H.Ahmad Sabri Lubis, dkk yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada M. Kamil Pasha, S.H., M.H, dkk, para advokat dan Pemberi Bantuan Hukum pada kantor Tim Advokasi Penyelamat Anggaran Negara (TAPERA), untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.
Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3, Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020
Pasal 1 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 24 ayat (1), 27 ayat (1), 28D ayat (1), 28G ayat (1), 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan Jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekertariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian formil dan materiil Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, angka 3 dan Pasal 27 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Dalam Pengujian Formil
[3.16] Menimbang bahwa terhadap permohonan pengujian formil terkait UU 2/2020, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.16.1] Bahwa terhadap dalil para Pemohon mengenai kehadiran secara virtual pada rapat Paripurna DPR RI tanggal 12 Mei 2020 untuk membahas dan menyetujui Perpu Covid-19 menjadi UU 2/2020 adalah cacat hukum karena tidak memenuhi kuorum dan dipaksakan dengan mayoritas kehadiran menggunakan virtual sehingga bertentangan dengan Tata Tertib DPR, telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Sub-paragraf [3.16.2] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020, bertanggal 28 Oktober 2021 yang telah diucapkan sebelumnya, yang menyatakan:
“[3.16.2] … Adanya perubahan pola interaksi antar-manusia yang harus menerapkan protokol kesehatan seperti menjaga jarak baik secara fisik maupun secara sosial (physical and social distancing), menghindari kerumunan, membatasi pergerakan orang, memakai masker, mencuci tangan guna mencegah penularan. Kondisi ini menuntut penanganan secara cepat dan tepat, salah satunya dengan membuat berbagai regulasi. Namun, proses pembentukan undang-undang mengalami berbagai macam kendala disebabkan adanya pembatasan pergerakan masyarakat melalui Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) maupun Pembatasan Pemberlakuan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Begitu pula dalam berbagai penyelenggaraan negara pun mengalami permasalahan serupa. Oleh karena itu, kinerja legislasi dalam rangka membuat regulasi yang dibutuhkan masyarakat maupun demi efektivitas jalannya proses dan program pemerintahan tidak boleh terhambat. Dengan demikian menurut Mahkamah, pertemuan yang dilakukan secara virtual oleh DPR dan Presiden dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi saat ini dalam membuat regulasi yang dibutuhkan adalah sebuah kebutuhan dan suatu terobosan untuk tetap menghadirkan negara dalam kehidupan masyarakat terutama dalam masa pandemi. Terlebih lagi, di masa pandemi Covid-19 yang secara faktual telah menimbulkan krisis kesehatan, kemanusiaan, dan perlunya segera dilakukan penyelamatan ekonomi serta keuangan dengan berorientasi pada keselamatan rakyat. Sebab, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi (Salus Populi Suprema Lex Esto).
Bahwa dalam menyikapi pandemi Covid-19 dan untuk tetap dapat menjalankan tugas dalam penyusunan legislasi, tindakan yang dilakukan DPR dengan menetapkan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib DPR 2020) yang mulai berlaku pada 2 April 2020 adalah bagian dari upaya mengantisipasi penyebaran Covid-19. Berdasarkan Tatib DPR 2020 tersebut di dalam ketentuan Pasal 254 ayat (4) dinyatakan bahwa:
“Semua jenis rapat DPR dihadiri oleh Anggota, kecuali dalam keadaan tertentu, yakni keadaan bahaya, kegentingan yang memaksa, keadaan luar biasa, keadaan konflik, bencana alam, dan keadaan tertentu lain yang memastikan adanya urgensi nasional, rapat dapat dilaksanakan secara virtual dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.”
Dengan menggunakan dasar hukum tersebut, DPR melalui Badan Anggaran bersama Pemerintah melakukan Pembahasan Tingkat I UU a quo pada tanggal 4 Mei 2020 dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual. Begitu pun halnya dengan Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perpu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 dilaksanakan dengan menggunakan rapat kombinasi secara fisik maupun dengan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual.
Pelaksanaan rapat yang dihadiri secara virtual telah diatur secara jelas dalam Pasal 279 ayat (6) Tatib DPR 2020 yang menyatakan bahwa:
“Dalam hal penandatanganan daftar hadir Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dapat dilakukan dan disebabkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254 ayat (4), kehadiran Anggota dalam semua jenis rapat DPR dilakukan berdasarkan kehadiran secara virtual.”
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 279 ayat (7) Tatib DPR 2020 menyatakan bahwa:
“Bukti kehadiran secara virtual sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dikonfirmasi dan diverifikasi keabsahannya melalui Sekretariat Jenderal DPR.”
Oleh karena itu, berdasarkan dokumen sebagaimana terlampir dalam Lampiran II, maka Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perpu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 yang dilakukan dengan metode hybrid, yakni metode gabungan rapat virtual dengan rapat fisik yang dilakukan secara bersamaan. Rapat Paripurna DPR pada 12 Mei 2020 yang memberikan persetujuan atas RUU Penetapan Perpu 1/2020 menjadi UU tersebut, dihadiri oleh 438 Anggota DPR (355 orang mengikuti secara virtual dan 83 orang hadir secara fisik). Namun demikian, menurut Mahkamah, pembentukan undang-undang di masa pandemi harus tetap memerhatikan asas keterbukaan. Berdasarkan Penjelasan ketentuan Pasal 5 huruf g UU 12/2011 yang dimaksud dengan asas keterbukaan sebagai berikut.
“Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.”
Berdasarkan hal di atas, salah satu inti dari asas keterbukaan ini adalah akses masyarakat terhadap parlemen (access to parliament). Di masa pandemi Covid-19 yang telah berlangsung sejak awal 2020 hingga saat ini di mana mobilitas, kegiatan, acara baik itu Rapat Dengar Pendapat (RDP), seminar, diskusi terbatas (Focus Group Dicsussion) dan jaring aspirasi publik serba terbatas, tetapi di sisi lain kerja legislasi oleh lembaga perwakilan rakyat tak boleh terhambat. Banyak RUU yang harus diselesaikan sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan oleh DPR untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan pelaku usaha. Oleh karena itu, partisipasi publik tidak dapat dilakukan secara langsung (tatap muka) karena keterbatasan-keterbatasan yang diakibatkan kondisi pandemi, sehingga partisipasi publik secara konvensional tidak relevan dipersoalkan dalam masa pandemi Covid-19. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah bahwa dalil para Pemohon yang pada pokoknya menyatakan bahwa rapat virtual berpotensi melanggar kedaulatan rakyat tidak beralasan menurut hukum.”
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, oleh karena berkenaan dengan dalil kehadiran secara virtual dalam Rapat Paripurna DPR telah dinyatakan tidak beralasan menurut hukum oleh Mahkamah maka pertimbangan hukum tersebut berlaku secara mutatis mutandis sebagai pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XVIII/2020 a quo.
[3.16.2] Bahwa para Pemohon mendalilkan penetapan, pembahasan, dan persetujuan Perpu Covid-19 menjadi UU 2/2020 dilakukan pada masa sidang yang sama, yaitu Masa Persidangan III Tahun Sidang 2019-2020 sehingga bertentangan dengan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut”. Menurut Mahkamah, ketentuan tersebut mengatur mengenai batasan waktu bagi DPR memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan atas Perpu yang ditetapkan oleh Presiden yakni dalam persidangan yang berikut. Adanya frasa “persidangan yang berikut” merupakan perintah konstitusi agar DPR dapat segera memberikan kepastian mengenai penilaian terhadap Perpu yang telah ditetapkan Presiden tersebut. Jika disetujui maka Perpu dimaksud akan menjadi undang-undang, sebaliknya jika tidak disetujui maka Perpu tersebut haruslah dicabut atau dibatalkan.
Bahwa Perpu pada dasarnya memiliki jangka waktu yang terbatas (sementara) serta mungkin saja memiliki substansi pengaturan yang berpotensi bertentangan atau melanggar konstitusi mengingat kewenangan pembentukan Perpu berada di tangan Presiden [vide Pasal 22 ayat (1) UUD 1945]. Namun demikian, meskipun pembentukan Perpu tergantung pada penilaian subjektif Presiden tidak berarti bahwa secara absolut tergantung kepada penilaian subjektif Presiden karena penilaian subjektif Presiden tersebut harus didasarkan kepada keadaan yang objektif yaitu adanya tiga syarat sebagai parameter adanya kegentingan yang memaksa sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, bertanggal 8 Februari 2010.
Bahwa persoalan konstitusional selanjutnya yang harus dijawab adalah apakah penilaian DPR untuk memberi persetujuan atau tidak atas Perpu harus dilakukan pada masa sidang berikutnya persis pada masa sidang setelah Perpu itu dikeluarkan ataukah pada masa sidang berikutnya lagi ataukah bagaimana jika Perpu ditetapkan pada saat masa sidang DPR sedang berlangsung dan setelahnya adalah masa reses sehingga DPR baru dapat memberikan persetujuan atau tidak setelah masa reses tersebut berakhir. Faktanya, Presiden menetapkan Perpu 1/2020 pada 31 Maret 2020 dan menyampaikan RUU tentang Penetapan Perpu 1/2020 menjadi undang-undang kepada DPR pada 1 April 2020, yaitu pada Masa Persidangan III Tahun Sidang 2019-2020 yang dimulai pada 23 Maret 2020 sampai dengan tanggal 14 Juni 2020. Selanjutnya DPR menyetujui RUU tentang Penetapan Perpu 1/2020 menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR pada 12 Mei 2020. Artinya, penetapan Perpu Covid-19 oleh Presiden dan pengajuan RUU tentang Penetapan Perpu 1/2020 menjadi undang-undang kepada DPR serta persetujuan DPR dilakukan dalam masa sidang yang sama, yaitu Masa Persidangan III Tahun Sidang 2019-2020.
Bahwa terhadap fakta hukum tersebut, menurut Mahkamah, frasa “persidangan yang berikut” dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 haruslah dimaknai apabila Perpu itu diajukan pada masa reses DPR. Sehingga jika Perpu diajukan pada rentang waktu pelaksanaan masa sidang DPR sebagaimana diatur dalam Tatib DPR 2020 maka frasa “persidangan yang berikut” harus diartikan sebagai persidangan pengambilan keputusan oleh DPR seketika setelah Perpu ditetapkan oleh Presiden dan diajukan kepada DPR. Artinya, meskipun Perpu ditetapkan dan diajukan oleh Presiden pada saat masa sidang DPR sedang berjalan (bukan masa reses), maka DPR haruslah memberikan penilaian terhadap RUU Penetapan Perpu tersebut pada sidang pengambilan keputusan di masa sidang DPR yang sedang berjalan tersebut. Adapun jika Perpu ditetapkan dan diajukan oleh Presiden pada masa reses maka DPR harus memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Perpu tersebut pada sidang pengambilan keputusan di masa sidang DPR setelah masa reses dimaksud berakhir. Hal demikian penting mengingat esensi diterbitkannya Perpu adalah karena adanya keadaan kegentingan yang memaksa sebagai syarat absolut. Sehingga semakin panjang jangka waktu DPR memberikan persetujuan atau tidak berkenaan dengan Perpu yang diajukan Presiden, hal tersebut akan menghilangkan esensi diterbitkannya Perpu dimaksud. Terlebih lagi, adanya pengaturan mengenai waktu bagi DPR untuk memberikan persetujuan atau tidak berkenaan dengan terbitnya Perpu, lebih memberikan jaminan kepastian hukum baik terhadap keabsahan maupun sifat keberlangsungan Perpu, mengingat Perpu dibentuk berdasarkan adanya hal ihwal kegentingan memaksa, yang dalam hal ini adalah pandemi Covid-19 yang bukan hanya mengancam kesehatan namun juga keselamatan dan perekonomian nasional. Sehingga, diperlukan langkah antisipatif sebagai upaya bersama guna menghadapi pandemi tersebut. Dengan pertimbangan dan fakta demikian, dalil para Pemohon yang pada pokoknya menyatakan penetapan, pembahasan, dan persetujuan DPR terkait Perpu 1/2020 bertentangan dengan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut maka dalil para Pemohon berkenaan dengan pengujian formil konstitusionalitas UU 2/2020 harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum;
Dalam Pengujian Materiil
[3.19] Menimbang bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon mengenai pengujian materiil norma Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3 Lampiran UU 2/2020 telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Sub-Paragraf [3.18.1] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020, bertanggal 28 Oktober 2021, yang telah diucapkan sebelumnya, yang menyatakan:
“[3.18.1] … Bahwa berkaitan hal-hal sebagaimana yang didalilkan para Pemohon tersebut di atas, setelah dicermati dengan saksama dalil-dalil para Pemohon dimaksud telah ternyata saling berkaitan erat dan bertumpu pada argumen khusus yaitu adanya kekhawatiran para Pemohon berkenaan dengan penggunaan keuangan negara dalam penanggulangan pandemi Covid 19. Terhadap dalil-dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat sesungguhnya pilihan kebijakan pemerintah sebagaimana tertuang dalam norma-norma yang dilakukan pengujian tersebut di atas oleh para Pemohon adalah pilihan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah karena adanya keterdesakan keadaan atau kondisi darurat. Dalam hal ini, kebijakan dalam penanganan pandemi Covid-19 yang tidak bisa tidak harus bersentuhan dengan soal keuangan atau anggaran, termasuk dalam hal ini kemungkinan-kemungkinan adanya asumsi penyalahgunaan keuangan negara dimaksud. Oleh karena itu, Mahkamah dapat memahami pilihan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah tersebut karena pemerintah memang memiliki pilihan yang sangat terbatas dalam penanganan pandemi Covid-19 yang tentunya memerlukan beban anggaran yang tidak bisa diprediksi sebagaimana layaknya beban anggaran negara dalam keadaan normal. Dengan demikian, Mahkamah tidak serta-merta juga menegasikan adanya kekhawatiran-kekhawatiran semua pihak, termasuk dalam hal ini para Pemohon, adanya gangguan stabilitas keuangan yang dipergunakan untuk fokus pada penanganan pandemi Covid-19. sehingga, terkait dengan persoalan perluasan judul yang dikhawatirkan oleh para Pemohon dengan sendirinya telah terjawab dengan adanya penegasan a quo dari Mahkamah. Namun demikian, dalam keadaaan yang dilema seperti saat ini Mahkamah menegaskan tidak ada persoalan konstitusionalitas berkaitan dengan norma-norma yang dipersoalkan para Pemohon tersebut di atas sepanjang hal tersebut hanya berkaitan dengan penanganan pandemi Covid-19. Oleh karena itu, dalil-dalil para Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas pasal-pasal tersebut di atas tidak beralasan menurut hukum.”
Berdasarkan pertimbangan tersebut, oleh karena isu konsitutional yang dikemukakan oleh para Pemohon berkenaan dengan alasan pengujian Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3 Lampiran UU 2/2020 pada pokoknya adalah sama dengan isu konstitusional sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUUXVIII/2020 a quo dan telah dinyatakan tidak beralasan menurut hukum, maka pertimbangan dalam Putusan tersebut mutatis mutandis berlaku pula untuk permohonan a quo, khususnya berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3 Lampiran UU 2/2020. Dengan demikian, dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3 Lampiran UU 2/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.20] Menimbang bahwa terhadap permohonan pengujian materiil norma Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.20.1] Bahwa Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020, bertanggal 28 Oktober 2021, yang telah diucapkan sebelumnya dengan amar yang menyatakan:
“Mengadili:
…
Dalam Pengujian Materiil:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan frasa “bukan merupakan kerugian negara” Pasal 27 ayat (1) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Sehingga Pasal 27 ayat (1) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516) yang semula berbunyi, “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara”, menjadi selengkapnya berbunyi, “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
3. Menyatakan frasa “bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara” dalam Pasal 27 ayat (3) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara sepanjang dilakukan terkait dengan penanganan pandemi Covid-19 serta dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundangundangan”. Sehingga Pasal 27 ayat (3) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516) yang semula berbunyi, “Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara”, menjadi selengkapnya berbunyi, “Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara sepanjang dilakukan terkait dengan penanganan pandemi Covid-19 serta dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
4. …”
Dengan adanya Putusan Mahkamah tersebut, maka terhadap Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020, Mahkamah telah mempertimbangkan konstitusionalitasnya dan telah menyatakan syarat pemaknaan yang konstitusional terhadap norma a quo. Dengan demikian, sejak putusan tersebut diucapkan, meskipun terdapat 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh berkenaan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020, maka pemaknaan yang konstitusional terhadap Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 adalah sebagaimana Amar dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUUXVIII/2020 tersebut, sehingga bukan lagi norma lengkap sebagaimana yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon. Dengan adanya putusan tersebut, maka norma Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 yang didalilkan para Pemohon inkonstutisional menjadi kehilangan objek sehingga tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut.
[3.20.2] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon mengenai pengujian materiil norma Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Sub-Paragraf [3.19.3] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020, bertanggal 28 Oktober 2021, yang telah diucapkan sebelumnya yang menyatakan:
“[3.19.3] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil para Pemohon terkait inkonstitusional norma Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, Mahkamah mempertimbangkan, oleh karena telah dinyatakan inkonstitusionalnya frasa “bukan merupakan kerugian negara” secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan” dalam norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, maka dengan demikian sudah tidak terdapat lagi adanya persoalan inkonstitusionalitas antara norma Pasal 27 ayat (1) dengan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Sehingga, tidak terdapat lagi persoalan inkonstitusionalitas terhadap norma Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Sebab, tindakan hukum baik secara pidana maupun perdata tetap dapat dilakukan terhadap subjek hukum yang melakukan penyalahgunaan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 sepanjang perbuatan tersebut menimbulkan kerugian negara karena dilakukan dengan iktikad tidak baik dan melanggar peraturan perundang-undangan dalam norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, telah ternyata Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah menjamin kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil permohonan para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum.”
Oleh karena isu konsitutional yang dikemukakan oleh para Pemohon berkenaan dengan alasan pengujian Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 pada pokoknya adalah tidak jauh berbeda dengan isu konstitusional sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUUXVIII/2020 a quo, maka pertimbangan hukum dalam putusan di atas mutatis mutandis berlaku untuk permohonan a quo, khususnya berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Dengan demikian dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.21] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon berkenaan dengan Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3 serta Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUUXVIII/2020 mutatis mutandis berlaku terhadap pertimbangan hukum Putusan permohonan a quo sehingga permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Adapun permohonan para Pemohon berkenaan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 adalah kehilangan objek.
[3.22] Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil lain dan hal-hal lain dari permohonan para Pemohon yang dipandang tidak relevan dan oleh karenanya tidak dipertimbangkan lebih lanjut, serta dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430