralasan menurut hukum atau tidak, namun secara formal berdasarkan ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021, permohonan a quo dapat diajukan kembali.
[3.11] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon berdasarkan ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021 dapat diajukan kembali, maka Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon lebih lanjut.
[3.12] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa Pemohon mendalilkan frasa “secara nasional” dalam Pasal 21 ayat (1) UU 36/2014 membuka ruang kemandirian-otonomi-kemerdekaan masing-masing perguruan tinggi akan “dikebiri” dengan adanya upaya untuk menarik kembali sebagian kewenangan masing-masing perguruan tinggi dalam hal pelaksanaan uji kompetensi ke pemerintah pusat. Berkenaan dengan dalil Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk mengutip pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XIII/2015, bertanggal 14 Desember 2016, Paragraf [3.12] yang menyatakan:
[3.12] Menimbang bahwa dalam menghadapi tuntutan perkembangan bidang kesehatan, rakyat mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang terbaik, hak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28A UUD 1945. Pelayanan kesehatan yang diatur oleh Pemerintah melalui pembentukan peraturan perundang-undangan tentunya harus mendasarkan kepada hakhak warga Negara dan tujuan Negara sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 …” Mendasarkan pada pertimbangan Mahkamah tersebut, kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Artinya, setiap orang memiliki hak yang sama dalam memeroleh akses pelayanan kesehatan termasuk juga kualitas pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu. Berkenaan dengan hal itu, kompetensi tenaga kesehatan dalam melaksanakan profesinya erat kaitannya dengan peningkatan derajat kesehatan masyarakat serta merupakan landasan utama bagi tenaga kesehatan untuk dapat melakukan pelayanan kesehatan yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam menjaga mutu tenaga kesehatan adalah dengan melakukan uji kompetensi. Bahwa Pasal 21 ayat (1) UU 36/2014 mengatur keharusan bagi mahasiswa bidang kesehatan untuk mengikuti uji kompetensi secara nasional pada akhir masa pendidikan vokasi dan profesi. Uji kompetensi secara nasional merupakan kebijakan Pemerintah sebagai upaya menjamin mutu tenaga kesehatan secara terpadu, baik dari sektor pendidikan maupun pelayanan yang dimulai dari penjaminan kualitas lulusan pendidikan tinggi kesehatan. Persoalan selanjutnya yang harus dijawab adalah apakah frasa “secara nasional” pada norma Pasal 21 ayat (1) UU a quo membuka ruang pengebirian kemandirian masing-masing perguruan tinggi dikarenakan adanya upaya untuk menarik kembali sebagian kewenangan masing-masing perguruan tinggi dalam hal pelaksanaan uji kompetensi ke pemerintah pusat sebagaimana dalil Pemohon.
Terhadap persoalan tersebut, menurut Mahkamah, uji kompetensi secara nasional merupakan salah satu cara efektif untuk meningkatkan proses pendidikan dan menajamkan pencapaian relevansi kompetensi sesuai dengan standar kompetensi yang diperlukan masyarakat. Tujuan uji kompetensi secara nasional di antaranya adalah untuk menyaring tenaga kesehatan Indonesia yang kompeten guna memberikan pelayanan kesehatan secara paripurna kepada masyarakat, dengan prinsip utama keselamatan pasien. Selain itu, uji kompetensi secara nasional diharapkan dapat mendorong perbaikan kurikulum dan proses pembelajaran di setiap institusi pendidikan. Dengan jaminan kualitas pendidikan yang lebih baik maka masyarakat sebagai pengguna lulusan akan mendapatkan jaminan bahwa lulusan perguruan tinggi memang memiliki kompetensi untuk mengelola dan melayani pasien di tatanan kesehatan. Hal tersebut justru lebih memberikan perlindungan dan jaminan kepastian hukum baik kepada tenaga kesehatan maupun kepada masyarakat umum.
Bahwa terkait dengan penyelenggaraan uji kompetensi, Pasal 21 ayat (2) UU 36/2014 menyatakan, “Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi bekerja sama dengan Organisasi Profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi”. Artinya, penyelenggara uji kompetensi tersebut adalah Perguruan Tinggi bekerja sama dengan Organisasi Profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi. Sehingga, tidaklah benar jika kemudian dengan keberlakuan uji kompetensi secara nasional telah mengebiri kemandirian perguruan tinggi kaitan dengan penyelenggaraan uji kompetensi dimaksud. Apalagi, dalam rangka penjaminan mutu lulusan, sesuai dengan Pasal 19 ayat (1) UU 36/2014 penyelenggaraan pendidikan tinggi bidang kesehatan hanya dapat menerima mahasiswa sesuai dengan kuota nasional, sehingga uji kompetensi secara nasional menjadi bagian tidak terpisahkan dalam rangka memenuhi standar nasional pendidikan tenaga kesehatan.
Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut, dalil Pemohon yang pada pokoknya menyatakan bahwa frasa “secara nasional” dalam Pasal 21 ayat (1) UU 36/2014 telah mengebiri kemandirian masing-masing perguruan tinggi khususnya terkait penyelenggaraan uji kompetensi adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.12.2] Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 21 ayat (7) UU 36/2014 membuka ruang penyelenggaraan uji kompetensi mahasiswa tenaga kesehatan diatur ulang ataupun diubah hanya dengan “Peraturan Menteri” tanpa harus mengubah undang- undang yang menjadi dasar hukum sebelumnya. Padahal, pelaksanaan uji kompetensi tersebut sebelumnya merupakan bagian integral dari kewenangan yang telah diberikan kepada perguruan tinggi kesehatan.
Terhadap dalil Pemohon a quo, menurut Mahkamah, pembentukan Peraturan Menteri yang didasarkan karena adanya pendelegasian kewenangan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, in casu UU, diperkenankan sepanjang substansi yang diatur dalam Peraturan Menteri tersebut bersifat pelaksanaan terhadap peraturan yang lebih tinggi. Hal ini dimungkinkan karena tidak semua substansi dapat diatur dalam UU, termasuk juga UU 36/2014. Pasal 21 ayat (7) UU 36/2014 memberikan delegasi kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan untuk membentuk Peraturan Menteri mengenai tata cara pelaksanaan Uji Kompetensi. Peraturan Menteri a quo menjadi penting keberadaanya karena selain menjalankan perintah pendelegasian yang diberikan oleh UU 36/2014, Peraturan Menteri ini juga diperlukan untuk mengatur lebih lanjut hal-hal teknis yang terkait dengan pelaksanaan uji kompetensi secara nasional agar memiliki standar dan tata cara pelaksanaan yang sama sehingga menimbulkan kepastian hukum. Meskipun demikian, materi muatan dalam Peraturan Menteri a quo juga haruslah selaras dan tidak boleh bertentangan dengan UU 36/2014 atau bahkan menciptakan norma hukum baru yang tidak diatur dalam undang-undang yang memerintahkan pembentukan Peraturan Menteri dimaksud.
Bahwa berkenaan dengan hal tersebut, andaipun terdapat Peraturan Menteri yang oleh Pemohon dianggap bertentangan dengan UU 36/2014, khususnya terkait dengan pelaksanaan uji kompetensi sebagaimana diatur dalam norma Pasal 21 UU 36/2014, persoalan tersebut bukanlah menjadi kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, dalil Pemohon yang pada pokoknya menyatakan Pasal 21 ayat (7) UU 36/2014 membuka ruang penyelenggaraan uji kompetensi mahasiswa tenaga kesehatan diatur ulang ataupun diubah hanya dengan “Peraturan Menteri” sehingga bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah, frasa “secara nasional” dalam Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 21 ayat (7) UU 36/2014 tidaklah melanggar prinsip negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan kepastian hukum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.