Akhwid Kurniawan , Dimas Permana Hadi, Heri Darmawan dan Subur Makmur (yang selanjutnya disebut para Pemohon).
Pasal 167 ayat (3) sepanjang frasa “pemungutan suara dilaksanakan secara serentak” dan Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017 tidak memenuhi ketentuan Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Bahwa tahapan pembentukan UU a quo yang dianggap cacat materil dan dianggap para Pemohon bertentangan Pasal 1 ayat (2), Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian materil UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.6] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan provisi dan pokok permohonan;
Dalam Provisi
[3.7] Menimbang bahwa para Pemohon dalam permohonannya mengajukan permohonan provisi yang pada pokoknya memohon kepada Mahkamah agar mempercepat proses pemeriksaan dan memutus permohonan a quo karena terkait langsung dengan sistem pelaksanaan pemilihan umum, terutama jadwal pemilihan umum yang akan berdampak luas terhadap proses penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia. Terhadap permohonan provisi para Pemohon tersebut, meskipun permohonan a quo berkaitan erat dengan sistem pelaksanaan pemilihan umum, terutama dengan jadwal pemilihan umum yang akan berdampak luas terhadap penyelenggaraan Pemilihan Umum 2024, menurut Mahkamah, sisa waktu menuju pentahapan Pemilihan Umum 2024 masih cukup untuk mempersiapkan segala sesuatunya menuju pelaksanaan Pemilihan Umum 2024 dimaksud. Oleh karena itu, tidak relevan mengaitkan permohonan provisi para Pemohon dengan jadwal Pemilihan Umum 2024. Dengan demikian, permohonan provisi para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum;
Dalam Pokok Permohonan
[3.13] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dan membaca secara
saksama permohonan para Pemohon, keterangan DPR RI, keterangan Presiden, keterangan tambahan Presiden, keterangan KPU RI, keterangan tambahan KPU RI, keterangan ahli para Pemohon, bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon, kesimpulan tertulis para Pemohon, kesimpulan tertulis Presiden, sebagaimana selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara, Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan dalil permohonan para Pemohon;
[3.14] Menimbang bahwa setelah membaca dan mempelajari secara saksama dalil para Pemohon sebagaimana telah diuraikan pada Paragraf [3.8] di atas, isu konstitusionalitas yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah apakah pilihan untuk menggabungkan antara pemilihan umum nasional (Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR dan DPD) dengan pemilihan umum lokal (anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota) dalam penyelenggaran pemilihan umum serentak sebagaimana ketentuan Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017 adalah bertentangan dengan UUD 1945 atau inkonstitusional. Namun berkenaan dengan hal itu, Mahkamah ternyata telah pernah memutus perkara pengujian konstitusionalitas Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017 yaitu dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVII/2019 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, bertanggal 26 Februari 2020, yang masing-masing dalam amarnya menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Oleh karena itu, sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut mengenai pokok permohonan a quo, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan apakah permohonan para Pemohon memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK juncto Pasal 78 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021);
[3.15] Menimbang bahwa Pasal 60 UU MK juncto Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
Pasal 60 UU MK
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang Undang yang telah diuji, tidak dapat diajukan pengujian kembali;
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Pasal 78 PMK 2/2021
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali;
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.
Berdasarkan ketentuan tersebut, terhadap pasal yang telah dilakukan pengujian konstitusionalitasnya dan telah diputus oleh Mahkamah hanya dapat dimohonkan pengujian kembali apabila terdapat dasar pengujian atau alasan permohonan yang berbeda. Terhadap hal tersebut, setelah Mahkamah mencermati dengan saksama permohonan para Pemohon, ternyata dasar pengujian yang digunakan dalam permohonan a quo, yaitu Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 belum pernah digunakan sebagai dasar pengujian dalam permohonan yang telah diputus oleh Mahkamah sebagaimana telah disebutkan di atas. Selain itu, terdapat perbedaan alasan permohonan para Pemohon dengan permohonan sebelumnya karena dalam permohonan a quo, para Pemohon lebih menitikberatkan pada beratnya beban kerja yang akan dialami oleh petugas penyelenggara pemilihan umum ad hoc apabila tetap digunakan metode pemilihan lima kotak secara bersamaan pada gelaran pemilihan umum serentak tahun 2024 mendatang. Dengan demikian menurut Mahkamah, terdapat perbedaan dasar pengujian atau alasan yang digunakan dalam permohonan a quo dengan permohonan yang telah diputus sebelumnya oleh Mahkamah sebagaimana ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK juncto Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, sehingga permohonan a quo dapat diajukan kembali;
[3.16] Menimbang bahwa oleh karena terhadap permohonan a quo dapat diajukan kembali, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan apakah pilihan untuk menggabungkan antara pemilihan umum nasional (Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR dan DPD) dengan pemilihan umum lokal (anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota) dalam penyelenggaran pemilihan umum serentak sebagaimana ketentuan Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017 adalah bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap isu konstitusionalitas tersebut, Mahkamah perlu terlebih dahulu menegaskan kembali pendiriannyamengenai sejumlah pilihan model keserentakan pemilihan umum yang tetap dapat dinilai konstitusional berdasarkan UUD 1945, sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 dalam Paragraf [3.16], sebagai berikut:
Bahwa setelah menelusuri kembali original intent perihal pemilihan umum serentak; keterkaitan antara pemilihan umum serentak dalam konteks penguatan sistem pemerintahan presidensial; dan menelusuri makna pemilihan umum serentak dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, terdapat sejumlah pilihan model keserentakan pemilihan umum yang tetap dapat dinilai konstitusional berdasarkan UUD 1945, yaitu:
1. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan anggota DPRD;
2. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota;
3. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota;
4. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota
5. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan memilih Bupati dan Walikota;
6. Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden.
Bahwa dengan tersedianya berbagai kemungkinan pelaksanaan pemilihan umum serentak sebagaimana dikemukakan di atas, penentuan model yang dipilih menjadi wilayah bagi pembentuk undang-undang untuk memutuskannya. Namun demikian, dalam memutuskan pilihan model atas keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum, pembentuk undang-undang perlu mempertimbangkan beberapa hal, antara lain, yaitu: (1) pemilihan model yang berimplikasi terhadap perubahan undang-undang dilakukan dengan partisipasi semua kalangan yang memiliki perhatian atas penyelenggaraan pemilihan umum; (2) kemungkinan perubahan undang-undang terhadap pilihan model-model tersebut dilakukan lebih awal sehingga tersedia waktu untuk dilakukan simulasi sebelum perubahan tersebut benar-benar efektif dilaksanakan; (3) pembentuk undang-undang memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan model yang tersedia sehingga pelaksanaannya tetap berada dalam batas penalaran yang wajar terutama untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas; (4) pilihan model selalu memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak untuk memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat; dan (5) tidak acap-kali mengubah model pemilihan langsung yang diselenggarakan secara serentak sehingga terbangun kepastian dan kemapanan pelaksanaan pemilihan umum;
Bahwa pilihan model keserentakan pemilihan umum dalam putusan Mahkamah tersebut adalah merupakan hasil penelusuran kembali original intentperubahan UUD 1945 yang dikaitkan dengan politik hukum untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial serta penelusuran makna pemilihan umum serentak dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, bertanggal 23 Januari 2014. Beberapa pilihan tersebut merupakan panduan bagi pembentuk undang-undang dalam menyusun desain penyelenggaraan pemilihan umum secara serentak dan sebagaimana telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, semua pilihan model/desain keserentakan tersebut adalah tidak bertentangan dengan UUD 1945 (konstitusional). Dengan posisi dan pendapat hukum demikian, Mahkamah menyerahkan kepada pembentuk undang-undang untuk menentukan model pemilihan mana yang akan digunakan. Selain itu, Mahkamah juga telah menegaskan setidaknya terdapat 5 (lima) hal yang harus dipertimbangkan oleh pembentuk undang-undang dalam memutuskan pilihan model atas keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum. Pertimbangan tersebut didesain untuk memberi ruang kepada pembentuk undang-undang dalam memilih model keserentakan pemilihan umum yang tetap harus dalam batas-batas konstitusional (constitutional boundary) yang telah diatur dan ditetapkan seperti politik hukum dalam pembentukan undang-undang pemilihan umum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, baik bagi kontestan, pemilih maupun penyelenggara, pengawas, dan keamanan serta pihak lain yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilihan umum serentak. Karena pada prinsipnya, kebebasan untuk memilih model keserentakan bukanlah sesuatu yang dipilih tanpa dasar oleh pembentuk undang-undang, melainkan harus memiliki dasar, tujuan, rasionalitas yang jelas, serta kebutuhan konstitusional dalam menentukan dan memutuskan pilihan-pilihan tersebut. Dengan demikian, menjadi jelas pilihan model yang akan dipilih oleh pembentuk undang-undang, sebagaimana telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, adalah tidak bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan dalam pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden;
[3.17] Menimbang bahwa terkait dengan beban petugas penyelenggara pemilihan umum ad hoc yang tetap akan berat jika opsi menggabungkan pemilihan umum nasional dengan pemilihan umum anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota tidak dibatasi atau dipisah, para Pemohon menghendaki agar Mahkamah menelusuri atau meninjau ulang opsi keserentakan yang telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 a quo. Dalam permohonnya, para Pemohon menawarkan opsi pemilihan umum sebagai berikut:
1. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota;
2. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota;
3. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih gubernur, dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/kota dan memilih bupati dan walikota
4. Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakkan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden, dan tidak menyerentakkan pelaksanaan pemilihan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dengan pemilihan anggota DPRD, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden (vide permohonan para Pemohon halaman 20-21).
Tidak hanya menawarkan opsi pemilihan umum serentak, para Pemohon sekaligus juga menawarkan desain waktu sebagai konsekuensi logis dari perubahan desain dimaksud, yaitu sebagai berikut:
1. Pemilihan umum Nasional (DPR, DPD, dan Presiden dan Wakil Presiden) dilaksanakan di tahun 2024;
2. Pemilihan umum DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan di tahun 2026, dengan penyesuain masa jabatan, dimana DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota diperpanjang masa jabatannya hingga tahun 2026;
3. Gubernur, Bupati/Walikota yang masa jabatannya berakhir di tahun 2022 dan tahun 2023, tetap dilaksanakan pemilihan, dengan masa jabatan sampai tahun 2026;
4. Gubernur, Bupati, dan Walikota yang masa jabatannya berakhir di tahun 2024, diperpanjang hingga tahun 2026, dengan hitungan, jika kelanjutan masa jabatan tersebut lebih dari 2,5 tahun, dihitung menjadi 1 periode;
5. Pemilihan umum Tahun 2026 dilaksanakan untuk memilih Gubernur, Bupati, Walikota bersamaan dengan Pemilihan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota;
6. Skenario lain, sepanjang tidak menyerentakkan pemilihan umum DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dengan pemilihan umum nasional (vide permohonan para Pemohon halaman 21-22);
[3.18] Menimbang bahwa terhadap keinginan atau desain baru keserentakan
dan sekaligus desain waktu tersebut, menurut Mahkamah, keinginan para Pemohon untuk memisahkan pemilihan umum anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota telah tertampung dalam opsi pilihan model keserentakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 tersebut di atas. Apabila dilihat dari pilihan model dalam putusan a quo, model keempat dan kelima sebenarnya telah sejalan dengan keinginan para Pemohon. Setidak-tidaknya, opsi yang ditawarkan (diinginkan) para Pemohon telah tertampung dalam opsi keenam, yaitu “pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden”. Dalam konteks demikian, keinginan para Pemohon untuk lebih memfokuskan kepada salahsatu model tersebut tidak lagi berada dalam kewenangan Mahkamah, tetapi telah diserahkan menjadi kewenangan pembentuk undang-undang. Dengan pendirian demikian, jikalau Mahkamah menentukan salah satu model dari pilihan model yangditawarkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, secara implisit, Mahkamah akan terperangkap untuk menyatakan model lain yang tidak dipilih sebagai sesuatu yang bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional). Oleh karena itu, sebagaimana dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, penentuan model yang dipilih menjadi wilayah bagi pembentuk undang-undang untuk memutuskannya. Berkenaan dengan hal tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan, semua pilihan yang dikemukakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 merupakan gagasan yang muncul (original intent) selama perubahan UUD 1945. Sebagai the sole interpreter of the constitution, sekalipun bukan satu-satunya penafsiran yang dipakai untuk menentukan pilihan model atau desain keserentakan pemilihan umum, Mahkamah tidak dapat sepenuhnya melepaskan diri dari penafsiran original intent sebagai salah satu metode untuk memahami konstitusi;
[3.19] Menimbang bahwa para Pemohon juga mendalilkan pemilihan umum lima kotak menyebabkan beban kerja petugas penyelenggara pemilihan umum ad hoc yang sangat berat, tidak rasional dan tidak manusiawi. Menurut Mahkamah, beban kerja yang berat, tidak rasional dan tidak manusiawi sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon sangat berkaitan dengan manajemen pemilihan umum yang merupakan bagian dari implementasi norma. Mahkamah menilai hal tersebut berkaitan dengan teknis dan manajemen atau tata kelola pemilihan umum yang menjadi faktor penting kesuksesan penyelenggaraan pemilihan umum serentak. Sehingga, apa pun pilihan model keserentakan yang dipilih oleh pembentuk undang-undang, sangat tergantung pada bagaimana manajemen pemilihan umum yang didesain oleh penyelenggara pemilihan umum, tentu dengan dukungan penuh dari pembentuk undang-undang beserta stakeholders terkait. Secara teknis, pembentuk undang-undang dan penyelenggara pemilihan umum dengan struktur yang dimiliki saat ini justru lebih memiliki kesempatan untuk melakukan evaluasi dan kajian secara berkala terhadap pelaksanaan teknis keserentakan pemilihan umum, sehingga masalah-masalah teknis yang berkaitan dengan petugas penyelenggara pemilihan umum ad hoc dapat diminimalisasi dan diantisipasi. Misalnya, pembentuk undang-undang dan penyelenggara pemilihan umum dapat saja menyepakati adanya jeda waktu antara pemilihan umum anggota DPRD Provinsi dan anggota DPRD Kabupaten/Kota dengan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD serta pemilihan Presiden/Wakil Presiden. Atau, desain teknis lainnya yang dapat mengurangi beban petugas penyelenggara pemilihan umum ad hoc sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon. Berkenaan dengan hal tersebut, dengan telah semakin dekatnya pelaksanaan tahapan pemilihan umum serentak 2024 maka melalui putusan ini, Mahkamah menegaskan agar pembentuk undang-undang dan penyelenggara pemilihan umum segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi a quo. Bagi Mahkamah, hal penting dalam penyelenggaraan pemilihan umum serentak adalah tetap terjaminnya penerapan asas dan prinsip penyelenggaraan pemilihan umum sebagaimana ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Bangunan argumentasi yang demikian semakin meneguhkan pendirian Mahkamah, penentuan pilihan model keserentakan, baik dengan pemilihan umum lima kotak atau dengan memisahkan antara pemilihan umum nasional dan pemilihan umum lokal merupakan wilayah pembentuk undang-undang untuk memutuskannya
dengan berbagai pertimbangan dan batasan konstitusional sebagaimana telah
dijelaskan pada Paragraf [3.16] di atas. Terlebih lagi, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, Mahkamah telah mempertimbangkan penyelenggaraan pemilihan umum serentak harus memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan model yang tersedia sehingga pelaksanaannya tetap berada dalam batas penalaran yang wajar terutama untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas;
[3.20] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat dalil-dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430