Dr. Burhanudin, S.H., M.Hum (Dosen), dalam hal ini memberikan kuasa kepada Prof. Dr. Zaenal Arifin Hossein, S.H., M.H., Dr. Wasis Susetio, S.H., M.H, dan Agus Susanto, S.H., Advokat pada Kantor Pengacara Susetio, Arifin, Nasir, Susanto and Partners (SANS & P) (selanjutnya disebut Pemohon).
Pasal 13 huruf a UU KY
Pasal 24B ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian UU KY dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon, keterangan DPR, keterangan Presiden, keterangan ahli Pemohon, keterangan ahli Pihak Terkait Komisi Yudisial, bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh Pemohon, kesimpulan tertulis Pihak Terkait Komisi Yudisial sebagaimana selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara, masalah konstitusional yang harus dijawab Mahkamah adalah apakah penambahan frasa “dan hakim ad hoc” dalam norma Pasal 13 huruf a UU 18/2011 bertentangan dengan UUD 1945. Persoalan tersebut menjadi sangat relevan dikemukakan karena telah dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 menjadi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial. Dalam batas penalaran yang wajar, selain untuk menjawab kebutuhan perkembangan hukum masyarakat, perubahan tersebut juga mempunyai desain baru politik hukum eksistensi Komisi Yudisial dalam desain besar kekuasaan kehakiman Indonesia. Tidak hanya pengaturan dalam undang-undang, sejak awal pembentukannya, Mahkamah Konstitusi pernah memutus permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU 22/2004), yaitu: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, bertanggal 23 Agustus 2006; dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015, bertanggal 7 Oktober 2015 yang berkelindan dengan kewenangan Komisi Yudisial.
[3.14] Menimbang bahwa dalam perkembangannya, sejumlah ketentuan dalam UU 22/2004 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Ketentuan yang dinyatakan inkonstitusional tersebut, yaitu: Pasal 1 angka 5 sepanjang frasa “hakim Mahkamah Konstitusi”, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf e, Pasal 22 ayat (5), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23 ayat (3), Pasal 23 ayat (5), Pasal 24 ayat (1), sepanjang frasa “dan/atau Mahkamah Konstitusi”; Pasal 25 ayat (3), sepanjang frasa “dan/atau Mahkamah Konstitusi”; dan Pasal 25 ayat (4) sepanjang frasa “dan/atau Mahkamah Konstitusi”.
[3.15] Menimbang bahwa salah satu pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 yang terkait dengan permohonan a quo adalah:
“Menimbang bahwa dengan uraian dan alasan di atas maka Pasal 24B aya (1) UUD 1945 tersebut sepanjang mengenai “kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim” di satu pihak tidak tepat diartikan hanya sebagai pengawasan etik eksternal saja, dan di pihak lain juga tidak tepat diartikan terpisah dari konteks Pasal 24A ayat (3) untuk mewujudkan hakim agung –dan hakim-hakim pada peradilan di bawah MA– yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Dengan kata lain, yang dimaksud “kewenangan lain” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 terkait erat dengan kewenangan utama KY untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung”.
Setelah membaca secara saksama pertimbangan hukum tersebut, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 menyatakan bahwa Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 sepanjang mengenai “kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim” hanya dimaknai sebagai pengawasan etik eksternal yang terpisah dari konteks Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 untuk mewujudkan hakim agung –dan hakim-hakim pada peradilan di bawah MA yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Selain penegasan itu, frasa “kewenangan lain” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 dinilai Mahkamah Konstitusi tetap terkait erat dengan kewenangan utama Komisi Yudisial untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung. Artinya, penegasan perihal frasa “kewenangan lain” tersebut bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan konstitusi sepanjang tetap memiliki kaitan dengan pengangkatan hakim agung.
[3.16] Menimbang bahwa setelah UU 22/2004 diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU 18/2011), pembentuk undang-undang melakukan perubahan sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006. Dalam hal ini, sekalipun sebagian dari pelaksanaan wewenang Komisi Yudisial sebagaimana diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 21 UU 22/2004 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan mengikat (inkonstitusional), sementara itu berkenaan dengan kewenangan Komisi Yudisial sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU 22/2004 belum pernah diajukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi. Dalam perkembangan berikutnya, wewenang tersebut lebih didetailkan pembentuk undang-undang dalam UU 18/2011. Dalam hal ini, ketentuan Pasal 13 UU 18/2011 menyatakan Komisi Yudisial mempunyai wewenang:
a. mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;
b. menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
c. menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung; dan
d. menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim.
[3.17] Menimbang bahwa sebagaimana dikemukakan di atas, sebelum permohonan yang diajukan Pemohon a quo, terhadap wewenang Komisi Yudisial sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU 18/2011 belum pernah dilakukan pengujian konstitusionalitasnya. Namun demikian, Mahkamah telah pernah memutus Permohonan Nomor 43/PUU-XIII/2015 yang berkelindan dengan wewenang Komisi Yudisial tersebut. Dalam hal ini, paling tidak, kelindan tersebut dapat ditelusuri dari pertimbangan hukum yang termaktub dalam Paragraf [3.9] dan Paragraf [3.10] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 yang menyatakan:
“[3.9] Menimbang bahwa frasa “wewenang lain” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 adalah semata dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim, tidak dapat diperluas dengan tafsiran lain. UUD 1945 tidak memberi kewenangan kepada pembuat undang-undang untuk memperluas kewenangan KY;
[3.10] Menimbang bahwa meskipun dalam Pasal 24 UUD 1945 tidak menyebutkan secara tersurat mengenai kewenangan Mahkamah Agung dalam proses seleksi dan pengangkatan calon hakim dari lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara, akan tetapi dalam ayat (2) dari Pasal 24 telah secara tegas menyatakan ketiga Undang-Undang yang diajukan Pemohon dalam perkara a quo berada dalam lingkungan kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung lagipula dihubungkan dengan sistem peradilan “satu atap”, menurut Mahkamah, seleksi dan pengangkatan calon hakim pengadilan tingkat pertama menjadi kewenangan Mahkamah Agung”
Setelah membaca secara saksama pertimbangan hukum tersebut, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 memang menyatakan frasa “wewenang lain” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 adalah semata dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim, tidak dapat diperluas dengan tafsiran lain. Namun, apabila diletakkan dalam konteks substansi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015, pertimbangan hukum tersebut lebih dimaksudkan ihwal keterlibatan Komisi Yudisial dalam proses seleksi calon hakim di lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung, terutama seleksi calon hakim pada pengadilan tingkat pertama. Artinya, pertimbangan hukum dimaksud hanyalah membatasi kewenangan Komisi Yudisial dalam proses seleksi calon hakim pada pengadilan tingkat pertama dan bukan dalam seleksi calon hakim agung.
[3.18] Menimbang bahwa sebagaimana dikemukakan pada bagian terdahulu, salah satu alasan perubahan UU 22/2004 menjadi UU 18/2011 adalah pembentuk undang-undang memiliki desain politik hukum terhadap Komisi Yudisial. Salah satu 157 politik hukum tersebut dapat dilacak dalam konsiderans “Menimbang” huruf b UU 18/2011 yang menyatakan:
Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pengusulan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim demi tegaknya hukum dan keadilan sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Wujud konkret politik hukum dimaksud dapat dilacak, antara lain termaktub dalam Pasal 1 angka 5 UU 18/2011 yang menyatakan, “hakim adalah hakim dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung dan Badan Peradilan”. Dalam batas penalaran yang wajar, salah satu arah politik hukum dalam ketentuan Pasal 1 angka 5 UU 18/2011 dimaksudkan tidak membedakan antara hakim dan hakim ad hoc. Karena tidak membedakannya, khusus pengangkatan hakim agung, Pasal 13 huruf a UU 18/2011 secara eksplisit mengatur, “Komisi Yudisial mempunyai wewenang: a. Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan”.
[3.19] Menimbang bahwa dengan adanya politik hukum pembentuk undang-undang yang tidak membedakan antara hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung sepanjang berkaitan dengan wewenang perekrutan. Hal demikian dapat ditempatkan sebagai kebijakan hukum pembentuk undang-undang untuk memenuhi kebutuhan hukum di tengah masyarakat dalam rangka memberikan perlindungan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil. Oleh karena itu, wewenang perekrutan hakim ad hoc pada Mahkamah Agung berkaitan erat dengan upaya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim demi tegaknya hukum dan keadilan. Sebab, dengan adanya hakim ad hoc pada Mahkamah Agung diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam meningkatkan kualitas putusan di Mahkamah Agung melalui keahlian khusus yang dimiliki hakim ad hoc. Terlebih lagi, dengan melacak tugas, fungsi, dan tanggung jawab terhadap perkara, tidak terdapat perbedaan antara hakim agung dengan hakim agung ad hoc di Mahkamah Agung. Oleh karena itu, apabila diletakkan dalam kerangka Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, yaitu dalam mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka serta guna menegakkan hukum dan keadilan dalam masyarakat sebagaimana makna hakiki Pasal 24A UUD 1945, hakim agung sebagai jabatan tertinggi pemegang kekuasaan kehakiman di lingkungan Mahkamah Agung, keperluan terhadap proses yang independen dan imparsial menjadi sebuah keniscayaan, termasuk dalam hal ini proses seleksi hakim ad hoc di Mahkamah Agung. Secara universal, pentingnya independensi dan imparsialitas hakim guna terwujudnya kemerdekaan kekuasaan kehakiman antara lain, dapat dilacak dalam Angka 2 dan Angka 10 Basic Principles on the Independence of the Judiciary yang disahkan dengan Resolusi PBB Nomor 40/32, pada 29 November 1985; dan Resolusi PBB Nomor 40/146, pada 13 Desember 1985, yang menegaskan:
2. The judiciary shall decide matters before them impartially, on the basis of facts and in accordance with the law, without any restrictions, improper influences, inducements, pressures, threats or interferences, direct or indirect, from any quarter or for any reason.
10. Persons selected for judicial office shall be individuals of integrity and ability with appropriate training or qualifications in law. Any method of judicial selection shall safeguard against judicial appointments for improper motives. In the selection of judges, there shall be no discrimination against a person on the grounds of race, colour, sex, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or status, except that a requirement, that a candidate for judicial office must be a national of the country concerned, shall not be considered discriminatory.
Merujuk pertimbangan tersebut, telah jelas betapa mendasar diperlukannya perisai untuk menegakkan independensi dan imparsialitas hakim guna mewujudkan kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Dalam konteks itu, seleksi hakim ad hoc di Mahkamah Agung oleh Komisi Yudisial, harus dilaksanakan secara profesional dan objektif. Menurut Mahkamah, sampai sejauh ini proses seleksi yang menjadi kewenangan Komisi Yudisial dalam menyeleksi hakim ad hoc di Mahkamah Agung masih diperlukan dan sepanjang ada permintaan dari Mahkamah Agung.
[3.20] Menimbang bahwa secara konstitusional, UUD 1945 telah menentukan desain pengisian hakim agung sebagai jabatan/posisi hakim tertinggi di lingkungan Mahkamah Agung dilakukan oleh Komisi Yudisial. Dengan merujuk politik hukum pembentukan UU 18/2011, terutama dengan memosisikan hakim ad hoc merupakan hakim di Mahkamah Agung, maka proses seleksi hakim ad hoc yang dilakukan Komisi Yudisial masih dapat dibenarkan sesuai dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Selain itu, proses seleksi yang dilakukan oleh sebuah lembaga independen yang didesain oleh konstitusi tidaklah bertentangan dengan hak pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
[3.21] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah dalil-dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430