Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 7/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-08-2021

Hendry Agus Sutrisno, S.S, S.I.Pem, S.H, M.Pd, M.H, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 36 ayat (1) huruf b, UU 37/2008

Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekertariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 36 ayat (1) huruf b UU 37/2008 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil permohonan Pemohon a quo Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan permohonan Pemohon berkaitan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat dimohonkan kembali.
Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.

Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.
Terhadap persoalan tersebut Mahkamah mempertimbangkan bahwa ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf b UU 37/2008 pernah diajukan sebelumnya dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XV/2017, bertanggal 20 Maret 2018. Adapun dalam permohonan Perkara Nomor 46/PUU-XV/2017 dasar pengujiannya adalah Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), serta Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2). Sementara itu, Pemohon a quo menggunakan dasar pengujian dalam permohonannya adalah Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945. Selanjutnya, alasan konstitusional dalam permohonan Perkara Nomor 46/PUU-XV/2017 adalah mengenai keberadaan Pasal 36 ayat (1) huruf b UU 37/2008 yang dianggap menghalangi kepastian hukum, keadilan dan kebenaran substansial/materiil akan tindakan maladministrasi. Sedangkan, alasan konstitusional dalam permohonan a quo adalah norma Pasal 36 ayat (1) huruf b UU 37/2008 dianggap oleh Pemohon telah membatasi laporan yang diterima dari aspek formil saja tetapi tidak termasuk aspek materiil sebagaimana kewenangan lembaga praperadilan. Dengan adanya perbedaan dasar pengujian maupun alasan konstitusional dalam permohonan Perkara Nomor 46/PUU-XV/2017 dengan dasar pengujian maupun alasan konstitusional permohonan a quo, terlebih lagi Perkara Nomor 46/PUU-XV/2017 tidak mempertimbangkan pokok permohonan, terlepas secara substansial permohonan a quo beralasan menurut hukum atau tidak maka secara formal permohonan a quo, berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, dapat diajukan kembali;
[3.11] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021 dapat diajukan kembali, maka Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon lebih lanjut.
[3.12] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara seksama permohonan Pemohon, memeriksa bukti-bukti yang diajukan, dan mempertimbangkan argumentasi pokok yang didalilkan oleh Pemohon, telah ternyata yang dipersoalkan oleh Pemohon adalah berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 36 ayat (1) huruf b UU 37/2008 yang menurut Pemohon tidak memberikan perlindungan dan menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 apabila tidak dimaknai “Ombudsman menolak Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a dalam hal: … b. substansi Laporan sedang dan telah menjadi objek pemeriksaan pengadilan, kecuali Laporan tersebut menyangkut tindakan Maladministrasi dalam proses pemeriksaan di pengadilan dan/atau menyangkut tindakan Maladminstrasi pada tingkat penyelidikan dan/atau penyidikan”. Terhadap permasalahan konstitusionalitas tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
1. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU 37/2008, Ombudsman Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai wewenang mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah. Adapun tugas Ombudsman salah satunya adalah menerima laporan atas dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan publik dengan hasil pemeriksaan dapat berupa menolak atau menerima laporan dan memberikan rekomendasi (vide Pasal 7 dan Pasal 35 UU 37/2008). Dengan demikan, terhadap penyelenggara negara yang dianggap melakukan dugaan maladministrasi maka warga negara dapat mengajukan laporan ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI);
2. Bahwa terkait dengan laporan yang ditolak, secara lengkap ditegaskan dalam Pasal 36 Undang-Undang a quo yaitu terhadap hal (a) Pelapor belum pernah menyampaikan keberatan tersebut baik secara lisan maupun secara tertulis kepada pihak yang dilaporkan, (b) Substansi laporan sedang dan telah menjadi objek pemeriksaan pengadilan, kecuali laporan tersebut menyangkut tindakan Maladministrasi dalam proses pemeriksaan di pengadilan, (c) Laporan tersebut sedang dalam proses penyelesaian oleh instansi yang dilaporkan dan menurut Ombudsman proses penyelesaiannya masih dalam tenggang waktu yang patut, (d) Pelapor telah memperoleh penyelesaian dari instansi yang dilaporkan, (e) Substansi yang dilaporkan ternyata bukan wewenang Ombudsman, (f) Substansi yang dilaporkan telah diselesaikan dengan cara mediasi dan konsiliasi oleh Ombudsman berdasarkan kesepakatan para pihak; atau (g) Tidak ditemukan terjadinya Maladministrasi, Ombudsman dapat menolak laporan yang diajukan. Oleh karena itu, salah satu alasan penolakan ORI menolak laporan yang diajukan oleh pelapor adalah karena adanya dugaan maladministrasi namun dalam hal susbtansinya telah diperiksa pengadilan, maka ORI dapat menolak laporan tersebut, kecuali pelapor dapat membuktikan adanya tindakan maladministrasi dalam proses pemeriksaan di pengadilan.
3. Bahwa pemeriksaan di pengadilan dipandang menjadi salah satu alasan untuk ditolaknya laporan ke ORI, sebab pengadilan sebagai badan penyelenggara negara di bidang yudikatif mempunyai tugas pokok menyelesaikan sengketa para pihak baik “sengketa” privat maupun publik dengan kewenangan yang dimiliki yaitu mengadili suatu perkara, di mana amar putusan badan peradilan mempunyai kekuatan hukum mengikat, sebagaimana halnya kekuatan berlakunya sebuah undang-undang. Oleh karena itu, esensi dari alasan penolakan oleh ORI dengan alasan tersebut di atas, adalah bentuk penghormatan terhadap putusan badan peradilan yang tidak dapat dipertentangkan dengan putusan badan penyelenggara negara/pemerintahan lainnya, sebab hanya badan peradilanlah yang mempunyai putusan yang bersifat eksekutorial, sebagaimana melaksanakan suatu perintah dari undang-undang.
4. Bahwa upaya mendapatkan keadilan melalui praperadilan sebagaimana yang telah ditempuh oleh Pemohon adalah juga merupakan bagian dari proses penyelesaian sengketa/perkara yang menjadi kewenangan badan peradilan, sebab, praperadilan pada hakikatnya merupakan salah satu pranata dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Pengaturan Lembaga Praperadilan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) tercantum dalam Pasal 1 angka 10, Bab X Bagian Kesatu dari Pasal 77 sampai dengan Pasal 83. Pasal 1 butir 10 KUHAP menyatakan bahwa Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; b. Sah atau tidaknya penghentian penyelidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Kemudian dipertegas dalam Pasal 77 KUHAP dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 bertanggal 28 April 2015. Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan serta ganti rugi dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan dan sah tidaknya penetapan tersangka. Dengan demikian, lembaga praperadilan yang merupakan bagian dari proses pemeriksaan pengadilan yang bertujuan sebagai sarana kontrol yuridis atas tindakan aparat penegak hukum (penyidik atau penuntut umum) adalah juga merupakan bagian dari kewenangan penyelenggara negara yang diberi wewenang khusus, yaitu melakukan penyidikan dan penuntutan yang merupakan bagian dari proses peradilan dengan tujuan tegaknya hukum, kepastian hukum serta perlindungan hak asasi manusia;
5. Bahwa proses penyelidikan dan penyidikan sebagaimana yang dimohonkan Pemohon agar dijadikan alasan sebagai pengecualian tidak dibenarkannya ORI menolak laporan dan menjadikannya satu rumpun dengan pemeriksaan pengadilan sama halnya dengan mencampurkan antara tahapan yang menjadi kewenangan penyelenggara negara/pemerintahan pada umumnya dengan tahapan yang menjadi kewenangan badan peradilan yang keduanya mempunyai akibat hukum yang berbeda. Sebab, tahapan yang menjadi kewenangan penyelidik dan penyidik adalah proses yang mendahului pemeriksaan perkara sebelum dilimpahkannya ke pengadilan. Oleh karenanya, semua tindakan penyelidik maupun penyidik adalah merupakan tindakan yang dilakukan oleh penyelenggara negara/pemerintahan yang diberi kewenangan khusus oleh undang-undang dalam bidang penyelidikan dan penyidikan. Dengan demikian, semua tindakan yang dilakukan penyelidik dan penyidik sebagai penyelenggara negara dapat dijadikan objek sengketa di pengadilan atau juga objek laporan di ORI, hal tersebut sangat tergantung pada upaya atau pilihan yang ditempuh oleh subjek hukum yang merasa/menganggap tidak mendapatkan pelayanan sebagaimana yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan atas laporan/kepentingan yang diajukannya. Dalam konteks kasus konkret yang dialami Pemohon, Pemohon yang telah menjadi pelapor terhadap tindak pidana yang dialaminya yaitu sebagai korban penipuan/penggelapan sesungguhnya dapat melaporkannya kepada ORI sepanjang ditemukan unsur maladministrasi selama penyelidik maupun penyidik tersebut menangani proses perkara yang diajukan oleh pelapor ataupun mengajukan penyelesaian kepada pengadilan. Namun, dalam hal ini Pemohon memilih mengajukan permohonan praperadilan kepada pengadilan dan telah diputus dengan ditolak permohonan praperadilan dimaksud. Oleh karena itu tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon, perkara praperadilan yang telah ditempuh oleh Pemohon adalah merupakan bagian dari “telah adanya pemeriksaan pengadilan” sebagaimana yang dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf b UU 37/2008. Sebab, perkara praperadilan adalah bagian dari jenis perkara yang menjadi kewenangan pengadilan untuk diperiksa dan diadili untuk selanjutnya mendapatkan putusan pengadilan. Bahwa adanya putusan pengadilan tersebut selanjutnya dijadikan alasan ORI menolak laporan Pemohon dengan alasan adanya ketentuan norma Pasal 36 ayat (1) huruf b UU 37/2008, meskipun sesungguhnya masih terbuka kesempatan pelapor untuk melaporkan penanganan perkara praperadilan oleh pengadilan, apabila pelapor dapat menunjukkan bukti adanya maladministrasi pada saat pemeriksaan di pengadilan dan hal tersebut menjadi kewenangan ORI untuk memeriksanya.

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah telah jelas dalam hal setiap warga negara yang mengalami adanya tindakan maladministrasi yang dilakukan oleh semua penyelenggara negara/pemerintahan maupun swasta yang menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah dapat mengajukan laporan kepada ORI sesuai peraturan perundang-undangan. Adanya pembatasan terhadap beberapa hal yang dilakukan oleh ORI atas laporan yang diajukan, Mahkamah dapat memahami bahwa pembatasan tersebut sejatinya bertujuan untuk menghormati kewenangan pihak/lembaga lain yang sedang atau telah melakukan proses pemeriksaan, khususnya badan peradilan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang mempunyai kewenangan menyelesaikan semua sengketa, baik yang bersifat privat maupun publik termasuk dalam hal ini yang berkaitan dengan penyelenggara negara/pemerintahan. Terlebih amanat Pasal 36 ayat (1) huruf b UU 37/2008 telah dengan tegas ditujukan untuk menghindari adanya tumpang tindih kewenangan, khususnya lembaga peradilan yang merupakan lembaga yang berwenang mengadili perkara yang diajukan oleh setiap warga negara pencari keadian karena adanya penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh penyelenggara negara/pemerintahan ataupun pihak lain. Dengan kata lain, di samping memberikan kesempatan kepada masyarakat dan lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa sesuai mekanisme hukum yang berlaku, juga untuk menghindari adanya tindakan mencampuri urusan yang berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi dari pihak pengadilan, terkecuali ditemukan adanya maladministrasi dalam proses pemeriksaan di pengadilan. Dengan demikian, rumusan norma pasal a quo tidak hanya telah memenuhi rasa keadilan bagi para pihak pencari keadilan, tetapi sekaligus juga memberikan kepastian hukum bagi pelapor dan terlapor.
Bahwa selanjutnya penting ditegaskan, mengenai permasalahan yang diajukan Pemohon sebagai dasar untuk mengajukan permohonan a quo, di mana ketentuan norma Pasal 36 ayat (1) huruf b UU 37/2008 khususnya pada frasa “proses pemeriksaan di pengadilan” dimaknai dengan diperluas atau ditambahkan frasa “dan/atau menyangkut tindakan Maladminstrasi pada tingkat penyelidikan dan/atau penyidikan”. Terhadap hal tersebut Mahkamah menegaskan bahwa permohonan yang diajukan Pemohon adalah sebagai hal yang berlebihan, sebab secara a contrario hal tersebut tanpa dimohonkan oleh Pemohon sesungguhnya adanya tindakan maladminstrasi pada tingkat penyelidikan dan/atau penyidikan sudah termaktub dari bagian tindakan penyelenggara negara/pemerintahan yang apabila melakukan maladministrasi dapat dilaporkan kepada ORI [vide Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 6 UU 37/2008]. Oleh karena itu, apabila keinginan Pemohon tersebut diakomodir maka hal tersebut justru akan mempersempit ruang lingkup objek pihak yang dapat dilaporkan kepada ORI apabila diduga telah melakukan maladministrasi, termasuk dalam hal ini hilangnya penyelidik dan penyidik untuk menjadi salah satu subjek hukum yang dapat dilaporkan kepada ORI apabila dikecualikan dari rumpun penyelenggara negara/pemerintahan. Di samping alasan tersebut, memasukkan perbuatan maladministrasi yang dilakukan penyelidik dan penyidik menjadi bagian dari pengecualian pada Pasal 36 ayat (1) huruf b UU 37/2008 juga akan menjadikan adanya ambiguitas terhadap laporan yang dapat menjadi pilihan bagi calon pelapor yang diakibatkan adanya 2 (dua) norma yaitu ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 6 UU 37/2008 dengan Pasal 36 ayat (1) huruf b UU 37/2008, yang sesungguhnya saling bertentangan dan mempunyai sifat yang berbeda, di mana ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 6 UU 37/2008 adalah mengatur berkenaan dengan kewenangan ORI untuk menerima setiap laporan, sementara ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf b UU 37/2008 mengatur kewenangan ORI untuk dapat menolak laporan. Oleh karenanya telah jelas apabila permohonan Pemohon a quo dikabulkan oleh Mahkamah, maka justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, selain sekedar mengakomodir kasus konkret yang dialami Pemohon yang sebenarnya tidak ada relevansinya dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 36 ayat (1) huruf b UU 37/2008, juga akan menimbulkan persoalan lain dengan munculnya penafsiran baru terhadap penerapan norma pasal a quo.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, dalil Pemohon mengenai permasalahan konstitusional Pasal 36 ayat (1) huruf b UU 37/2008 berkenaan dengan kewenangan ORI terhadap laporan adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.