Herifuddin Daulay (Guru Honorer) untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.
Pasal 169 huruf b, Pasal 227 huruf a dan Pasal 229 ayat (1) huruf g UU 7/2017 serta Pasal 2 dan Penjelasan Pasal 2 UU 12/2006
Alinea I Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, Pasal 28B ayat (1), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28I ayat (2) dan ayat (4), dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekertariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian UU 7/2017 dan UU 12/2006 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut permohonan Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan permohonan Pemohon terkait dengan adanya permohonan pengujian norma yang sama yaitu Pasal 227 dan Pasal 229 UU 7/2017 pada perkara pengujian undang-undang yang telah diputus oleh Mahkamah berkenaan dengan keterpenuhan syarat Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (selanjutnya disebut PMK 2/2021) yang masing-masing menyatakan:
Pasal 60 UU MK:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Pasal 78 PMK 2/2021:
(1) Terhadap materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undangundang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali,
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.
[3.10.1] Bahwa terhadap Pasal 227 dan Pasal 229 UU 7/2017 sudah pernah diajukan pengujiannya dan telah diputus oleh Mahkamah pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XVI/2018, bertanggal 23 Mei 2018, yang masing-masing pada pokoknya:
1. Bahwa dalam Permohonan Nomor 33/PUU-XVI/2018, Pemohon mengajukan pengujian Pasal 227 dan Pasal 229 UU 7/2017 dengan dasar pengujian Pasal 26 ayat (1) UUD 1945. Pemohon dalam petitumnya meminta agar frasa “bakal Pasangan Calon” dalam Pasal 227 UU 7/2017 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “masing-masing bakal calon telah mendapatkan restu dari 50%+1 anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia” dan menyatakan Pasal 229 UU 7/2017 adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk “surat restu dari 50%+1 anggota Dewan Perwakilan Daerah hasil sidang Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap masing-masing bakal calon”.
2. Bahwa selanjutnya dalam permohonan a quo, yaitu perkara Nomor 50/PUUXIX/2021, Pemohon mengajukan Pasal 227 dan Pasal 229 UU 7/2017 dengan dasar pengujiannya Alinea I Pembukaan UUD 1945, Pasal 28B ayat (1), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28I ayat (2) dan ayat (4), Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Selain itu, Pemohon mempersoalkan juga ketentuan yang terdapat dalam Pasal 169 huruf b UU 7/2017 dan Pasal 2 serta Penjelasan Pasal 2 UU 12/2006. Pemohon dalam petitumnya meminta agar frasa “Warga negara Indonesia” dalam Pasal 169 huruf b, Pasal 227 huruf a, Pasal 229 ayat (1) huruf g UU 7/2017 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Warga Negara Indonesia Berkebangsaan Indonesia Asli Nusantara” dan Pasal 2 UU 12/2006 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Warga Negara Indonesia yang kelahiran sukunya berasal dari teritori Nusantara”.
[3.10.2] Bahwa setelah mencermati permohonan Pemohon a quo, dan permohonan pada perkara sebelumnya, Mahkamah berpendapat adalah benar ada perbedaan tentang dasar pengujian maupun alasan permohonan a quo dalam mengajukan pengujian Pasal 227 dan Pasal 229 UU 7/2017 dengan permohonan Perkara Nomor 33/PUU-XVI/2018. Oleh karena itu, berdasarkan fakta hukum tersebut Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon memenuhi ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021 sehingga dapat diajukan kembali.
[3.11] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan konstitusionalitas norma Pasal 169 huruf b, Pasal 227 huruf a, Pasal 229 ayat (1) huruf g UU 7/2017 serta Pasal 2 dan Penjelasan Pasal 2 UU 12/2006 sebagaimana didalilkan Pemohon serta setelah membaca dan mempelajari secara saksama Permohonan Pemohon, inti persoalan permohonan a quo bertumpu pada keberatan Pemohon berkenaan dengan tidak adanya frasa “berkebangsaan Indonesia Asli Nusantara” pada norma-norma yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya;
[3.12] Menimbang bahwa terkait dengan keinginan Pemohon menyatakan tanpa memaknai/menambahkan frasa “berkebangsaan Indonesia Asli Nusantara” dimaksud, Mahkamah perlu mengemukakan beberapa hal berikut:
[3.12.1] Bahwa merujuk sejarah perkembangan ketatanegaraan Indonesia, frasa “berkebangsaan Indonesia Asli Nusantara” yang dimohonkan oleh Pemohon sangat terkait dengan frasa “orang Indonesia Asli” sebagai persyaratan konstitusional yang harus dipenuhi oleh seorang Presiden sebagaimana termaktub dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 dan masalah kewarganegaraan dalam Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan konstitusi 1999-2002;
[3.12.2] Bahwa berkenaan dengan persyaratan dimaksud, setelah menelusuri Risalah Pembahasan UUD 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), para Pendiri Negara berupaya mencarikan jalan keluar perihal siapa yang akan menjadi warga negara Indonesia setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan sebagai sebuah negara merdeka. Rancangan awal UUD 1945 menentukan bahwa warga negara akan diberikan kepada “orang-orang bangsa Indonesia asli”. Dalam sidang BPUPK, terdapat pandangan yang sama bahwa orang-orang peranakan harus diakomodasi menjadi bagian dari warga negara Indonesia. Karena itu, muncul usulan agar ketentuan mengenai kewarganegaraan cukup memuat frasa “orang-orang bangsa Indonesia” tanpa menggunakan kata “asli”. Namun sebelum menjadi norma Konstitusi, salah seorang Pendiri Negara, yaitu Soepomo mengingatkan akan terdapat masalah yuridis dalam hukum internasional apabila orang-orang peranakan langsung memperoleh status warga negara Indonesia. Sebab pada saat itu, di antara orang-orang peranakan masih ada yang mempunyai status sebagai warga negara lain sesuai Nederlandsch Onderdaan. Dengan demikian, Soepomo ingin mencegah agar tidak terjadi permasalahan dubbele nationaliteit di kemudian hari (AB Kusuma 2004: 388). Karena itu, Soepomo mengusulkan orang-orang yang untuk pertama kalinya dapat langsung menjadi warga negara Indonesia adalah “mesti ada satu group yang lebih terang”. Sedangkan, peranakan lainnya secara de jure akan disahkan menjadi warga negara dengan undang-undang.
[3.12.3] Bahwa setelah catatan dan usulan yang disampaikan oleh Soepomo tersebut, akhirnya norma Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 dirumuskan menjadi, “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara”;
[3.12.4] Bahwa secara konstitusional, syarat “orang Indonesia asli” tersebut tidak hanya berkenaan dengan status kewarganegaraan sebagaimana termaktub dalam Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 tetapi juga menjadi syarat sebagai Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan yang menyatakan, “Presiden ialah orang Indonesia Asli”. Adanya persyaratan “orang Indonesia asli” tersebut tidak terlepas dari kekhawatiran bahwa tanpa menambah syarat tersebut terbuka kesempatan bagi orang Jepang untuk menjadi Presiden;
[3.12.5] Bahwa menelusuri perkembangan sejarah ketatanegaraan Indonesia selanjutnya, syarat “orang Indonesia asli” untuk menjadi Presiden tersebut tidak lagi dipergunakan dalam Konsitusi Republik Indonesia Serikat 1949 (KRIS 1949) dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950). Dalam hal ini, Pasal 69 ayat (3) KRIS 1949 menyatakan, “Presiden harus orang Indonesia yang telah berusia 30 tahun; beliau tidak boleh orang yang tidak diperkenankan serta dalam/atau menjalankan hak pilih ataupun orang yang telah dicabut haknya untuk dipilih”. Sementara itu, Pasal 45 ayat (5) UUDS 1950 menyatakan, “Presiden dan Wakil Presiden harus warga-negara Indonesia yang telah berusia 30 tahun dan tidak boleh orang yang tidak diperkenankan serta dalam atau menjalankan hak-pilih ataupun orang yang telah dicabut haknya untuk dipilih”.
[3.13] Menimbang bahwa setelah dilakukan perubahan terhadap UUD 1945 yang dihasilkan para Pendiri Negara, frasa “orang-orang Indonesia asli” dalam Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 tidak dilakukan perubahan. Namun demikian, syarat dimaksud telah diubah dan tidak lagi menjadi persyaratan untuk menjadi Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan. Setelah perubahan UUD 1945, norma Pasal 6 ayat (1) diubah menjadi, “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden”.
[3.14] Menimbang bahwa dengan diubahnya persyaratan untuk menjadi Presiden dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 dan dihapusnya frasa “orang Indonesia asli” bermakna telah terjadi perubahan fundamental mengenai syarat menjadi Presiden (termasuk Wakil Presiden) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sekalipun telah diubah tidak berarti syarat menjadi Presiden menjadi longgar karena Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan menambah syarat lain terutama “harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri”;
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, menyatakan inkonstitusional ketentuan Pasal 169 huruf b, Pasal 227 huruf a, Pasal 229 ayat (1) huruf g UU 7/2017 serta Pasal 2 dan Penjelasan Pasal 2 UU 12/2006 justru akan bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam Alinea I Pembukaan UUD 1945, serta semangat perlindungan dalam Pasal 28B ayat (1), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28I ayat (2) dan ayat (4), Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, permohonan Pemohon berkenaan dengan Pasal 169 huruf b, Pasal 227 huruf a, Pasal 229 ayat (1) huruf g UU 7/2017 serta Pasal 2 dan Penjelasan Pasal 2 UU 12/2006 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430