Dr. H. Alirman Sori, S.H., M. Hum., M.M (Anggota DPD RI sebagai Ketua Panitia Perancang Undang-Undang), Tamsil Linrung (Anggota DPD RI/Komite II), Dr. H. Erzaldi Rosman Djohan, S.E., M.M. (Gubernur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung), dkk, dalam hal ini memberikan kuasa kepada Dr. Ahmad Redi, S.H., M.H, dkk , para Advokat dan/atau Pendamping Hukum yang tergabung dalam “Tim Hukum Uji Formil UU Minerba”, untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.
pengujian formil UU 3/2020
-
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian formil UU 3/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Dalam Provisi
[3.10] Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan permohonan provisi yang pada pokoknya menyatakan menunda keberlakuan UU 3/2020, sampai adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara a quo. Selama penundaan, undang-undang yang digunakan yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU 4/2009) dengan alasan yang pada pokoknya demi penyelamatan sumber daya alam Indonesia yang sangat eksploitatif dan penghentian atas kerusakan lingkungan yang demikian masif di sebagian wilayah di Indonesia yang menjadi sentral kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. Terhadap permohonan provisi a quo, Mahkamah berpendapat bahwa alasan permohonan provisi yang diajukan para Pemohon adalah berkaitan dengan potensi kerugian konstitusional para Pemohon dan tidak serta merta berkaitan dengan kepentingan umum yang mendesak. Selain itu, dugaan adanya keterkaitan antara permohonan Pemohon dengan upaya penyelamatan sumber daya alam dan penghentian kerusakan lingkungan adalah berkaitan dengan materi atau substansi dari UU 3/2020, sedangkan permohonan para Pemohon adalah mempermasalahkan mengenai proses pembentukan UU 3/2020 atau pengujian secara formil sehingga alasan permohonan provisi tersebut menjadi tidak relevan dengan pokok permohonan. Dengan demikian, permohonan provisi para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Dalam Pokok Permohonan
[3.17] Menimbang bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil-dalil para Pemohon, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.17.1] Bahwa para Pemohon mendalilkan RUU Minerba yang kemudian menjadi UU 3/2020 tidak memenuhi kualifikasi sebagai RUU yang dapat dilanjutkan pembahasannya (carry over). Terhadap dalil para Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk mengutip kembali Pasal 71A UU 15/2019 yang menyatakan:
“Dalam hal pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) telah memasuki pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah pada periode masa keanggotaan DPR saat itu, hasil pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut disampaikan kepada DPR periode berikutnya dan berdasarkan kesepakatan DPR, Presiden, dan/atau DPD, Rancangan Undang-Undang tersebut dapat dimasukkan kembali ke dalam daftar Prolegnas jangka menengah dan/atau Prolegnas prioritas tahunan.”
Tanpa bermaksud menilai substansi atau materiil dari norma Pasal 71A UU a quo, menurut Mahkamah perlu terlebih dahulu dirinci unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 71A UU a quo untuk menilai suatu RUU memenuhi syarat-syarat untuk dilanjutkan pembahasannya (carry over) oleh DPR periode berikutnya, yaitu:
a. RUU telah memasuki pembahasan DIM pada periode masa keanggotaan DPR saat itu (2015-2019);
b. Hasil pembahasan RUU disampaikan kepada DPR periode berikutnya (2020- 2024); dan
c. Berdasarkan kesepakatan DPR, Presiden, dan/atau DPD, RUU tersebut dapat dimasukkan kembali ke dalam daftar Prolegnas jangka menengah dan/atau Prolegnas prioritas tahunan.
Bertolak dari unsur-unsur di atas penting bagi Mahkamah untuk mencermati keterangan DPR berkenaan dengan syarat RUU telah memasuki pembahasan DIM pada periode masa keanggotaan DPR saat itu, in casu untuk RUU Minerba sebagai berikut:
1. DPR menerangkan bahwa Pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah adalah masuk ke dalam tahapan pembahasan Undang-Undang pembicaraan tingkat I.
2. DPR menerangkan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 151 Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat (Tatib DPR 2020), Pembicaraan tingkat I dilakukan dalam rapat kerja, rapat panitia kerja, rapat tim perumus/tim kecil; dan/atau rapat tim sinkronisasi (sebelumnya diatur dalam Pasal 153 Tatib DPR 2014). Rapat Kerja tersebut merupakan rapat antara komisi, gabungan komisi, Badan Legislatif, panitia khusus, atau Badan Anggaran bersama dengan Menteri yang mewakili Presiden untuk terlebih dahulu menyepakati jadwal rapat Pembicaraan Tingkat I pembahasan RUU serta waktu penyusunan dan penyerahan DIM (vide Pasal 153 Tatib DPR 2020).
3. DPR menerangkan bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dengan telah disepakatinya jadwal pembahasan DIM tersebut dalam rapat kerja, maka kegiatan pembahasan DIM telah dimulai pelaksanaannya.
4. DPR menerangkan bahwa berdasarkan Risalah Rapat Kerja pada 18 Juli 2019 dengan agenda Pembahasan DIM (vide Lampiran XII Keterangan DPR), Pemerintah menyampaikan mengenai jumlah DIM sebanyak 884 poin. Pemerintah menerangkan pula bahwa frasa “pembahasan DIM” dapat dimaknai sebagai forum untuk melakukan pembahasan DIM.
5. DPR menerangkan bahwa selain Rapat Kerja tanggal 18 Juli 2019 tersebut, tercatat pula telah dilakukan beberapa kali rapat kerja dengan agenda pembahasan DIM bersama dengan Pemerintah pada periode keanggotaan DPR sebelumnya, yaitu tanggal 12 dan 25 September 2019 (vide Lampiran XIII dan Lampiran XIV Keterangan DPR);
Selanjutnya, berkenaan dengan syarat sesuai unsur kedua dan ketiga di atas mengenai RUU yang dapat dilanjutkan pembahasannya (carry over) pada periode berikutnya berdasarkan kesepakatan DPR, Presiden, dan DPD, penting bagi Mahkamah untuk mencermati keterangan DPR mengenai RUU Minerba sebagai berikut:
1. DPR menerangkan bahwa dalam Rapat Kerja Baleg DPR dengan Menteri Hukum dan HAM dan Panitia Perancangan UU DPD RI pada 5 Desember 2019 dengan agenda Penetapan Prolegnas Prioritas Tahunan (vide Lampiran III Keterangan DPR), telah disepakati bahwa Pembahasan RUU Perubahan UU 4/2009 dapat dilanjutkan pada periode keanggotaan DPR berikutnya, sehingga DPR, Presiden, dan DPD telah menyetujui/menyepakati untuk menjadikan RUU Perubahan UU 4/2009 masuk dalam Prolegnas 2020-2024 sebagai RUU Carry Over.
2. DPR menerangkan bahwa Prolegnas tahun 2020-2024 telah ditetapkan pada 17 Desember 2019 berdasarkan Keputusan DPR RI Nomor 46/DPR RI/I/2019-2020 yang di dalamnya memasukkan RUU Perubahan UU 4/2009 sebagai RUU Carry Over nomor urut 57 (vide Lampiran XVI Keterangan DPR).
3. DPR menerangkan bahwa pada 16 Januari 2020 telah dilaksanakan rapat kerja Baleg DPR dengan Menteri Hukum & HAM RI dan Panitia Perancang UU DPD RI yang menyepakati RUU Perubahan UU 4/2009 untuk tetap menjadi RUU carry over dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2020 (vide Lampiran IV Keterangan DPR)
4. Bahwa berdasarkan uraian fakta di atas, maka DPR, Presiden, dan DPD telah menyepakati RUU Perubahan UU 4/2009 sebagai RUU carry over karena telah memenuhi ketentuan Pasal 71A UU 15/2019.
Berkenaan dengan RUU Minerba sebagai RUU carry over, Pemerintah telah menerangkan bahwa carry over dilakukan terhadap suatu rancangan undang-undang yang telah masuk dalam pembicaraan/pembahasan pada Tingkat I dan memiliki DIM pada masa keanggotan DPR periode sebelumnya (2015-2019). Hal ini berarti bahwa carry over memberikan hak sepenuhnya kepada anggota DPR periode berikutnya apakah akan menyetujui untuk melanjutkan rancangan undang-undang yang di-carry over dari anggota DPR periode sebelumnya tanpa atau dengan pembahasan ulang atas seluruh materi RUU Minerba. Sekali lagi, tanpa Mahkamah bermaksud menilai substansial atau materiil Ketentuan Pasal 71A UU 15/2019, menurut Mahkamah, adanya ketentuan ini adalah untuk memperjelas status suatu RUU yang telah masuk dalam Prolegnas periode sebelumnya dan telah pula ditetapkan sebagai prioritas tahunan serta telah disiapkan DIM untuk RUU tersebut, sehingga perlu ada kepastian bagaimana keberlanjutan RUU tersebut supaya tidak lagi terkatung-katung atau diulangi lagi seluruh proses yang telah berjalan mulai dari awal, sebagaimana hal ini dijelaskan dalam Penjelasan Umum UU 15/2019 bahwa “Pengaturan mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang yang sudah dibahas oleh DPR bersama Presiden dalam suatu periode untuk dibahas kembali dalam periode selanjutnya untuk memastikan keberlanjutan dalam pembentukan Undang-Undang;”
Dalam kaitan ini, Pemerintah dan DPR berpandangan bahwa carry over dilakukan terhadap suatu RUU yang telah masuk dalam Pembicaraan Tingkat I dan memiliki DIM pada masa keanggotaan DPR periode sebelumnya. Bahwa faktanya penyusunan RUU Perubahan UU 4/2009 telah dimulai sejak tahun 2015 dan masuk dalam Prolegnas Tahun 2015-2019, merupakan usul inisiatif DPR yang ditetapkan dalam Rapat Paripurna tanggal 10 April 2018 untuk kemudian disampaikan kepada Presiden pada 11 April 2018. Terdapat fakta pula bahwa pada Rapat Kerja Badan Legislatif DPR dengan agenda Pengambilan Keputusan Prolegnas Tahun 2020- 2024 dan Prolegnas Prioritas Tahun 2020 pada 5 Desember 2019 dihadiri oleh Menteri Hukum dan HAM dan Pimpinan Panitia Perancangan UU DPD. Dalam rapat tersebut telah ditetapkan jumlah RUU dalam Prolegnas Tahun 2020-2024 sebanyak 248 RUU, yang salah satunya adalah RUU Perubahan UU 4/2009 sebagai RUU carry over. Artinya, DPR, Presiden, dan DPD telah menggunakan haknya untuk bersikap menyepakati sebagaimana unsur dari ketentuan Pasal 71A UU 15/2019 bahwa RUU Perubahan UU 4/2009 dimasukkan kembali ke dalam daftar Prolegnas jangka menengah dan/atau Prolegnas prioritas tahunan.
Berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon mengenai RUU Minerba yang kemudian disahkan sebagai UU 3/2020 tidak memenuhi syarat RUU carry over berdasarkan Pasal 71A UU 15/2019 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.17.2] Bahwa para Pemohon mendalilkan, pembahasan UU 3/2020 melanggar prinsip keterbukaan. Menurut para Pemohon hampir seluruh Pembahasan RUU Minerba yang kemudian disahkan dilakukan secara tertutup dan tidak dilakukan di gedung DPR, hal ini melanggar asas keterbukaan.
Berkenaan dengan asas keterbukaan, Penjelasan Pasal 5 huruf g UU 12/2011 menjelaskan yang dimaksud dengan asas keterbukaan adalah:
“bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, sepanjang tidak adanya hambatan bagi seluruh lapisan masyarakat untuk mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, maka tidak dapat dikatakan pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut melanggar asas keterbukaan. DPR dalam keterangannya menerangkan bahwa ketentuan Pasal 254 ayat (3) Tatib DPR 2020 menyatakan “semua jenis rapat DPR dilakukan di gedung DPR, kecuali ditentukan lain, rapat dapat dilakukan di luar gedung DPR atas persetujuan Pimpinan DPR”. Berdasarkan ketentuan tersebut tidak menutup kemungkinan bagi DPR untuk melakukan rapat di luar gedung DPR sebagaimana telah dilaksanakannya untuk beberapa rapat Panja RUU Minerba dengan Pemerintah dari tanggal 20-26 Februari 2020. Rapat-rapat tersebut dilakukan sesuai dengan jadwal acara rapat DPR Masa Persidangan II Tahun Sidang 2019-2020 yang telah diputuskan dalam Rapat Konsultasi Pengganti Rapat Badan Musyawarah DPR RI antara Pimpinan DPR RI dan Pimpinan Fraksi tanggal 16 Desember 2019 (vide Lampiran XXVI Keterangan DPR). Dengan demikian, pelaksanaan rapat pembahasan RUU Minerba tetap dapat diadakan walaupun di luar gedung DPR untuk memaksimalkan dan mendukung efektivitas tugas dan fungsi legislasi.
Setelah mencermati keterangan dan bukti-bukti yang dilampirkan oleh para Pemohon, asas keterbukaan tidak semata-mata berkaitan dengan bentuk rapat dan pertemuan yang dilakukan oleh DPR, namun lebih kepada bagaimana masyarakat umum mendapatkan akses atau kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun, tidak ada bukti yang dapat meyakinkan Mahkamah bahwa telah terjadi pelanggaran dalam hal tidak diberikannya akses atau kesempatan masyarakat dalam memberikan masukan dalam proses pembahasan RUU Minerba. Pemerintah dan DPR telah membuktikan bahwa pada masa perancangan telah dilaksanakan sosialisasi dan diskusi publik untuk sebagai perwujudan asas keterbukaan untuk menampung tanggapan publik dan stakeholder terhadap RUU a quo. Lagipula, anggapan para Pemohon bahwa pengesahan RUU Minerba dilakukan secara tertutup tidak terbukti, karena dari bukti para Pemohon sendiri, justru para Pemohon dapat menunjukkan video rekaman Rapat Paripurna DPR RI tanggal 12 Mei 2020 dengan salah satu agenda pengesahan RUU Minerba yang menurut para Pemohon bersumber dari TV Parlemen (bukti P-27). Berdasarkan fakta tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon mengenai pembahasan RUU Minerba yang tidak memenuhi asas keterbukaan adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.17.3] Bahwa selanjutnya, para Pemohon mendalilkan pembahasan RUU Minerba menjadi UU 3/2020 tidak melibatkan partisipasi publik dan stakeholder serta tidak ada uji publik oleh DPR sehingga merupakan pelanggaran terhadap Pasal 96 UU 12/2011. Hal ini menurut Pemohon juga merupakan pelanggaran atas Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”;
Terhadap dalil tersebut Pemerintah menerangkan bahwa pada kenyataannya ketiga Pemohon dalam permohonan a quo, yaitu Pemohon VI (Ir. Budi Santoso), Pemohon VII (Ilham Rifki Nurfajar), dan Pemohon VIII (M. Andrean Saefudin) sudah pernah diundang dan hadir dalam forum yang diadakan Pemerintah sehubungan dengan pembahasan RUU Minerba (vide Bukti pemerintah PK-1, PK-43, PK-44, PK-45, PK-46, PK-47 dan PK-48). Partisipasi publik terhadap RUU Minerba telah dilakukan oleh Pemerintah sejak tahun 2018 sampai tahun 2020 dengan melibatkan berbagai unsur terdiri dari perguruan tinggi, organisasi pengamat pertambangan, masyarakat sipil, pelaku usaha pertambangan, mahasiswa, dan wahana lingkungan hidup. Selain itu, Pemerintah mengadakan road show ke 7 (tujuh) kota besar di Indonesia untuk memetakan permasalahan-permasalahan yang timbul dari undang-undang mineral dan batubara yang lama (UU 4/2009) dan solusi yang ditawarkan dalam RUU Minerba melalui rapat-rapat pelaksanaan konsultasi publik di kota Jakarta, Palembang, Balikpapan, Makassar, Medan, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Bandung.
Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, tidak ada bukti yang dapat meyakinkan Mahkamah mengenai tidak terdapat adanya partisipasi publik dan pelibatan stakeholder dalam pembentukan RUU Minerba. Sebaliknya, Presiden dan DPR telah membuktikan melalui bukti-buktinya mengenai kegiatan-kegiatan sosialiasi dan diskusi publik yang menunjukkan adanya upaya Presiden dan DPR untuk mendorong partisipasi publik dalam proses pembahasan RUU Minerba. Berdasarkan hal tersebut, dalil Pemohon mengenai pembahasan RUU Minerba yang tidak melibatkan partisipasi publik adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.17.4] Bahwa para Pemohon mendalilkan pembahasan RUU Minerba tidak melibatkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sehingga merupakan pelanggaran terhadap UU 12/2011, UU 17/2014, dan Tatib DPR. Menurut para Pemohon, tidak terlibatnya DPD dalam pembahasan RUU Minerba bertentangan dengan konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 22D UUD 1945. Berkenaan dengan dalil a quo, DPD telah menyampaikan keterangan tertulis dan telah disampaikan pula pada persidangan Mahkamah yang pada pokoknya DPD menyatakan telah dilibatkan mulai dari tahapan perencanaan penyusunan Prolegnas Jangka Menengah 2015-2019 yang dilanjutkan dengan Prolegnas 2020-2024 dan penyusunan Prolegnas Prioritas Tahunan, termasuk Prioritas Tahun 2020 sesuai dengan mekanisme dan prosedur serta sesuai dengan peraturan perundang-undangan. DPD juga menerangkan bahwa penyusunan Pandangan dan Pendapat terhadap RUU Minerba oleh Komite II dilaksanakan berdasarkan Surat Ketua DPR Nomor LG/04430/DPR RI/III/2020 tertanggal 16 Maret 2020 perihal: Pembahasan RUU Minerba yang disampaikan kepada Pimpinan DPD. Surat tersebut disertai lampiran RUU dari DPR dalam bentuk matriks DIM yang pada intinya mengagendakan pada 8 April 2020 Komisi VII akan mengundang DPD dalam Rapat Kerja Komisi VII dengan Kementerian terkait namun dikarenakan kondisi yang tidak memungkinkan disebabkan merebaknya pandemi Covid-19 sehingga Menteri ESDM selaku leading sector dari pihak pemerintah mengusulkan kepada DPR untuk menunda agenda tersebut. Bahwa pada 22 April 2020, Pimpinan DPR menyampaikan surat Nomor LG/05225/DPR RI/2020 perihal Undangan Rapat yang ditujukan kepada Pimpinan Komite II DPD. Agenda Pembahasan berupa Rapat Panja Minerba mendengarkan Pandangan dan masukan DPD RI atas RUU tentang Perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Berdasarkan undangan tersebut, Panja Minerba Komisi VII DPR dengan Pimpinan Komite II DPD pada 27 April 2020 pukul 11.00 WIB melaksanakan rapat secara virtual. Rapat tersebut dihadiri oleh seluruh jajaran Pimpinan Komite II DPD.
Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan bahwa DPD terlibat mulai tahap perencanaan RUU Minerba (Perubahan UU 4/2009), yaitu dalam Rapat Penetapan Prolegnas Tahun 2015-2019, Rapat Penetapan Prolegnas Tahun 2020-2024, dan Rapat Penyusunan Kembali Prolegnas Prioritas Tahun 2020 yang di dalamnya terdapat RUU Minerba (Perubahan UU 4/2009). Pemerintah berpandangan bahwa keterlibatan DPD dalam pembahasan RUU Minerba telah dilakukan secara proper dan komprehensif, di antaranya dibuktikan dengan:
a. Adanya persetujuan DPD atas carry over RUU Minerba sebagaimana tercermin dalam Surat Keputusan DPR Nomor 1/DPRRI/II/2019-2020 tanggal 22 Januari 2020;
b. Adanya musyawarah/rapat pembahasan RUU Minerba sesuai dengan undangan DPR RI sebagaimana dibuktikan dalam Laporan Singkat Rapat Panja RUU Minerba Komisi VII DPR RI dengan Pimpinan Komite II DPD RI; dan
c. Adanya pandangan tertulis dari Komite II DPD terhadap RUU Minerba pada 27 April 2020.
Setelah mencermati keterangan DPD, Keterangan Presiden dan Keterangan DPR, beserta lampiran dan bukti-buktinya tersebut didapatkan fakta hukum bahwa DPD telah dilibatkan dalam pembahasan RUU Minerba, hal ini khususnya dibuktikan dengan adanya Keputusan DPD RI Nomor 32/DPD RI/III/2019-2020 tentang Pandangan dan Pendapat DPD RI Terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, bertanggal 12 Mei 2020. Dengan demikian, dalil para Pemohon mengenai pembahasan UU 3/2020 tidak melibatkan DPD adalah tidak beralasan menurut hukum.
Berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut, maka berkenaan dengan kedudukan hukum Pemohon I dan Pemohon II yang meletakkan kerugian konstitusionalnya pada ketidakterlibatan DPD dalam pembahasan dan pengesahan RUU Minerba menjadi tidak terbukti karena DPD secara institusional telah dilibatkan dalam pembahasan dan pengesahan RUU Minerba. Walaupun Pemohon I dan Pemohon II sebagai anggota DPD memiliki keterkaitan dengan proses pembahasan dan penyusunan RUU Minerba, namun argumentasi Pemohon a quo berkenaan dengan tidak dilibatkannya DPD dalam pembahasan dan pengesahan RUU Minerba yang kemudian menjadi UU 3/2020 adalah tidak terbukti. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Pemohon I dan Pemohon II menurut Mahkamah tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo;
[3.17.5] Bahwa lebih lanjut, para Pemohon mendalilkan pembahasan RUU Minerba menjadi UU 3/2020 tidak melibatkan dan/atau menerima aspirasi pemerintah daerah. Menurut para Pemohon tidak adanya penerimaan aspirasi, sosialisasi dan proses dialog dengan pemerintah daerah dalam pembahasan RUU Minerba bertentangan dengan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang”. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Pemerintah menerangkan bahwa Pemerintah tidak sependapat dengan dalil-dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa pembahasan RUU Minerba harus melibatkan pemerintah daerah, karena apabila mengacu pada Pasal 65 sampai dengan Pasal 74 UU 12/2011 yang mengatur mengenai pembahasan rancangan undang-undang dan pengesahan rancangan undang-undang, tidak terdapat satupun kewajiban yang melekat pada pembentuk undang-undang untuk turut melibatkan pemerintah daerah, baik dalam proses pembahasan dan pengesahannya. Ketentuan Pasal 65 UU 12/2011 secara tegas mengatur bahwa pembahasan rancangan undang-undang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. Seandainya memang benar ada kewajiban yang melekat pada pembentuk undang-undang untuk melibatkan pemerintah daerah dalam setiap tahapan pembahasan dan pengesahan RUU Minerba, quod non, karena faktanya pemerintah telah melibatkan unsur pemerintah daerah dalam proses pembentukan RUU Minerba dan sekaligus dalam melakukan evaluasi terhadap UU 4/2009. Keterlibatan tersebut dilengkapi dengan daftar kehadiran dan tanda tangan dari masing-masing peserta [vide bukti Presiden PK-17 sampai dengan PK-28];
Berkenaan dengan dalil tersebut, menurut Mahkamah, tidak ada ketentuan mengenai kewajiban pembentuk undang-undang untuk melibatkan pemerintah daerah dalam pembahasan dan pengesahan rancangan undang-undang. Pasal 18A ayat (2) yang menyatakan hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang, tidak serta merta dapat diartikan bahwa proses pembahasan dan pengesahan suatu rancangan undang-undang wajib menyertakan pemerintah daerah secara terpisah dari unsur pemerintah pusat. Dalam pembahasan dan pengesahan rancangan undang-undang, kepentingan unsur daerah telah diwakilkan kepada DPD yang merupakan perwujudan perwakilan masing-masing daerah di mana anggota DPD telah dipilih secara demokratis untuk mewakili kepentingan daerah dalam proses legislasi. Dengan demikian, dalil para Pemohon mengenai pembahasan RUU Minerba yang kemudian disahkan menjadi UU 3/2020 tidak ada keterlibatan dan penerimaan aspirasi pemerintah daerah adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.17.6] Bahwa para Pemohon mendalilkan, rapat dan pengambilan keputusan dalam Rapat Kerja Komisi VII dan Rapat Paripurna DPR tidak memenuhi syarat karena dalam pengambilan keputusan Tingkat I pada rapat kerja Komisi VII DPR dengan Menteri ESDM yang mewakili Pemerintah pada 11 Mei 2020 dilakukan secara virtual dan pengambilan keputusan Tingkat II dalam rapat paripurna pada 12 Mei 2020 juga dilakukan secara virtual, yaitu tanpa kehadiran fisik atau kehadiran fisik anggota DPR dilakukan secara perwakilan fraksi. Hal ini tampak pada siaran TV Parlemen bahwa ruang sidang paripurna sangat lengang karena hanya dihadiri oleh sedikit anggota DPR;
Terhadap dalil tersebut, Pemerintah menerangkan bahwa kegiatan rapat pembahasan RUU Minerba Tingkat I oleh Komisi VII DPR berlangsung bersamaan dengan saat terjadinya penyebaran virus Covid-19 yang dikualifikasi sebagai kondisi pandemi, sehingga memberikan dispensasi kepada anggota Komisi VII DPR untuk menyelenggarakan rapat secara virtual sesuai ketentuan dalam Tatib DPR 2020. Walaupun rapat pembahasan RUU Minerba dilangsungkan secara virtual, namun dalam menetapkan kehadiran dan proses pengambilan keputusan dalam rapat kerja Panja RUU Minerba Komisi VII DPR dengan Pimpinan Komite II DPD tetap memperhatikan kuorum anggota DPR dan tata tertib yang berlaku. Bahwa rapat virtual pembahasan RUU Minerba Tingkat I yang dilaksanakan pada 11 Mei 2020 telah dihadiri oleh perwakilan dari seluruh fraksi DPR. Bahwa masing-masing fraksi telah menyampaikan pendapat mini fraksinya dalam rapat Tingkat I dengan hasil bahwa 8 (delapan) fraksi menyatakan setuju untuk dilanjutkan dalam rapat paripurna (Pembicaraan Tingkat II) dan ada 1 (satu) Fraksi yang menyatakan tidak setuju, yaitu Fraksi Demokrat. Namun demikian, pada pembicaraan Tingkat II dalam rapat paripurna pengambilan keputusan tanggal 12 Mei 2020, seluruh Fraksi DPR telah memberikan persetujuan tanpa ada catatan atau interupsi terhadap persetujuan RUU Minerba menjadi UU. DPR menerangkan bahwa dalam praktiknya, sebelum pengambilan keputusan atas suatu rancangan undang-undang dilakukan dengan mekanisme voting, masing-masing fraksi menyepakati untuk melakukan berbagai diskusi dan lobby sebagai usaha semaksimal mungkin agar persetujuan atas RUU Minerba tersebut diambil secara mufakat dalam musyawarah, bukan voting. Meskipun dalam pandangan mini fraksi pada Pengambilan Keputusan Tingkat I terdapat 1 fraksi yang menyatakan tidak setuju, namun dalam pengambilan keputusan pada Pembicaraan Tingkat II semua fraksi pada akhirnya telah memberikan persetujuannya tanpa adanya catatan atau interupsi (vide Lampiran XXIV Keterangan DPR). Hal ini menunjukkan bahwa dalam pengambilan keputusan persetujuan atas penetapan RUU Minerba (Perubahan UU 4/2009) tersebut pada dasarnya telah disetujui oleh seluruh fraksi.
Lebih lanjut, berkaitan dengan dalil para Pemohon bahwa dalam sidang paripurna pengambilan keputusan tidak memenuhi syarat kuorum karena tidak hadir secara fisik, Mahkamah perlu terlebih dahulu mengutip pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XVII/2019, bertanggal 4 Mei 2021 yang antara lain mempertimbangkan:
“…Mahkamah perlu menegaskan bahwa kehadiran secara fisik dalam proses pembentukan undang-undang termasuk dalam persetujuan bersama adalah sebuah keharusan. Kehadiran demikian diperlukan dalam proses pembentukan undang-undang, yaitu: (1) sebagai bentuk konkret dari pelaksanaan konsep perwakilan rakyat; (2) untuk memberikan kesempatan bagi anggota legislatif yang sejak semula tidak ikut membahas pembentukan suatu undang-undang karena mekanisme internal lembaga legislatif yang membagi pembentukan undang-undang berdasarkan komisi dan/atau gabungan komisi tertentu; dan (3) untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya pengambilan putusan akhir melalui voting.”
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah kehadiran fisik dalam rapat paripurna pengambilan keputusan adalah suatu keharusan, namun untuk terpenuhinya syarat tersebut haruslah dipertimbangkan secara kasuistis dengan melihat secara keseluruhan kondisi pada saat pembahasan dan pengesahan RUU dilakukan. Dalam hal syarat rapat paripurna pengesahan RUU Minerba, para Pemohon mencoba membuktikan dalilnya dengan bukti P-27 berupa rekaman video persidangan paripurna yang menurut para Pemohon merupakan rekaman Rapat Paripurna DPR RI tanggal 12 Mei 2020 yang disiarkan melalui TV Parlemen yang menunjukkan sedikitnya anggota DPR yang hadir secara fisik pada saat pengesahan RUU tersebut. Setelah Mahkamah memeriksa bukti yang diajukan Pemerintah dan bukti Lampiran DPR berupa Risalah Rapat Paripurna DPR RI dan Daftar Hadir Pejabat Kementerian/Lembaga/Instansi Pemerintah dan Undangan Dalam Acara Rapat Paripurna DPR RI, Selasa 12 Mei 2020 ditemukan fakta bahwa kehadiran yang tercatat pada Risalah Rapat Paripurna DPR RI tanggal 12 Mei 2020 tersebut adalah sejumlah 83 anggota DPR RI hadir secara fisik dan sejumlah 355 anggota hadir secara virtual. Dalam keterangannya, DPR menyatakan kehadiran DPR secara virtual tersebut dilakukan karena pada 12 Mei 2020 adalah bagian dari masa penanggulangan Pandemi Covid-19 sehingga DPR harus memenuhi protokol kesehatan (Prokes) yang telah ditetapkan pemerintah untuk mencegah tingkat penyebaran Covid-19.
Berkenaan dengan kehadiran rapat dan sidang secara virtual dikaitkan dengan kondisi pada saat RUU Minerba dibahas dan disahkan, pada 11 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) telah menyatakan bahwa Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) menjadi pandemi pada sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Bahkan penyebaran Covid-19 tersebut semakin menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu dan telah menimbulkan korban jiwa, serta kerugian material yang semakin besar yang berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Berkenaan dengan pandemi Covid-19 ini pula, secara legal formal sejak tanggal 13 April 2020, Presiden telah menetapkan pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional (Keppres 12/2020). Secara faktual Mahkamah juga mengetahui bahwa pada saat Keppres 12/2020 tersebut diterbitkan, masyarakat tengah menghadapi ancaman Pandemi Covid-19 yang penyebarannya relatif cepat dan dengan tingkat fatalitas yang tinggi sehingga tindakan pencegahan penyebaran penting untuk dilakukan oleh semua pihak. Sehubungan dengan kondisi tersebut, ketentuan mengenai rapat DPR pada keadaan tertentu juga diakomodir dalam Pasal 254 ayat (4) Tatib DPR 2020 yang menyatakan:
“Semua jenis rapat DPR dihadiri oleh Anggota, kecuali dalam keadaan tertentu, yakni keadaan bahaya, kegentingan yang memaksa, keadaan luar biasa, keadaan konflik, bencana alam, dan keadaan tertentu lain yang memastikan adanya urgensi nasional rapat dapat dilaksanakan secara virtual dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.”
Berkenaan dengan pertimbangan hukum di atas meskipun Mahkamah dalam putusan sebelumnya menegaskan kehadiran secara fisik dalam proses pembentukan undang-undang termasuk dalam persetujuan bersama adalah sebuah keharusan, namun hal tersebut harus pula memperhatikan bahwa Rapat Paripurna pengesahan RUU Minerba tersebut dilaksanakan pada 12 Mei 2020 atau setelah tanggal ditetapkannya pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional non-alam. Oleh karenanya, pelaksanaan rapat secara virtual merupakan wujud sikap kehati-hatian semua pihak yang perlu dilakukan untuk mencegah penyebaran virus tersebut yang di antaranya dengan cara menjaga jarak atau melakukan pembatasan fisik (physical distancing) serta mengurangi pertemuan di dalam ruangan tertutup. Hal ini tidak hanya dilakukan untuk kegiatan Rapat Paripurna DPR RI, namun pada seluruh kegiatan resmi kenegaraan lainnya, termasuk dalam pelaksanaan kewenangan eksekutif maupun judikatif. Di tengah agenda pengesahan RUU Minerba, terdapat kebijakan nasional yang penting untuk dilakukan dalam upaya pencegahan penyebaran Covid-19, oleh karena itu pelaksanaan rapat secara virtual sebagai pengganti kehadiran secara fisik di dalam ruang rapat dapat dikatakan merupakan pilihan terbaik dalam menyelesaikan pembahasan dan pengesahan rancangan undang-undang, termasuk RUU Minerba. Selain itu, tidak terdapat bukti adanya keberatan dari para peserta Rapat yang tidak dapat hadir secara fisik, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa keikutsertaan anggota DPR secara virtual dalam pengesahan RUU Minerba pada Rapat Paripurna DPR RI tanggal 12 Mei 2020 tersebut telah menyebabkan tidak terpenuhinya syarat kuorum untuk mengesahkan RUU a quo. Menurut Mahkamah, kehadiran secara fisik dalam pengesahan RUU adalah tetap mutlak sepanjang tidak ada alasan yang kuat untuk menyimpangi syarat tersebut. Dengan demikian, pengesahan RUU Minerba pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020, yang mendasarkan pada alasan yang dikemukakan di atas, maka kehadiran anggota secara virtual haruslah dipersamakan dengan kehadiran secara fisik sehingga tetap memenuhi kuorum. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon mengenai pengesahan RUU Minerba dalam Rapat Paripurna DPR tidak memenuhi syarat adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.17.7] Bahwa para Pemohon mendalilkan pembentukan UU 3/2020 seharusnya dalam bentuk undang-undang penggantian, bukan undang-undang perubahan karena pasal yang berubah sebanyak 83 pasal, pasal tambahan/baru sebanyak 52 pasal, pasal dihapus sebanyak 18 pasal. Jumlah total pasal 209 pasal (sebelumnya 175) atau telah mengalami perubahan lebih kurang 82% dari undang-undang sebelumnya yaitu UU 4/2009.
Terhadap dalil tersebut, Poin 237 Lampiran II UU 12/2011 menentukan sebagai berikut:
“Jika suatu perubahan Peraturan Perundang-undangan mengakibatkan:
a. sistematika Peraturan Perundang-undangan berubah;
b. materi Peraturan Perundang-undangan berubah lebih dari 50% (lima puluh persen); atau
c. esensinya berubah,
Peraturan Perundang-undangan yang diubah tersebut lebih baik dicabut dan disusun kembali dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru mengenai masalah tersebut.”
Menurut Mahkamah frasa “lebih baik” dalam ketentuan di atas bermakna suggestion yaitu dalam konteks memberikan saran dan bukan suatu keharusan untuk dilaksanakan oleh pembentuk undang-undang. Dengan demikian, tidak terpenuhinya syarat teknis seperti itu tidak dapat dijadikan alasan bahwa penyusunan suatu undang-undang mengalami cacat formil. Oleh karena itu, dalil para Pemohon berkenaan dengan UU 3/2020 seharusnya dibuat dalam bentuk undang-undang penggantian, bukan undang-undang perubahan adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.19] Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil lain dan hal-hal lain dari permohonan para Pemohon yang dipandang tidak relevan dan oleh karenanya tidak dipertimbangkan lebih lanjut, serta dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430