Martondi, M. Gontar Lubis, dan Muhammad Yasid (selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon).
Pasal 223 ayat (1) UU 7/2017
Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan (3) serta Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 223 ayat (1) UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.3] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon dalam mengajukan permohonan a quo dan pokok permohonan, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.3.1] Bahwa dalam menyusun satu permohonan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi, Mahkamah telah membuat pedoman yang dijadikan sebagai syarat keterpenuhan formalitas suatu permohonan. Berkenaan dengan hal dimaksud, Pasal 10 ayat (2) huruf b dan huruf d Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), yang antara lain menyatakan:
b. Uraian yang jelas mengenai:
1. Kewenangan Mahkamah, yang memuat uraian penjelasan mengenai kewenangan Mahkamah dalam mengadili perkara PUU sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan serta objek permohonan;
2. Kedudukan hukum Pemohon, yang memuat penjelasan mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dianggap dirugikan dengan berlakunya undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; dan
3. Alasan permohonan, yang memuat penjelasan mengenai pembentukan undang-undang atau Perppu yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang atau Perppu berdasarkan UUD 1945 dan/atau bahwa materi muatan ayat, pasal, dan /atau bagian dari undang-undang atau Perppu bertentangan dengan UUD 1945.
d. Petitum, yang memuat hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian materiil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4), yaitu:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon;
2. Menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Memerintahkan pemuatan Putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia; atau
4. Dalam hal Mahkamah berpendapat lain, mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
[3.3.2] Bahwa setelah Mahkamah membaca dan mencermati secara saksama permohonan para Pemohon, Mahkamah mendapatkan hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Mahkamah telah melaksanakan Sidang Pendahuluan, pada 7 September 2021, dengan agenda persidangan memeriksa permohonan para Pemohon. Dalam persidangan tersebut, antara lain Mahkamah telah memberikan nasihat kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonannya terutama terkait dengan objek permohonan dan kejelasan posita serta petitum. Sesuai dengan ketentuan hukum acara, para Pemohon diberi waktu 14 (empat belas) hari untuk memperbaiki permohonan a quo (vide Risalah Sidang Perkara Nomor 44/PUU-XIX/2021 tanggal 7 September 2021);
2. Bahwa sesuai dengan tenggang waktu tersebut di atas, para Pemohon telah memperbaiki permohonannya dengan mengubah beberapa bagian, termasuk memperbaiki objek permohonan, posita dan petitumnya. Selain termaktub dalam Perbaikan Permohonan dengan agenda sidang memeriksa perbaikan permohonan, pada 20 September 2021, para Pemohon pun menyampaikan bagian-bagian yang telah diperbaiki dimaksud (vide Risalah Sidang Perkara Nomor 44/PUU-XIX/2021, 20 September 2021);
[3.3.3] Bahwa setelah Mahkamah memeriksa dan mencermati secara saksama perbaikan permohonan, para Pemohon memohonkan pengujian Pasal 223 ayat (1) UU 7/2017. Namun dalam menguraikan alasan permohonan, para Pemohon lebih banyak merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VIII/2009 dibandingkan menguraikan pertentangan norma yang diuji in casu Pasal 223 ayat (1) UU 7/2017 dengan norma UUD 1945 yang dijadikan sebagai dasar pengujian konstitusionalitasnya, yaitu Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Padahal, masalah utama yang harus diuraikan para Pemohon adalah alasan atau argumentasi hukum mengapa Pasal 223 ayat (1) UU 7/2017 bertentangan dengan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan sebagai dasar pengujian. Keharusan tersebut tidak berarti para Pemohon tidak boleh mengutip putusan Mahkamah Konstitusi sepanjang relevan dengan substansi permohonan. Kewajiban menjelaskan pertentangan dengan UUD 1945 tersebut diatur secara eksplisit dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b angka 3 PMK 2/2021 yang menyatakan, “Alasan permohonan, …bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang atau Perppu bertentangan dengan UUD 1945”;
[3.3.4] Bahwa selain ketidakjelasan di atas, di dalam posita permohonannya secara terang benderang para Pemohon mengakui hak untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden adalah hak partai politik (vide perbaikan permohonan hlm. 14 sampai dengan hlm. 23). Namun, para Pemohon mempersoalkan mekanisme penentuan calon presiden dan/atau wakil presiden oleh partai politik sebagaimana ditentukan Pasal 223 ayat (1) UU 7/2017 yang menyatakan, “Penentuan calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal Partai Politik bersangkutan”.
[3.3.5] Bahwa selain ketidakjelasan alasan-alasan mengajukan permohonan (posita), petitum para Pemohon juga tidak jelas dan tidak lazim. Dalam hal ini, dapat ditemukan dalam Petitum Angka 2 yang berbunyi, ”Menyatakan setiap rakyat warga negara Indonesia mempunyai Hak Konstitusi untuk dipilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden, termasuk rakyat warga negara Indonesia di luar rakyat warga negara Indonesia kelompok partai politik atau yang disebut sebagai Rakyat Kelompok Non Partai Politik“ tidak dijelaskan asal-muasal sampai ke petitum demikian, dan terlebih lagi tidak jelas pertentangannya dengan norma dalam UUD 1945. Begitu pula dengan Petitum Angka 3 yang berbunyi, ”Menyatakan norma Pasal 223 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang norma yaitu tidak mencantumkan “terbuka untuk diikuti oleh setiap Rakyat Warga Negara Indonesia yang memenuhi persyaratan untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden sesuai dengan Undang-undang ini” para Pemohon sesungguhnya tidak jelas apa yang dimintakan kepada Mahkamah untuk mencantumkan norma baru tanpa disertai klausul ”konstitusional bersyarat”. Begitu pula petitum angka 4 yang berbunyi, “Menyempurnakan norma Pasal 223 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) sehingga berbunyi sebagai berikut: “Penentuan calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka untuk diikuti oleh setiap Rakyat Warga Negara Indonesia yang memenuhi persyaratan untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden sesuai dengan undang-undang ini”, juga tidak lazim. Secara formal, petitum-petitum yang demikian bukanlah petitum sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (2) huruf d PMK 2/2021.
[3.3.6] Bahwa oleh karena itu, dengan merujuk Pasal 10 ayat (2) huruf b dan huruf d PMK 2/2021, terdapat ketidakjelasan posita permohonan karena ketiadaan argumentasi yang memadai dari para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 223 ayat (1) UU 7/2017 serta adanya ketidaksesuaian antara posita yang satu dengan posita lainnya dan ketidaksesuaian antara alasan permohonan dengan petitum permohonan. Terlebih lagi, petitum permohonan para Pemohon tidak lazim dalam permohonan pengujian undang-undang. Terhadap hal-hal dimaksud, Mahkamah telah memberi nasihat kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonannya, akan tetapi dalam perbaikan permohonan para Pemohon tetap dengan pendiriannya.
[3.4] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon a quo adalah kabur atau tidak jelas. Oleh karena itu, Mahkamah tidak mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon dan pokok permohonan;
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430