Arnoldus Belau dan Perkumpulan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang diwakili oleh Abdul manan (Ketua Umum) dan Revolusi Ariza Zulvendi (Sekretaris Jenderal) yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Ade Wahyudin, S.H, dkk advokat dan asisten advokat pada Lembaga Bantuan Hukum Pers, untuk elanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.
Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016
Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945
Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 81/PUU-XVIII/2020, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian UU 19/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil para Pemohon yang pada intinya mendalilkan kewenangan pemerintah memutus akses informasi dan/atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam norma Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 bertentangan dengan prinsip negara hukum, kepastian hukum yang adil dan persamaan kedudukan hukum serta meniadakan hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang dijamin oleh UUD 1945 karena tidak didahului dengan terbitnya keputusan administrasi pemerintahan atau keputusan tata usaha negara (KTUN) bersifat tertulis. Berkenaan dengan dalil-dalil para Pemohon a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa para pemohon dalam mendalilkan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dalam norma Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 karena menurut para Pemohon tindakan pemerintah tidak sah atau sewenang-wenang sebab tidak didasari oleh aturan yang jelas serta didahului dengan penerbitan KTUN yang tertulis, termasuk di dalamnya tidak terdapat ruang pengaduan untuk pengujian, serta pemulihan bagi pihak-pihak yang dirugikan secara langsung atas pemutusan/pemblokiran atau penapisan konten. Terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah untuk memahami secara komprehensif ketentuan Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 tidak dapat dilepaskan dari ketentuan Pasal 40 ayat (6) UU a quo, sebab ihwal teknis mengenai pemutusan akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang muatannya melanggar hukum tersebut diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksana UU a quo yaitu PP 71/2019, tanpa Mahkamah bermaksud menilai PP a quo, dalam substansi PP telah diatur lebih lanjut mekanisme pemutusan akses yang merupakan bentuk penjatuhan sanksi administratif (vide Pasal 100 PP 71/2019). Pemutusan akses tersebut merupakan wujud dari peran pemerintah dalam melakukan pencegahan atas penyebarluasan dan penggunaan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ihwal mengenai kategori muatan yang melanggar sebagaimana uraian pertimbangan Mahkamah dalam Sub-Paragraf [3.12.2] dan Sub-Paragraf [3.12.3]. Artinya, PP 71/2019 telah memberikan batasan kategori dan klasifikasi mengenai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang muatannya melanggar hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016. Sedangkan, ihwal teknis mengenai tata cara normalisasi terhadap pemutusan akses internet yang bermuatan konten ilegal, diatur lebih lanjut sesuai dengan amanat PP 71/2019 dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat (Permenkominfo 5/2020), tanpa Mahkamah bermaksud pula menilai Permenkominfo a quo, dalam substansi Permenkominfo 5/2020 telah diatur lebih lanjut mekanisme pemulihan (normalisasi) yang di dalamnya memuat syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh lembaga pengelola situs internet (terlapor) yang dikenakan sanksi pemutusan akses (vide Pasal 20 Permenkominfo 5/2020). Artinya, Pemerintah telah membuka ruang pengaduan untuk pengujian, dan pemulihan (normalisasi) serta telah memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP), baik terhadap pelaporan konten negatif maupun normalisasi situs yang bermuatan konten negatif. Berkenaan dengan permohonan a quo, telah ternyata dalam menjalankan kewenangannya sebagaimana ketentuan Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016, Pemerintah telah pula menyediakan dasar hukum beserta produk hukum dalam tata cara pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum serta tata cara normalisasinya. Dengan demikian, apa yang sesungguhnya menjadi kekhawatiran para Pemohon atas adanya tindakan pemerintah memutus akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tentu tidak akan terjadi karena tindakan tersebut hanya dilakukan jika terdapat unsur adanya konten yang memiliki muatan yang melanggar hukum, sebagaimana yang dicontohkan jenis-jenis pelanggaran hukum tersebut dalam Penjelasan Pasal 96 huruf a PP 71/2019. Oleh karena itu, dalam konteks ini negara diwajibkan hadir untuk melindungi kepentingan umum dari segala bentuk gangguan karena adanya penyalahgunaan muatan dalam menggunakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Terkait dengan adanya pemutusan akses, telah pula disediakan aturan mengenai tata cara untuk menormalkan atau memulihkannya sehingga tetap terjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban semua pihak dalam penggunaan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana cerminan kehidupan dalam suatu negara hukum. Oleh karenanya, dalil para Pemohon mengenai pertentangan norma Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 dengan prinsip negara hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.13.2] Bahwa para Pemohon mendalilkan perumusan norma dalam ketentuan Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016, tidak dibingkai dalam konstruksi hukum yang jelas dan tegas karena tidak diikuti dengan kewajiban administrasi berupa menerbitkan KTUN secara tertulis sebelum memutus akses sehingga tindakan tersebut bertentangan dengan jaminan atas kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah untuk memahami lebih lanjut mengenai tindakan Pemerintah dalam ketentuan Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 penting untuk dirujuk ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014), dalam substansi UU a quo, telah dinyatakan pengertian tindakan administrasi pemerintahan adalah perbuatan yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintahan atau penyelenggara negara untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan (vide Pasal 1 angka 8 UU 30/2014). Legalitas tindakan Pemerintah tidak dapat dibedakan dengan KTUN secara tertulis. KTUN haruslah dimaknai juga penetapan tertulis yang juga merupakan tindakan faktual (vide Pasal 87 huruf a UU 30/2014). Artinya, tindakan Pemerintah pun merupakan sebuah bentuk kewajiban administrasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, sama halnya dengan sebuah KTUN. Selanjutnya, warga masyarakat yang merasa dirugikan dengan KTUN dan/atau tindakan Pemerintah dapat mengajukan upaya hukum keberatan dan banding (vide Pasal 75 ayat (1) dan ayat (2) UU 30/2014). Hal ini, sejalan dengan ketentuan Pasal 8 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintah dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (onrechtmatige overheidsdaad) (PERMA 9/2019) yang pada pokoknya setiap frasa “Keputusan Tata Usaha Negara” harus dimaknai juga tindakan Pemerintah. Artinya, kewenangan Pemerintah sebagaimana ketentuan Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 yang diwujudkan dengan tindakan pemerintah melakukan pemutusan akses dapat diajukan mekanisme penyelesaiannya secara hukum melalui peradilan (due process of law). Dengan demikian, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016, mengenai ketidakpastian hukum dan persamaan hak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sehingga, dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.13.3] Bahwa lebih lanjut para Pemohon a quo mendalilkan juga pemutusan akses dalam norma Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 tanpa didahului dengan menerbitkan KTUN secara tertulis merugikan hak konstitusional para Pemohon untuk memperoleh informasi dan hak berkomunikasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945. Terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah penting untuk dijelaskan terlebih dahulu bahwa pola teknologi informasi dan komunikasi yang saat ini banyak digunakan adalah internet yang merupakan wadah komunikasi digital yang dapat melibatkan siapapun dengan karakteristik penyebaran informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sangat cepat, luas, dan masif dengan tidak mengenal ruang dan waktu. Apabila informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan melanggar hukum tersebut telah terlebih dahulu diakses, sebelum dilakukan pemblokiran maka dampak buruk yang ditimbulkan akan jauh lebih cepat dan masif yang dalam batas penalaran yang wajar dapat menimbulkan kegaduhan, keresahan dan/atau mengganggu ketertiban umum. Untuk hal inilah diperlukan kecepatan dan keakuratan yang terukur oleh Pemerintah untuk dapat sesegera mungkin melakukan pencegahan dengan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan melanggar hukum. Sebab, virtualitas internet memungkinkan konten terlarang yang bersifat destruktif dan masif, yang memiliki muatan yang melanggar hukum, dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tersebar dengan cepat, di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja. Oleh sebab itu, peran Pemerintah dalam menjaga dan membatasi lalu lintas dunia siber sangat diperlukan mengingat karakteristik dari internet tersebut yang mudah membawa dampak buruk bagi masyarakat. Oleh karena itu, tidak mungkin bagi pemerintah untuk menerbitkan terlebih dahulu KTUN secara tertulis sebagaimana yang diminta oleh para Pemohon dalam petitumnya, baru kemudian melakukan pemutusan akses atau memerintahkan kepada penyelanggara eletronik untuk melakukan pemutusan akses sebagaimana ditentukan dalam Pasal 95 PP 71/2019. Sebab, proses penerbitan KTUN tertulis membutuhkan waktu yang tidak mungkin akan lebih cepat dari waktu sebaran muatan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan dilarang. Terlebih, jika muatan/konten dilarang (ilegal) tersebut telah berada di area komunikasi privat maka sebarannya pun semakin tidak terkendali. Oleh karena itu, dalam konteks permohonan para Pemohon a quo, yang sesungguhnya tidak memohon kepada Mahkamah untuk menghilangkan norma Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016, namun memohon kepada Mahkamah agar norma a quo diberi tafsir terbatas dengan menambahkan frasa “setelah mengeluarkan keputusan administrasi atau keputusan tata usaha negara secara tertulis”. Namun, sebagaimana pertimbangan Mahkamah di atas bahwa karakteristik virtualitas ruang siber memiliki daya sebar yang sangat cepat, di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja, maka adanya penambahan frasa di atas justru akan menghambat peran Pemerintah untuk melindungi kepentingan umum dari segala bentuk gangguan muatan/konten dilarang (ilegal). Tindakan Pemerintah melakukan pemutusan akses tidak berarti menghilangkan hak para Pemohon untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi sebagaimana dijamin oleh konstitusi namun penggunaan hak tersebut pun tidak boleh juga menghilangkan hak negara untuk melindungi kepentingan umum, terlebih kepentingan anak-anak dari bahaya informasi yang memiliki muatan yang dilarang (ilegal) secara cepat. Terlebih lagi, terhadap tindakan pemerintah tersebut terbuka ruang untuk dilakukan proses hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga hak para Pemohon untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi tetap dijamin. Namun demikian, menurut Mahkamah sesuai dengan perkembangan teknologi digital terkait dengan tindakan pemerintah melakukan pemutusan akses atas konten yang memiliki muatan dilarang (ilegal) dapat saja bersamaan dengan itu Pemerintah menyampaikan notifikasi digital, berupa pemberitahuan kepada pihak yang akan diputus akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektroniknya. Sehingga, dalam tindakan Pemerintah tersebut tetap terjamin asas keterbukaan sebagaimana cerminan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Namun demikian, berdasarkan pertimbangan di atas menurut Mahkamah, tidak terdapat juga persoalan konstitusionalitas norma Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 terhadap hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang dijamin Pasal 28F UUD 1945, sehingga dalil para Pemohon yang menyatakan pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, Mahkamah menilai tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma mengenai ketidakpastian hukum dan persamaan hak serta hak untuk berkomunikasi dan hak atas informasi dalam suatu negara hukum sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945 terhadap Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016, sehingga dengan demikian permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430