PT. Sainath Realindo yang merupakan badan hukum privat yang diwakili oleh Vikash Kumar Dugar selaku Direktur utama yang memberikan kuasa kepada Eddy Christian, Konsultan Pajak dan Kuasa Hukum Pengadilan Pajak pada Kantor EC Consulting, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.
Pasal 31A ayat (4) UU 3/2009
Pasal 24 ayat (1) dan (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian UU 3/2009 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut permohonan Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan permohonan Pemohon terkait dengan adanya permohonan pengujian norma yang sama yaitu Pasal 31A ayat (4) UU MA pada perkara pengujian undang-undang yang telah diadili oleh Mahkamah berkenaan dengan keterpenuhan syarat Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021) yang masing-masing menyatakan:
Pasal 60 UU MK:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Pasal 78 PMK 2/2021
(1) Terhadap materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang- undang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali,
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.
[3.10.1] Bahwa terhadap Pasal 31A ayat (4) UU MA sudah pernah diajukan pengujiannya dan telah diputus oleh Mahkamah pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XIII/2015, bertanggal 31 Mei 2016 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XVI/2018, bertanggal 24 Januari 2019 yang masing- masing pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa dalam Permohonan Nomor 30/PUU-XIII/2015, Pemohon mengajukan pengujian Pasal 31A ayat (4) UU MA dengan dasar pengujian Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pemohon dalam petitumnya meminta agar Pasal 31A ayat (4) UU MA dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai: “Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Mahkamah Agung paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan, yang pemeriksaan pokok permohonan dan pembacaan putusan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum”.
2. Bahwa dalam Permohonan Nomor 85/PUU-XVI/2018, Pemohon mengajukan pengujian Pasal 31A ayat (4) UU MA dengan dasar pengujian Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 24A ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pemohon dalam petitumnya meminta agar Pasal 31A ayat (4) UU MA dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai: “Proses Pemeriksaan dalam Persidangan atas Permohonan Keberatan Hak Uji Materiil dilakukan dengan dihadiri para pihak-pihak yang berperkara dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum”.
3. Bahwa selanjutnya dalam permohonan a quo, yaitu perkara Nomor 43/PUU- XIX/2021, Pemohon mengajukan pengujian Pasal 31A ayat (4) UU MA dengan dasar pengujian Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Pemohon dalam petitumnya meminta Pasal 31A ayat (4) UU MA dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: “Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Mahkamah Agung paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan sebagai tenggang waktu sejak permohonan terdaftar sampai diputus”. Pemohon juga meminta agar Mahkamah menambahkan atau memperluas makna norma Pasal 31A ayat (4) UU MA: “...apabila terdapat peraturan yang sedang diuji telah dicabut akan diberikan tambahan waktu peralihan (misal 90 hari sejak peraturan dicabut) sebagai tenggang waktu untuk menyelesaikan permohonan”.
[3.10.2] Bahwa setelah mencermati permohonan Pemohon a quo, dan permohonan pada perkara sebelumnya, Mahkamah berpendapat bahwa benar ada perbedaan tentang dasar pengujian maupun alasan permohonan a quo dalam mengajukan pengujian Pasal 31A ayat (4) UU MA dengan permohonan Nomor 30/PUU-XIII/2015 dan permohonan Nomor 85/PUU-XVI/2018. Oleh karena itu, berdasarkan fakta hukum tersebut Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon memenuhi ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021 sehingga dapat diajukan kembali.
[3.11] Menimbang bahwa selanjutnya berkenaan dengan persoalan pokok permohonan Pemohon, Mahkamah setelah memeriksa secara saksama Permohonan a quo, dalil Pemohon bermuara pada satu persoalan konstitusional apakah ketentuan Pasal 31A ayat (4) UU MA mengenai tenggang waktu permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh MA bertentangan dengan UUD 1945 karena menimbulkan ketidakpastian hukum. Terhadap persoalan pokok tersebut, sebelum mempertimbangkan lebih jauh dalil a quo, penting bagi Mahkamah untuk mengutip kembali sebagian pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XIII/2015, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU- XVI/2018, meskipun menurut Pemohon permohonan a quo berbeda dengan Permohonan Nomor 30/PUU-XIII/2015 dan Permohonan Nomor 85/PUU-XVI/2018 namun menurut Mahkamah persoalan konstitusionalitas norma yang dimohonkan dalam permohonan a quo berkaitan erat dan ada relevansinya dengan pertimbangan hukum dalam putusan tersebut khususnya di dalam menjawab persoalan pokok yang didalilkan oleh Pemohon.
[3.11.2] Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XIII/2015 perihal pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, bertanggal 31 Mei 2016, Mahkamah menolak permohonan para Pemohon dengan pertimbangan hukum antara lain:
“[3.13] Menimbang bahwa sebagaimana yang telah diiuraikan Mahkamah dalam pertimbangan di atas, sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) UU 48/2009 dan Pasal 40 ayat (2) UU MA maka semua persidangan dan pengucapan putusan dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang termasuk perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Dalam perkara a quo, menurut Mahkamah, tidak ada pertentangan konstitusionalitas norma antara Pasal 31A ayat (4) UU MA dengan UUD 1945 karena telah jelas dan tegas bahwa Mahkamah Agung sebagai pengadilan yang berwenang untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang (hak uji materiil) diberikan langsung oleh UUD 1945 maka sidang pemeriksaan dan pengucapan putusannya dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Namun permasalahannya adalah apakah waktu 14 hari (sejak berkas diterima) yang diberikan oleh Undang-Undang kepada Mahkamah Agung untuk menyelesaikan perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang merupakan waktu yang cukup untuk melaksanakan sidang secara terbuka seperti yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945. Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Undang-Undang tidak diberikan batas waktu seperti Mahkamah Agung sehingga cukup waktu bagi Mahkamah Konstitusi untuk melakukan sidang pemeriksaan pembuktian untuk mendengar keterangan saksi atau pun keterangan ahli yang dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum. Dalam kenyataannya, perkara yang ditangani oleh Mahkamah Agung begitu banyak, tidak hanya perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang tetapi juga perkara kasasi dan upaya hukum lain serta perkara peninjauan kembali, yang juga membutuhkan waktu untuk penyelesaiannya. Demikian juga untuk menghadirkan pihak berperkara yang berada di seluruh wilayah Republik Indonesia memerlukan waktu lebih lama, sementara Mahkamah Agung hanya diberi waktu 14 hari untuk menyelesaikan perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang sejak permohonan diterima oleh Mahkamah Agung yang tidak dapat dilanggar oleh Mahkamah Agung. Alasan tersebut di atas menjadi kendala dan hambatan bagi Mahkamah Agung untuk melakukan persidangan yang dihadiri oleh pihak-pihak dan memberi kesempatan menghadirkan saksi dan ahli dalam sidang terbuka untuk umum dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang;
[3.14] Menimbang bahwa dengan dasar pertimbangan tersebut di atas, apabila para Pemohon mengharapkan sidang perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum dan dihadiri oleh para pihak maka Mahkamah Agung harus diberikan waktu yang cukup serta sarana dan prasarana yang memadai. Hal tersebut menurut Mahkamah, merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang (open legal policy) dan bukan merupakan konstitusionalitas norma”.
Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XVI/2018 perihal pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, bertanggal 24 Januari 2019, Mahkamah menolak permohonan para Pemohon dengan pertimbangan hukum antara lain:
“…Oleh karenanya apabila mencermati pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Nomor 30/PUU-XIII/2015, maka argumentasi para Pemohon tersebut juga telah dijawab dan ditegaskan oleh Mahkamah, bahwa hal tersebut terkendala dengan batas waktu pemeriksaan oleh MA yang diberikan oleh undang-undang yang hanya 14 (empat belas) hari kerja. Oleh karenanya meskipun para Pemohon mengajukan permohonan a quo dengan mendasarkan permohonannya yang merujuk Pasal 31A ayat (1) UU 3/2009, namun Mahkamah berkesimpulan semangat yang diinginkan oleh para Pemohon substansinya sama dengan permohonan yang telah diputus dalam Putusan Mahkamah Nomor 30/PUU-XIII/2015 yang tentunya tidak dapat dilepaskan dengan terkendalanya MA untuk melakukan pemeriksaan perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dengan menghadirkan dan mendengar kedua belah pihak (audi et alteram partem) dalam persidangan yang terbuka untuk umum dalam batas waktu pemeriksaan yang hanya 14 (empat belas) hari kerja sebagaimana yang diinginkan oleh para Pemohon. Dengan penegasan lain dalam pertimbangan hukum pada Putusan Mahkamah Nomor 30/PUUXIII/2015 tersebut tidak memungkinkan bagi MA untuk melaksanakan persidangan dengan menghadirkan para pihak dan memberi kesempatan untuk mengajukan alat bukti berupa saksi, ahli, serta bukti lainnya dalam persidangan yang terbuka untuk umum dalam batas waktu pemeriksaan yang hanya 14 (empat belas) hari kerja. Dengan pertimbangan hukum tersebut lebih lanjut Mahkamah menegaskan juga bahwa apabila para Pemohon mengharapkan sidang perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum dan dihadiri oleh para pihak maka MA harus diberikan waktu yang cukup serta sarana dan prasarana yang memadai. Hal tersebut menurut Mahkamah telah ditegaskan merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang dan bukan konstitusionalitas norma.”
[3.12] Menimbang bahwa setelah mencermati pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah tersebut di atas, telah jelas pendirian Mahkamah bahwa tidak ada keraguan mengenai penafsiran tenggang waktu pemeriksaan hak uji materiil di MA berdasarkan Pasal 31A ayat (4) UU MA, yaitu 14 (empat belas) hari kerja. Rumusan norma Pasal 31A ayat (4) UU MA sudah tegas menyatakan bahwa Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Mahkamah Agung paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan, sehingga tidak perlu menambahkan penafsiran sebagaimana dimaksud oleh Pemohon dalam permohonannya. Adapun persoalan di mana Pemohon mendapatkan fakta bahwa permohonan hak uji materiil yang diajukan oleh Pemohon menurut Pemohon disidangkan dan diputus telah melewati tenggang waktu sebagaimana Pasal 31A ayat (4) UU a quo, menurut Mahkamah hal tersebut merupakan persoalan penerapan norma, bukan konstitusionalitas norma di mana Mahkamah tidak berwenang untuk menilainya. Menurut Mahkamah, MA sebagai lembaga yang menerapkan norma a quo memiliki kewenangan untuk mengatur lebih lanjut mengenai bagaimana penerapan Pasal 31A ayat (4) UU MA dalam mengadili permohonan hak uji materiil sepanjang tidak menciderai rasa keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat pencari keadilan. Sebagaimana telah Mahkamah pertimbangkan pada Putusan sebelumnya, Mahkamah berpandangan bahwa tenggang waktu yang ditentukan oleh Pasal 31A ayat (4) UU MA merupakan pilihan pembentuk undang-undang dan tidak bertentangan dengan norma dalam UUD 1945. Dengan demikian, tidak ada kata atau frasa dalam Pasal 31A ayat (4) UU MA yang telah atau berpotensi mereduksi kewenangan MA dalam menyelenggarakan peradilan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 seperti yang diargumentasikan oleh Pemohon. Dengan demikian permohonan Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 31A ayat (4) UU MA terhadap Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.13] Menimbang bahwa sebagaimana telah diuraikan di atas, menurut Mahkamah tidak ada keraguan mengenai kejelasan maksud daripada Pasal 31A ayat (4) UU MA mengenai tenggang waktu pemeriksaan permohonan hak uji materiil. Dengan demikian, tidak terdapat pertentangan antara Pasal 31A ayat (4) UU MA terhadap hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam 50 Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain itu, Mahkamah menilai justru terdapat pertentangan antara petitum permohonan Pemohon, di mana pada Petitum angka (3) Pemohon meminta Pasal 31A ayat (4) UU MA dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: “Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Mahkamah Agung paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan sebagai tenggang waktu sejak permohonan terdaftar sampai diputus”, sedangkan pada Petitum angka (4), secara kumulatif Pemohon juga meminta agar Mahkamah menambahkan atau memperluas makna norma Pasal 31A ayat (4) UU MA: “...apabila terdapat peraturan yang sedang diuji telah dicabut akan diberikan tambahan waktu peralihan (misal 90 hari sejak peraturan dicabut) sebagai tenggang waktu untuk menyelesaikan permohonan”. Jika permohonan ini dipenuhi, justru berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 31A ayat (4) UU MA terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum. Sedangkan terhadap penggunaan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sebagai dasar pengujian menurut Mahkamah adalah tidak relevan terhadap norma a quo, karena substansi dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 adalah mengenai kemudahan dan perlakuan khusus warga negara untuk memeroleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, sehingga tidak berkaitan langsung dengan tenggang waktu pemeriksaan permohonan hak uji materiil sebagaimana diatur Pasal 31A ayat (4) UU MA. Terlebih ketentuan tersebut dimaksudkan untuk orang-orang yang harus mendapatkan perlakuan khusus untuk memeroleh kesempatan dan manfaat yang sama. Dengan demikian, dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 31A ayat (4) UU MA terhadap Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430