Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 51/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 24-11-2021

PT. Sainath Realindo yang diwakili oleh Vikash Kumar Dugar selaku Direktur utama yang memberikan kuasa kepada Eddy Christian, Konsultan Pajak dan Kuasa Hukum Pengadilan Pajak pada Kantor EC Consulting

Pasal 42 ayat (3) UU 14/2002

Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI

[3.11] Menimbang bahwa terkait dengan dasar pengujian Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, setelah Mahkamah mencermati dengan saksama telah ternyata Pemohon tidak menguraikan alasan permohonannya yang didasarkan pada independensi kekuasaan kehakiman dikaitkan dengan pemberlakuan norma Pasal 42 ayat (3) UU 14/2002 sehingga Mahkamah menilai tidak terdapat relevansi untuk mengaitkan dengan dasar pengujian dimaksud.

[3.12] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan rumusan norma Pasal 42 ayat (3) UU 14/2002 tidak terdapat kriteria yang dijadikan sebagai pedoman bagi Hakim Pengadilan Pajak berkaitan dengan penerapan asas ne bis in idem, sehingga hal ini, menimbulkan kesewenang-wenangan oleh Hakim Pengadilan Pajak dalam menerapkan ketentuan Pasal a quo serta tidak mencerminkan penegakan hukum dan keadilan sebagaimana dimaksud pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Berkenaan dengan dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.12.1] Bahwa dalam rangka memenuhi prinsip negara hukum yang demokratis, diperlukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak [vide Pasal 2 UU 14/2002]. Artinya, dalam memeriksa, mengadili dan memutus sengketa pajak, hakim Pengadilan Pajak harus bebas dan tidak memihak (imparsial) guna menegakan hukum dan keadilan. Dalam menegakan hukum dan keadilan diperlukan penerapan asas-asas hukum sebagai syarat yang memuat aturan atau kaidah hukum dalam pembentukan putusan hakim sebagai pembentuk hukum. Salah satu asas dasar yang sering digunakan dalam bidang hukum adalah asas ne bis in idem. Secara doktrinal, dalam sistem hukum pidana yang dianut di Indonesia, asas ne bis in idem mengandung arti orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap [vide Pasal 76 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)], sedangkan pada ranah hukum perdata, asas ne bis in idem mengandung arti kekuatan suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti hanya mengenai pokok perkara yang bersangkutan. Untuk dapat menggunakan kekuatan itu, soal yang dituntut harus sama, tuntutan harus didasarkan pada alasan yang sama, dan harus diajukan oleh pihak yang sama dan terhadap pihak-pihak yang sama dalam hubungan yang sama pula [vide Pasal 1917 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)]. Oleh karenanya, dalam menerapkan asas ne bis in idem terhadap suatu perkara, hakim terlebih dahulu menilai syarat-syarat dan/atau kriteria tertentu yang perlu dipenuhi terkait penerapan asas ne bis in idem. Adapun syarat-syarat dan/atau kriteria dimaksud adalah: 1) adanya putusan yang telah memiliki kekuatan hukum mengikat (inkracht), 2) terdapat persoalan dan alasan tuntutan yang sama, dan 3) diajukan oleh pihak yang sama terhadap pihak-pihak yang sama pula. Dengan demikian, asas ne bis in idem merupakan salah satu asas yang fundamental dalam bidang hukum yang diterapkan oleh hakim guna menyelenggarakan peradilan yang adil dan menjamin adanya penegakan hukum.

[3.12.2] Bahwa berkenaan dengan kriteria dan pedoman terhadap penerapan asas ne bis in idem, sebagaimana dalil Pemohon a quo, menurut Mahkamah dalam memahami penerapan asas ne bis in idem tidak dapat dilepaskan dan sangat erat relevansinya dengan ketentuan Pasal 76 ayat (1) KUHP dan Pasal 1917 KUH Perdata sebagaimana uraian pada Sub-paragraf [3.12.1]. Pengadilan Pajak selaku pelaksana kekuasaan kehakiman harus cermat dalam memeriksa berkas perkara terkait syarat-syarat dan/atau kriteria pemberlakuan asas ne bis in idem guna memberikan kepastian hukum bagi para pencari keadilan (justiciabelen). Oleh sebab itu, penerapan asas ne bis in idem terhadap suatu gugatan sengketa pajak diperlukan guna menciptakan kepastian hukum yang dilakukan oleh Pengadilan Pajak selaku salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman. Pasal a quo, memberikan kewenangan kepada Hakim Pengadilan Pajak guna mewujudkan cita negara hukum yang demokratis. Hal demikian selain untuk menghindari potensi timbulnya kesewenang-wenangan oleh hakim dalam penegakan hukum di Pengadilan Pajak, yang lebih penting menurut Mahkamah adalah terwujudnya penyelenggaraan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Oleh karena itu, terkait dengan penerapan norma Pasal 42 ayat (3) UU 14/2002 apabila dicermati secara saksama sesungguhnya norma a quo tidak sekadar mengatur hal yang berkaitan dengan asas ne bis in idem, akan tetapi mengatur juga terhadap gugatan yang tidak dapat diajukan kembali apabila terhadap perkara yang bersangkutan telah dicabut oleh penggugat. Artinya, terhadap sebuah perkara gugatan yang telah diajukan dan kemudian dicabut oleh penggugat, maka perkara gugatan a quo tidak dapat diajukan kembali. Dengan demikian, perkara gugatan yang telah dicabut oleh penggugat, sejatinya bukan perkara gugatan yang terkait dengan asas ne bis in idem, karena terhadap perkara gugatan yang dicabut belum dipertimbangkan oleh hakim, baik terkait syarat formil maupun alasan-alasan hukum secara materiil, sehingga belum ada putusan hakim yang berkenaan dengan pokok permohonan gugatan penggugat, baik secara formil maupun materiil dari gugatan penggugat. Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon, ketentuan norma Pasal 42 ayat (3) UU 14/2002 telah secara jelas memberikan penegasan secara limitatif, bahwa yang tidak dapat diajukan kembali adalah gugatan yang telah dicabut oleh penggugat, bukan gugatan baru yang telah dilakukan perubahan, baik pada bagian para pihaknya, posita maupun petitumnya. Oleh karena itu, apabila keinginan Pemohon untuk menegaskan ketentuan norma Pasal 42 ayat (3) UU 14/2002 diakomodir oleh Mahkamah, maka hal tersebut justru akan mempersempit makna dari ketentuan norma dimaksud. Sebab, sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya, norma Pasal 42 ayat (3) UU 14/2002 tidak hanya mengatur hal yang berkaitan dengan asas ne bis in idem, akan tetapi terhadap perkara gugatan yang telah dicabut oleh penguggat dan perkara yang sama diajukan kembali. Sehingga, tanpa bermaksud menilai putusan hakim terhadap perkara gugatan yang dialami oleh Pemohon, persoalan gugatan Pemohon yang telah dilakukan perubahan baik pada bagian pihak maupun positanya, namun tetap dinyatakan tidak dapat diajukan kembali, hal tersebut sepenuhnya telah berkaitan dengan persoalan penerapan norma. Dengan demikian, dalil Pemohon mengenai pertentangan norma ketentuan Pasal a quo menimbulkan kesewenangan-wenangan Hakim Pengadilan Pajak dan tidak mencerminkan kepastian hukum sebagaimana dimaksud pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum;

[3.13] Menimbang bahwa Pemohon a quo juga mendalilkan ketentuan norma pada Pasal 42 ayat (3) UU 14/2002 tidak memuat penjelasan mengenai kriteria kesamaan dan perbedaan antara gugatan yang sudah dicabut dengan gugatan yang tidak dapat diajukan kembali khususnya berkaitan dengan implementasi asas ne bis in idem, sehingga ketentuan Pasal a quo menimbulkan kesewenangwenangan Hakim Pengadilan Pajak dan tidak mencerminkan kepastian hukum sebagaimana dimaksud pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon a quo menurut Mahkamah ketentuan Pasal 42 ayat (3) UU 14/2002 sebagaimana telah dipertimbangkan pada Sub-paragraf [3.12.2] adalah merupakan suatu keadaan sebagai akibat dari pencabutan sebuah gugatan sengketa pajak. Oleh karenanya, penggugat tidak dapat mengajukan gugatan yang sama kepada Pengadilan Pajak. Artinya, apabila penggugat akan mengajukan kembali gugatan sengketa pajak kepada Pengadilan Pajak, penggugat dibebankan untuk membuat gugatan agar dinyatakan dapat diajukan kembali ataupun tidak dinyatakan ne bis in idem, yaitu dengan melakukan perubahan, baik pada bagian para pihak, posita dan petitumnya. Dengan demikian, terhadap gugatan baru a quo selanjutnya menjadi kewenangan hakim sepenuhnya untuk memeriksa ihwal syarat-syarat dan/atau kriteria pemberlakukan asas gugatan dapat diajukan kembali ataupun asas ne bis in idem. Oleh karenanya, apabila menurut penilaian hakim berkenaan dengan gugatan baru tersebut tidak ditemukan perbedaan dengan gugatan sebelumnya maka, terhadap gugatan tersebut dimaknai sebagai gugatan yang tidak dapat diajukan kembali ataupun apabila terhadap gugatan tersebut telah terdapat gugatan yang sama dan telah ada putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, maka dapat diberlakukan asas ne bis in idem. Sehingga, terhadap kedua fakta hukum tersebut relevan diberlakukan ketentuan Pasal 42 ayat (3) UU 14/2002. Namun demikian, melalui putusan a quo, Mahkamah menegaskan, penerapan ketentuan norma Pasal 42 ayat (3) UU 14/2002 tersebut, baik yang berkaitan dengan gugatan yang tidak dapat diajukan kembali ataupun gugatan yang memenuhi asas ne bis in idem harus dilakukan secara hati-hati dan tetap melindungi kepentingan hukum antara penggugat dan tergugat serta menghindari tindakan kesewenang-wenangan Hakim Pengadilan Pajak dalam penerapannya. Terlebih, menurut Mahkamah hal yang fundamental adalah terwujudnya perlindungan dan jaminan atas hak-hak yang dimiliki oleh setiap warga negara, dalam kedudukannya sebagai penggugat, sedangkan tergugat adalah bagian dari pemerintah yang harus diberlakukan sama kedudukannya di depan hukum (equality before the law). Dengan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil permohonan Pemohon berkenaan dengan ketentuan norma pada Pasal 42 ayat (3) UU 14/2002 yang tidak memuat penjelasan mengenai kriteria kesamaan dan perbedaan antara gugatan yang sudah dicabut dengan gugatan yang tidak dapat diajukan kembali khususnya berkaitan dengan implementasi asas ne bis in idem adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, Mahkamah menilai tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma mengenai penegakan hukum dan keadlian serta kepastian hukum sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 terhadap Pasal 42 ayat (3) UU 14/2002, sehingga dengan demikian permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.15] Menimbang bahwa terhadap dalil permohonan Pemohon selain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut dan oleh karenanya dianggap tidak relevan sehingga haruslah dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.