Alvin Lim, S.H., M.Sc., La Ode Surya Alirman, S.H., Jaka Maulana, S.H., Pestauli Saragih, S.H., dan Franziska Martha Ratu Runturambi, S.H., yang kesemuanya merupakan Advokat/Konsultan Hukum berkedudukan hukum di Law Firm LQ, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.
Pasal 77 huruf a UU 8/1981
Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian materil UU UU 8/1981 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.7] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut mengenai pokok permohonan Pemohon, oleh karena terhadap pengujian konstitusionalitas
norma Pasal 77 huruf a KUHAP pernah diajukan permohonan pengujian, maka Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan apakah permohonan a quo memenuhi kriteria sebagaimana ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat dilakukan pengujian kembali.
Terhadap persoalan tersebut Mahkamah mempertimbangkan perihal Pasal 77 huruf a KUHAP pernah diajukan pengujiannya beberapa kali kepada Mahkamah, sebagai berikut:
[3.7.1] Bahwa Pasal 77 huruf a KUHAP pernah diujikan dalam Perkara Nomor 102/PUU-XI/2013, Perkara Nomor 67/PUU-XII/2014, Perkara Nomor 35/PUUXIII/2015 dan Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015, terhadap perkara-perkara tersebut, Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon, yang dapat diuraikan selengkapnya sebagai berikut:
1. Perkara Nomor 102/PUU-XI/2013, telah diputus pada tanggal 20 Februari 2014, dasar pengujian yang digunakan adalah Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;
2. Perkara Nomor 67/PUU-XII/2014, telah diputus pada tanggal 21 Januari 2015, dasar pengujian yang digunakan adalah Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
3. Perkara Nomor 35/PUU-XIII/2015, telah diputus pada tanggal 20 Oktober 2015, dasar pengujian yang digunakan adalah Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
4. Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015, telah diputus pada tanggal 26 Mei 2015 dimana Pemohon menarik permohonannya.
[3.7.2] Bahwa Pasal 77 huruf a KUHAP pun pernah diajukan dalam Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 dan Perkara Nomor 9/PUU-VII/2019, di mana terhadap 2 (dua) perkara tersebut Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon a quo, yang dapat diuraikan selengkapnya sebagai berikut:
1. Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 telah diputus pada 28 April 2015, dengan dasar pengujian yang digunakan adalah Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 dengan alasan Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat apabila tidak dimaknai mencakup sah atau tidak sahnya penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Perkara tersebut telah diputus dengan salah satu amar putusannya adalah mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian dan Mahkamah menyatakan Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.
2. Perkara Nomor 9/PUU-VII/2019 telah diputus pada 15 April 2019 perihal pengujian Pasal 77 huruf a KUHAP yang normanya telah diubah atau dimaknai oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 sehingga selengkapnya berbunyi “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: (a) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan”. Dasar pengujian yang digunakan dalam Perkara Nomor 9/PUUVII/2019 tersebut adalah Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang memohon Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila tidak dimaknai termasuk penghentian penyelidikan. Menurut Pemohon karena penyelidikan dan penyidikan merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan sehingga penghentian penyelidikan harus diartikan sama dengan penghentian penyidikan yang merupakan objek praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf a KUHAP. Terhadap perkara tersebut telah diputus oleh Mahkamah dengan amar putusan yang menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
[3.7.3] Bahwa Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal 77 huruf a KUHAP yang normanya telah diubah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 sehingga selengkapnya berbunyi “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: (a) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, menurut hukum atau tidak maka secara formal permohonan a quo berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021 dapat diajukan kembali;
[3.7.4] Bahwa walaupun objek permohonan dan alasan Pemohon sama dengan
Perkara Nomor 9/PUU-VII/2019, namun perkara a quo memiliki dasar pengujian
yang berbeda yaitu Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, oleh karenanya dengan adanya
perbedaan sebagaimana telah diuraikan pada Sub-paragraf [3.7.2] dan Subparagraf [3.7.3] di atas, terlepas secara substansial permohonan a quo beralasan
[3.8] Menimbang bahwa karena permohonan Pemohon dapat diajukan kembali karena secara formal telah memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021, maka Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon;
[3.9] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 77 huruf
a KUHAP, Pemohon mengemukakan dalil-dalil yang pada pokoknya sebagai berikut (alasan-alasan Pemohon selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara Putusan ini):
1. Bahwa menurut Pemohon, terhadap laporan polisi nomor LP/1860/IV/YAN.2.5/2021/SPKT PMJ tanggal 7 april 2021 yang dilaporkan oleh Pemohon terhadap dugaan tindak pidana penipuan, Pemohon melalui kuasa hukumnya telah mengajukan saksi untuk kepentingan pemeriksaan laporan;
2. Bahwa menurut Pemohon, terhadap laporan sebagaimana dimaksud pada angka 1, Pemohon telah menerima Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) dengan nomor B/2817/VIII/RES.1.11/2021/ Ditreskrimum bertanggal 16 Agustus 2021 yang pada intinya menyatakan dugaan tindak pidana penipuan yang dilaporkan bukan merupakan tindak pidana dan penyelidikan telah dihentikan;
3. Bahwa menurut Pemohon, terhadap penghentian penyelidikan tersebut, Pemohon mengajukan keberatan dengan surat nomor 124/ASK/PIDLQICTR/IX/2021 tanggal 20 November 2021 kepada Polda Metro Jaya yang salah satunya isinya menyatakan keberatan terhadap penghentian penyelidikan karena telah dipenuhinya 2 alat bukti berupa keterangan saksi dan bukti surat yang telah diajukan oleh Pemohon serta meminta untuk diadakan gelar perkara khusus secara terbuka, namun surat tersebut tidak mendapatkan balasan dan Pemohon tidak mendapatkan haknya dalam hal mendapatkan kepastian hukum yang adil;
4. Bahwa menurut Pemohon, berdasarkan definisi penyidikan dan tugas penyelidik dapat diketahui bahwa penyelidikan dan penyidikan adalah satu kesatuan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan”. Dasar pengujian yang digunakan adalah Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila tidak dimaknai termasuk penghentian penyelidikan karena menurut Pemohon penyelidikan dan penyidikan merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan sehingga penghentian penyelidikan harus diartikan sama dengan penghentian penyidikan yang merupakan objek praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf a KUHAP.
5. Bahwa menurut Pemohon, dengan dimasukannya penghentian penyelidikan sebagai objek praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 huruf a UU 8/1981 merupakan bentuk pelaksanaan check and balance system atau fungsi kontrol yang dapat meminimalisir tindakan sewenang-wenang penyelidik. Sehingga, hak konstitusional baik tersangka maupun pelapor dalam hal memperjuangkan haknya dan mendapatkan kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dapat terpenuhi.
6. Bahwa berdasarkan alasan-alasan di atas Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, ”sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, penghentian penyelidikan atau penyidikan atau penghentian penuntutan atau penetapan tersangka“.
[3.10] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti
P-11.
[3.11] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon telah jelas maka
dengan berdasar pada Pasal 54 UU MK menurut Mahkamah tidak terdapat urgensi untuk mendengar keterangan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 UU MK tersebut.
[3.12] Menimbang bahwa setelah membaca dan memeriksa secara saksama
permohonan Pemohon, maka isu konstitusional yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah apakah penghentian penyelidikan dapat diartikan sama dengan penghentian penyidikan sehingga dapat dimasukkan sebagai objek dalam pengujian praperadilan, terhadap isu tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa terkait dengan isu konstitusional dimaksud, Mahkamah telah mempertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-XVII/2019, yang pada pokoknya sebagai berikut:
[3.14] ......pada tahap penyelidikan belum ada kepastian ditemukannya peristiwa pidana yang dapat ditindaklanjuti dengan penyidikan, karena hal tersebut sangat tergantung pada ditemukannya bukti yang cukup bahwa suatu perbuatan adalah peristiwa atau perbuatan pidana. Karena belum ditemukan adanya peristiwa pidana maka tidak ada proses yang menindaklanjuti dalam bentuk penegakan hukum (pro justitia) yang di dalamnya dapat melekat kewenangan pada penyidik yang menindaklanjuti penyelidikan tersebut, baik berupa upaya paksa yang dapat berimplikasi pada perampasan kemerdekaan orang atau benda/barang, sehingga esensi untuk melakukan pengawasan terhadap aparat penegak hukum agar tidak melakukan tindakan sewenang-wenang belum beralasan untuk diterapkan, mengingat salah satu instrumen hukum untuk dapat dijadikan sebagai alat kontrol atau pengawasan adalah lembaga praperadilan yang belum dapat “bekerja” dikarenakan dalam tahap penyelidikan belum ada upaya-upaya paksa yang dapat berakibat adanya bentuk perampasan kemerdekaan baik orang maupun benda/barang. Sementara itu, dalam tahap penyidikan telah dimulai adanya penegakan hukum yang berdampak adanya upaya-upaya paksa berupa perampasan kemerdekaan terhadap orang atau benda/barang dan sejak pada tahap itulah sesungguhnya perlindungan hukum atas hak asasi manusia sudah relevan diberikan.
Lebih jauh apabila dikaitkan dengan sejarah yang melatarbelakangi dibentuknya lembaga praperadilan dalam sistem peradilan pidana Indonesia adalah untuk memberikan pengawasan atau kontrol atas tindakan pejabat penegak hukum sebelum adanya proses peradilan agar dalam hal ini penyidik dan penuntut umum tidak melakukan tindakan sewenang- wenang. Di samping hal itu, esensi lain yang harus dipertimbangkan adalah pengawasan tersebut juga bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum atas hak asasi manusia. Dengan demikian hal tersebut sudah sejalan dengan tujuan praperadilan itu sendiri yaitu baru dapat “bekerja” setelah terdapat kemungkinan adanya tindakan upaya paksa yang berimplikasi adanya perampasan kemerdekaan dan hal tersebut baru dimulai pada tahap penyidikan yang wilayahnya berada setelah proses penyelidikan selesai. Dengan kata lain, memberikan kewenangan hasil tindakan penyelidikan untuk dapat dilakukan pengujian pada lembaga praperadilan sebagaimana yang didalilkan Pemohon, sama halnya memasukkan “nyawa” ke dalam tubuh penyelidikan untuk mempunyai karakter dibenarkannya indakan upaya paksa dan perampasan kemerdekaan terhadap orang atau benda/barang. Jika dilakukan, hal tersebut akan membuat kabur indaka antara indakan penyelidikan dengan penyidikan. Bahkan lebih dari itu, sepanjang KUHAP sebagai hukum positif masih secara tegas memisahkan indakan penyelidikan dengan penyidikan maka sebagai konsekuensi logisnya, tidak akan dibenarkan hal-hal yang berkaitan dengan adanya upaya paksa dan perampasan kemerdekaan terhadap benda/barang dalam indakan penyelidikan. Oleh karena itu, konsekuensi yuridisnya maka hal-hal yang berkaitan dengan penyelidikan tidak ada relevansinya untuk dilakukan pengujian melalui pranata praperadilan.
Berdasarkan pertimbangan hukum dalam putusan a quo, Mahkamah telah menegaskan bahwa penghentian penyelidikan sebagai salah satu proses dalam kegiatan penyelidikan tidaklah dapat dimasukkan sebagai salah satu objek pengujian dalam praperadilan. Hal tersebut dikarenakan penyelidikan dan penyidikan walaupun keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, namun keduanya merupakan dua tindakan dengan karakteristik serta memiliki implikasi yang berbeda. Tindakan penyelidikan yang dilakukan oleh penyelidik belum masuk pro justitia sehingga tidak dapat dimasukkan sebagai objek pengujian dalam praperadilan karena di dalamnya tidak terdapat hal-hal yang berkaitan dengan adanya upaya paksa yang menyebabkan terjadinya perampasan hak-hak asasi manusia seseorang. Dengan demikian, pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-XVII/2019 berlaku secara mutatis mutandis terhadap permohonan Pemohon dalam perkara a quo. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, terhadap dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 77 huruf a KUHAP sepanjang dimaknai termasuk penyelidikan adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, dalil-dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430