Ir. Sri Bintang Pamungkas, MSISE, PhD, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon
Pasal 6, Pasal 14 ayat (3), Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 21 UU 4/1996
Pasal 1 ayat (3), Pasal 14, Pasal 24, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28A, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekertariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 6, Pasal 14 ayat (3), Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 21 UU 4/1996 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut dalil-dalil permohonan Pemohon, oleh karena terhadap norma Pasal 6, Pasal 14 ayat (3), Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 21 UU 4/1996 yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon saling berkaitan erat dan esensinya tidak berbeda yakni mengenai objek hak tanggungan yang akan dilakukan eksekusi lelang karena adanya perbuatan wanprestasi dari debitor, maka Mahkamah akan mempertimbangkan substansi norma-norma yang dimohonkan pengujian tersebut secara bersamaan.
[3.12] Menimbang bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon yang pada pokoknya menyatakan Pasal 6 UU 4/1996 yang telah memberikan kedudukan dan kekuasaan yang mutlak kepada kreditor sehingga bisa bertindak sewenang-wenang dengan hak menjual objek tanggungan melalui pelelangan umum dengan serta merta tanpa memerlukan persetujuan dari pemberi hak tanggungan. Terhadap dalil Pemohon a quo Mahkamah berpendapat bahwa dalam Putusan Mahkamah Nomor 21/PUU-XVIII/2020 tanggal 27 Agustus 2020, Mahkamah telah mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan prinsip-prinsip hak tanggungan yang pada pokoknya sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain [vide Pasal 1 ayat (1) UU Hak Tanggungan]. Secara universal perjanjian jaminan merupakan perjanjian accessoir dari perjanjian utang piutang. Adapun sifat accessoir mengandung arti perjanjian jaminan merupakan perjanjian tambahan yang tergantung pada perjanjian pokoknya, yang dalam hal ini termasuk perjanjian yang berkaitan dengan Hak Tanggungan. Lebih lanjut dalam konteks perjanjian pokok yang diikuti dengan perjanjian accessoir yang dimaksudkan adalah perjanjian pinjam-meminjam atau utang piutang, yang diikuti dengan perjanjian tambahan sebagai jaminan, dengan tujuan agar perjanjian accessoir tersebut dapat menjamin keamanan kreditor;
Berkenaan dengan sifat accessoir yang berkaitan dengan hak tanggungan ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (1) UU Hak Tanggungan atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah menyatakan:
Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.
Bahwa Hak Tanggungan sebagai lembaga hak jaminan atas tanah memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya;
2. Hak Tanggungan selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapa pun objek itu berada;
3. Hak Tanggungan selalu melekat asas spesialitas dan publisitas yang dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan;
4. Hak Tanggungan memberi kemudahan dan kepastian di dalam pelaksanaan eksekusinya;
Lebih lanjut secara doktriner dan universal dapat dijelaskan, bahwa selain sebagai jaminan kebendaan, Hak Tanggungan selain mempunyai ciri-ciri sebagaimana tersebut di atas, juga mempunyai sifat-sifat sebagai hak kebendaan yang selalu melekat, yaitu:
1. Sifat Hak Tanggungan yang tidak dapat dibagi-bagi atau dengan kata lain Hak Tanggungan tidak dapat dipisah-pisahkan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Hak Tanggungan, yang selanjutnya membawa konsekuensi yuridis, bahwa Hak Tanggungan membebani secara utuh objek Hak Tanggungan dan setiap bagian daripadanya. Oleh karenanya dengan telah dilunasinya sebagian dari utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan, tidak berarti terbebasnya sebagian objek Hak Tanggungan dari beban Hak Tanggungan, melainkan Hak Tanggungan itu tetap membebani seluruh objek Hak Tanggungan untuk sisa utang yang belum dilunasi. Dengan demikian, meskipun telah ada pelunasan sebagian dari hutang debitor tidak menyebabkan terbebasnya dari sebagian objek Hak Tanggungan;
2. Hak Tanggungan mengandung sifat royal parsial sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Hak Tanggungan yang merupakan penyimpangan dari sifat Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi;
3. Hak Tanggungan mengikuti benda yang dijaminkan (droit de suite) dalam tangan siapa pun berada. Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 7 UU Hak Tanggungan yang menyatakan, bahwa Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapa pun objek tersebut berada. Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Walaupun objek Hak Tanggungan sudah berpindah tangan dan menjadi milik pihak lain, kreditor masih tetap dapat menggunakan haknya melakukan eksekusi, jika debitor cidera janji;
4. Hak Tanggungan mempunyai sifat bertingkat (terdapat perintah yang lebih tinggi di antara kreditor pemegang Hak Tanggungan). Dengan sifat ini, maka pemberi jaminan atau pemilik benda yang menjadi objek Hak Tanggungan masih mempunyai kewenangan untuk dapat membebankan lagi benda yang sama yang telah menjadi objek Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu lainnya, sehingga akan terdapat peringkat kreditor pemegang Hak Tanggungan;
5. Hak Tanggungan membebani hak atas tanah tertentu (asas spesialisitas) sebagaimana diatur dalam Pasal 11 juncto Pasal 8 UU Hak Tanggungan. Asas spesialisitas ini mengharuskan bahwa Hak Tanggungan hanya membebani hak atas tanah tertentu saja dan secara spesifik uraian mengenai objek dari Hak Tanggungan itu dicantumkan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT);
6. Hak Tanggungan wajib didaftarkan (asas publisitas), artinya pemberian Hak Tanggungan harus atau wajib diumumkan atau didaftarkan, sehingga pemberian Hak Tanggungan tersebut dapat diketahui secara terbuka oleh pihak ketiga dan terdapat kemungkinan mengikat pula terhadap pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan;
7. Hak Tanggungan dapat disertai janji-janji tertentu yang dicantumkan dalam APHT. Hal ini diatur dalam Pasal 11 ayat (2) UU Hak Tanggungan, bahwa Hak Tanggungan dapat diberikan dengan atau tanpa disertai dengan janji-janji tertentu, bila disertai dengan janji, maka hal itu dicantumkan di dalam APHT;
[3.11.2] Bahwa selain defenisi, asas, ciri-ciri, serta sifat-sifat Hak Tanggungan sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.11.1] tersebut di atas, secara universal esensi Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan untuk diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Artinya, bahwa jika debitor cidera janji, kreditor sebagai pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Dengan demikian, kreditor dalam hal ini memiliki hak privilege sebagai konsekuensi “kekuatan eksekutorial” yang melekat pada sifat hak tanggungan tersebut. Selain itu, sebagaimana telah diuraikan di atas, Hak Tanggungan menurut sifatnya juga merupakan perjanjian ikutan atau accessoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Demikian juga Hak Tanggungan menjadi hapus karena hukum, apabila karena pelunasan atau sebab-sebab lain, piutang yang dijaminnya menjadi hapus. Salah satu ciri Hak Tanggungan adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya jika debitor cidera janji.
Bahwa dengan pertimbangan Mahkamah tersebut di atas yang secara tegas telah menguraikan prinsip-prinsip, ciri-ciri dan sifat dari hak tanggungan, maka sudah jelas secara universal esensi Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan untuk diutamakan kepada kreditor tertentu (yang mempunyai kedudukan berbeda sesuai dengan ketentuan hukum hak tanggungan) terhadap kreditor-kreditor lain. Oleh karena itu, lembaga keuangan seperti bank yang memberikan fasilitas pinjaman kredit kepada debitor adalah juga kreditor yang sarat akan risiko, maka bank wajib menerapkan manajemen dan metodologi risiko dengan cara mengelola atau melakukan mitigasi risiko tersebut yaitu dengan mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari seluruh kegiatan usaha bank. Sehingga, dalam konteks ini undang-undang sudah semestinya harus dapat memberikan perlindungan hukum baik bagi pemberi hak tanggungan, penerima hak tanggungan serta pihak lain yang terkait dan berkepentingan dengan adanya perjanjian kredit yang dibuat oleh para pihak tersebut. Dengan demikian, adanya klausul dalam perjanjian kredit yang telah disepakati antara debitor dan kreditor termasuk pihak ketiga sebagai penjamin bahkan pihak lain yang terlibat dalam perjanjian tersebut menempatkan hak kepada kreditor jika debitor cidera janji (wanprestasi) dengan hak yang melekat pada kreditor sebagai pemegang hak tanggungan untuk menjual melalui pelelangan umum terhadap tanah atau bangunan (benda tidak bergerak) yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun hak yang melekat pada kreditor pemegang hak tanggungan tersebut adalah sebagai kreditor separatis yang di dalamnya terkandung sifat kekhususan yaitu dengan hak yang melekat mendahului dari pada kreditor-kreditor yang lain, di samping hal tersebut juga disebabkan karena adanya titel “kekuatan eksekutorial” yang melekat pada sifat hak tanggungan itu sendiri, sehingga hal ini yang semakin memberikan hak privilege (hak yang didahulukan) terhadap kreditor pemegang hak tanggungan dibanding hak kreditor-kreditor lainnya.
Bahwa dalam hal bank sebagai kreditor pemegang hak tanggungan yang mempunyai hak privilege untuk menjual objek hak tanggungan melalui lelang atas titel “kekuatan eksekutorial” yang disebabkan adanya debitor yang wanprestasi, menurut Mahkamah dalam menjalankan haknya tersebut bank juga tidak boleh secara sewenang-wenang melakukan pelelangan tanpa melalui prosedur yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, termasuk di antaranya harus diketahui oleh pemberi hak tanggungan dan penjaminnya (jika ada). Bahwa selain itu apabila terdapat debitor yang wanprestasi, maka mekanisme yang ditempuh bank adalah mengirimkan surat peringatan kepada debitor agar melaksanakan kewajibannya dalam pembayaran angsuran sesuai dengan yang diperjanjikan. Peringatan tersebut biasanya dilakukan paling sedikit sebanyak 3 (tiga) kali untuk memenuhi syarat debitor telah dapat dinyatakan wanprestasi. Meskipun secara tegas peringatan 3 (tiga) kali tersebut tidak diatur dalam undang-undang maupun dalam klausul perjanjian namun oleh karena peringatan semacam ini sudah lazim dilakukan maka hal tersebut dapat menjadi dasar untuk terpenuhinya syarat wanprestasi (vide Pasal 1339 KUH Perdata yang menyatakan, “persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang.”) Selanjutnya apabila telah diperingatkan secara patut tetapi debitor tidak juga melakukan pembayaran kewajibannya maka bank baru bisa menggunakan haknya dengan menggunakan ketentuan hukum yang terdapat pada Pasal 6 dan Pasal 20 UU 4/1996 yaitu melakukan proses lelang. Bahkan terhadap eksekusi hak tanggungan yang dimintakan bantuan melalui ketua pengadilan negeri, maka debitor yang telah dinyatakan wanprestasi terlebih dahulu diberi peringatan (aanmaning) terlebih dahulu agar memenuhi prestasinya sebagaimana yang telah diperjanjikan dan dalam peringatan yang dilakukan di hadapan ketua pengadilan negeri tersebut pihak penjamin (jika ada) turut dihadirkan. Dengan demikian eksekusi lelang tersebut baru dapat dilaksanakan setelah hari ke-8 (delapan) apabila debitor tetap tidak mengindahkan peringatan dari ketua pengadilan negeri (vide Pasal 196 HIR/207 RBg).
Bahwa pada tahapan eksekusi lelang pengadilan negeri atau kantor lelang atas permintaan kreditor pemegang hak tanggungan juga harus memenuhi tahapan-tahapan sebagaimana yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Bahkan pemberi hak tanggungan (debitor) dapat membuat kesepakatan kepada penerima hak tanggungan (kreditor) untuk melakukan penjualan benda jaminan secara di bawah tangan, sepanjang diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak (vide Pasal 20 ayat (2) UU 4/1996). Oleh karena itu, tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon, maka apabila terdapat persoalan proses pelelangan yang dialami oleh Pemohon sebagai penjamin dalam perjanjian kredit antara debitor dan kreditor sebagaimana yang diuraikan Pemohon dalam dalil permohonannya, khususnya adanya kesewenang-wenangan, maka menurut Mahkamah hal tersebut bukan pada persoalan inkonstitusionalitas norma Pasal 6 UU 4/1996 akan tetapi hal tersebut berkaitan dengan implementasi dalam tataran praktik yang bukan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menilainya. Sebab, sebagaimana telah dipertimbangkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XVIII/2020 tanggal 27 Agustus 2020, berkenaan dengan norma Pasal 6 UU/1996 telah cukup tegas memberikan kepastian hukum dengan memberikan perlindungan jaminan kepastian kepada para pihak yang terlibat dalam perjanjian hak tanggungan. Terlebih, apabila ada tahapan dari eksekusi lelang yang dilakukan oleh kantor lelang bersama-sama pengadilan negeri atas permintaan kreditor penerima hak tanggungan yang ditemukan telah melanggar hukum, maka kepada siapapun yang merasa dirugikan dapat menggunakan upaya hukum melalui mekanisme yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil Pemohon yang pada pokoknya menyatakan Pasal 6 UU 4/1996 memberikan kedudukan dan kekuasaan kreditor yang mutlak sehingga berbuat sewenang-wenang dalam menjual objek hak tanggungan melalui pelelangan umum adalah tidak beralasan menurut hukum;
[3.13] Menimbang bahwa selanjutnya berkenaan dalil Pemohon yang pada pokoknya menyatakan Pasal 14 ayat (3) UU 4/1996 hanya memberikan perlindungan hukum kepada pemegang hak tanggungan (kreditor dan bankir) secara berlebihan dan mengabaikan perlindungan hukum kepada debitor dan kepada pemberi hak tanggungan, serta frasa “mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” juga bertentangan dengan paham negara hukum. Terhadap dalil Pemohon tersebut Mahkamah berpendapat bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XVIII/2020 tanggal 27 Agustus 2020, juga antara lain, dalam Paragraf [3.12.1] dan Paragraf [3.12.3] telah mempertimbangkan yang pada pokoknya sebagai berikut:
[3.12.1] … bahwa secara universal Hak Tanggungan adalah salah satu jenis jaminan kebendaan yang bersumber dari adanya perjanjian. Dengan demikian konsekuensi yuridisnya, maka para pihak terikat dengan substansi yang telah dituangkan dalam klausul-klausul perjanjian, termasuk segala hal yang tidak terbatas dapat dimasukkan dalam materi perjanjian, sepanjang tidak melanggar kesusilaan, ketertiban umum, dan tidak melanggar undang-undang. Oleh karena itu dalam perspektif perjanjian jaminan Hak Tanggungan, esensi yang mendasar adalah pihak debitor telah sepakat untuk menyerahkan benda berupa tanah miliknya kepada kreditor sebagai jaminan kebendaan dalam bentuk Hak Tanggungan, sebagai jaminan pelunasan hutangnya. Namun lazimnya dalam sebuah perjanjian tentunya diikuti dengan syarat-syarat lain yang melengkapi perjanjian dimaksud secara utuh yang menyesuaikan dengan ciri dan sifat dari obyek perjanjian itu sendiri. Dalam konteks jaminan Hak Tanggungan tentunya perjanjian dimaksud menyesuaikan dengan ciri, sifat, dan karakteristik jaminan Hak Tanggungan pada umumnya, sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang;
….
[3.12.3] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, sebenarnya tanpa harus mengubah konstruksi dan/atau dengan pemaknaan secara bersyarat terhadap norma Pasal 14 ayat (3) UU Hak Tanggungan, khususnya terhadap frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” untuk diberlakukan secara bersyarat dengan pemaknaan ”terhadap jaminan Hak Tanggungan yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi), karena debitor mengalami keadaan memaksa (overmacht/force majeure), sebenarnya debitor oleh undang-undang telah dijamin haknya untuk membuktikan, baik pada tahap musyawarah (non-litigasi) maupun upaya hukum perlawanan/gugatan di pengadilan sebelum eksekusi hak tanggungan dilakukan dengan menggunakan instrumen Pasal 1865 KUH Perdata, sebagaimana telah diuraikan di atas. Dengan demikian telah jelas, bahwa apabila debitor merasa mengalami adanya peristiwa atau keadaan yang bersifat memaksa (overmacht/force majeure) dan hal tersebut diyakini sebagai alasan tidak dapat memenuhinya kewajiban yang ada dalam perjanjian, meskipun tidak dimasukkan dalam klausul perjanjian, maka undang-undang menjamin kepada siapapun untuk membuktikan, baik pada tahap musyawarah (non-litigasi) maupun melalui upaya hukum perlawanan/gugatan;
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, sesungguhnya telah jelas pula, bahwa norma Pasal 14 ayat (3) UU Hak Tanggungan a quo tidak menghilangkan hak konstitusional debitor. Sebab, unsur-unsur yang menjadi sifat dan ciri dalam Hak Tanggungan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan karakteristik yang melekat dalam Hak Tanggungan adalah merupakan syarat formal yang bersifat fundamental dan absolut Hak Tanggungan. Sementara itu, pemberlakuan pemaknaan secara bersyarat pada frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” yang diinginkan oleh para Pemohon adalah syarat yang bersifat tambahan yang berada dalam ruang lingkup implementasi yang dapat diakomodir dalam bingkai kebebasan berkontrak yang menjadi salah satu syarat ”kesepakatan” sahnya sebuah perjanjian. Artinya, ada atau tidak adanya kesepakatan antara debitor dengan kreditor tentang adanya keadaan memaksa (overmacht/force majeure) di dalam perjanjian, sesungguhnya tidak mengurangi hak konstitusional debitor untuk menempuh upaya hukum dengan mengajukan perlawanan atau gugatan di pengadilan dengan mendalilkan adanya keadaan memaksa (overmacht/force majeure) dan hal tersebut sekaligus dapat menjadi dasar/alasan kreditor, atau eksekusi yang melalui bantuan ketua pengadilan negeri dan/atau kantor lelang untuk menunda pelaksanaan eksekusi jaminan Hak Tanggungan dimaksud;
Bahwa dengan argumentasi Mahkamah demikian, akan memperjelas, bahwa kekhawatiran para Pemohon dan debitor pada umumnya, dapat diakomodir dalam tataran implementasi untuk dimasukkan ke dalam substansi kesepakatan sebelum para pihak membuat perjanjian. Sebab dengan menambahkan klausul dalam syarat-syarat perjanjian dan sepanjang telah disepakati oleh para pihak, yang merupakan bentuk aktualisasi prinsip kebebasan berkontrak yang merupakan salah satu syarat sahnya sebuah perjanjian [vide Pasal 1320 KUH Perdata], maka sepanjang tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum, dan undang-undang [vide Pasal 1337 KUH Perdata], perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya atau dengan kata lain perjanjian tersebut menjadi undang-undang bagi para pihak yang membuatnya [asas pacta sunt servanda, vide Pasal 1338 KUH Perdata]. Dengan demikian, apabila ada persoalan yang muncul kemudian dan demi kepastian hukum, maka para pihak yang merasa dirugikan haknya dapat menyelesaikan persoalan tersebut hingga sampai pengadilan yang ruang lingkupnya luas di dalam menyelesaikan sengketa perdata. Sehingga dalam konteks permohonan para Pemohon a quo, sebelum ada rencana pelaksanaan eksekusi terhadap Hak Tanggungan para pihak khususnya debitor dapat mendapatkan kepastian dan keadilan hukum dengan penyelesaian baik musyawarah hingga upaya hukum perlawanan/gugatan untuk mendapat putusan pengadilan sebelum eksekusi Hak tanggungan dilaksanakan. Demikian halnya apabila debitor dengan kreditor tidak membuat klausul keadaan memaksa (overmacht/force majeure) sebagai salah satu klausul dalam perjanjian, bukan berarti debitor kehilangan haknya untuk mendapatkan kesempatan menggunakan haknya tersebut hingga mengajukan perlawanan/gugatan di pengadilan. Dengan demikian proses “pembelaan diri” dari debitor tersebut, terlebih apabila hingga sampai pada upaya hukum perlawanan/gugatan, maka hal tersebut sekaligus dapat menjadi dasar untuk ditundanya pelaksanaan eksekusi oleh kreditor, termasuk yang melalui bantuan ketua pengadilan negeri dan/atau kantor lelang;
Bahwa di samping argumentasi sebagaimana diuraikan di atas, sebenarnya dalam tataran empirik, sekalipun perjanjian antara debitor dengan kreditor tidak memperjanjikan secara khusus tentang keadaan memaksa (overmacht/force majeure), lembaga yang akan melakukan eksekusi lelang atas Hak Tanggungan, baik oleh kreditor yang akan melakukan “parate eksekusi” (menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum maupun yang meminta bantuan ketua pengadilan negeri dan/atau kantor lelang), akan selalu menggunakan mekanisme tahapan-tahapan yang bukan serta-merta kreditor menggunakan kewenangan tunggalnya untuk melaksanakan eksekusi dengan mengabaikan hak-hak debitor. Dengan kata lain, secara faktual apabila kreditor akan menggunakan haknya untuk melaksanakan eksekusi langsung terhadap benda jaminan Hak Tanggungan yang dapat dilaksanakan dengan cara “parate eksekusi”, harus melewati proses yang berisi tahapan-tahapan sebagaimana yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, seperti halnya melalui bantuan ketua pengadilan negeri dan/atau pelelangan melalui kantor lelang. Dan, di sanalah tahapan-tahapan itu akan dimulai, di antaranya seperti teguran/peringatan (aanmaning), kemudian tahapan sita eksekusi dan lain-lain yang setiap tahapan itulah debitor dan kreditor mempunyai kesempatan yang sama untuk mencapai kesepakatan terhadap adanya persoalan yang ada, termasuk apabila debitor mendalilkan adanya keadaan memaksa (overmacht/force majeure), dapat menjadi alasan untuk ditundanya eksekusi terhadap jaminan Hak Tanggungan, hingga debitor dapat menggunakan upaya hukum dengan mengajukan perlawanan/gugatan di pengadilan;
Selanjutnya dapat dijelaskan juga, selain cara eksekusi sebagaimana diuraikan tersebut di atas, sesungguhnya pelelangan terhadap obyek jaminan Hak Tanggungan juga dapat dilakukan secara di bawah tangan sepanjang disepakati kreditor dan debitor, jika dengan cara tersebut dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan kedua belah pihak [vide Pasal 20 ayat (2) UU Hak Tanggungan], meskipun pilihan lelang dengan cara terakhir ini tidak berkaitan langsung dengan adanya sengketa dengan alasan adanya cidera janji yang disebabkan karena keadaan memaksa (overmacht/force majeure);
Bahwa dengan uraian penjelasan di atas, maka akan tampak jelas eksekusi yang dilaksanakan oleh kreditor dengan cara parate eksekusi, baik yang didasarkan pada ketentuan Pasal 6, maupun yang berkaitan dengan Pasal 14 ayat (3), serta Pasal 20 ayat (1) UU Hak Tanggungan, menunjukkan bahwa kreditor pemegang obyek Hak Tanggungan tidak dapat secara sewenang-wenang melakukan eksekusi terhadap obyek jaminan Hak Tanggungan tanpa melibatkan pihak lain. Terlebih dalam setiap tahapan, debitor selalu dilibatkan terutama pada tahap awal sebelum dilaksanakannya eksekusi, di mana debitor akan mendapatkan kesempatan yang cukup untuk melakukan “pembelaan diri” sebelum pada akhirnya akan dilakukan eksekusi baik melalui bantuan ketua pengadilan negeri dan/atau kantor lelang;
Bahwa berdasarkan uraian sebagaimana ditegaskan di atas, kekhawatiran para Pemohon atau debitor dengan tidak adanya pemaknaan yang mengatur kewenangan eksekusi yang dapat dilakukan oleh kreditor atau dengan cara parate eksekusi, yang dapat merugikan kepentingan debitor apabila frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”, diberlakukan secara bersyarat, sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon menjadi tidak beralasan. Terlebih dengan uraian pertimbangan tersebut, sekaligus juga memperjelas, bahwa persoalan konstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon, sesungguhnya bukan terletak pada konstitusionalitas norma dari Pasal 14 ayat (3) UU Hak Tanggungan. Namun, persoalan sebenarnya terletak pada upaya antisipasi akan penerapan klausul perjanjian yang dibuat debitor dengan kreditor, dengan merujuk prinsip kebebasan berkontrak [vide Pasal 1320 KUH Perdata] dan prinsip perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya [asas pacta sunt servanda, vide Pasal 1338 KUH Perdata]. Di samping upaya hukum maksimal yang dapat dipilih oleh debitor sekalipun tidak diperjanjikan, dengan mendasarkan pada Pasal 1865 KUH Perdata, sebagaimana telah diuraikan pada pertimbangan hukum di atas;
Bahwa berdasarkan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XVIII/2020 tersebut di atas dan juga telah dipertimbangkan pada Paragraf [3.12] pada putusan a quo sudah cukup jelas bahwa dalam pelaksanaan eksekusi lelang, penerima hak tanggungan tidak bisa secara langsung begitu saja melakukan lelang terhadap objek hak tanggungan jika debitor melakukan wanprestasi. Semua pelaksanaan eksekusi lelang harus melalui proses yang telah diketahui oleh kedua belah pihak terlebih dahulu sebagaimana pertimbangan Mahkamah sebelumnya dan didahului dengan memberikan kesempatan yang cukup kepada debitor untuk memenuhi prestasinya. Bahkan, pihak debitor dan kreditor dapat bersepakat untuk dilakukan penjualan di bawah tangan, apabila terhadap hal itu akan diperoleh harga tertinggi dan menguntungkan semua pihak. Sementara itu, terhadap dalil Pemohon yang menyatakan frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” hanya memberikan perlindungan hukum kepada kreditor serta tidak sesuai dengan paham negara hukum. Terhadap hal ini Mahkamah berpendapat, bahwa ketentuan dalam Pasal 14 ayat (3) UU 4/1996 sebenarnya merupakan konsekuensi yuridis dari sifat perjanjian hak tanggungan yang mempunyai kekuatan eksekutorial dan dipersamakannya dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, kekhususan yang dimiliki oleh hak tanggungan memang sudah menjadi keinginan bersama para pihak yang terlibat dalam perjanjian yang merupakan implementasi asas kebebasan berkontrak sebagaimana kehendak para pihak di dalam mengaktualisasikan hak-hak privatnya yang dilindungi oleh undang-undang, bahkan konstitusi, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan dan ketertiban umum (vide Pasal 1320 KUH Perdata). Oleh karena itu, adanya kesepakatan secara sukarela yang dituangkan dalam perjanjian sebagaimana dipertimbangkan oleh Mahkamah tersebut menjadi undang-undang yang mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang membuatnya (Asas pacta sunt servanda- vide Pasal 1338 KUH Perdata). Dengan demikian, penegasan sifat kekuatan eksekutorial dan dipersamakannya dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap adalah sejalan dengan bentuk perlindungan dan kepastian hukum baik bagi debitor dan kreditor serta pihak lain yang terlibat di dalam perjanjian hak tanggungan dimaksud. Terlebih sebagaimana telah ditegaskan oleh Mahkamah, bahwa proses eksekusi lelang harus dilakukan setelah debitor benar-benar dalam keadaan wanprestasi dan telah diberikan kesempatan untuk memenuhi prestasinya dengan waktu yang cukup dan pemberitahuan yang patut serta pelaksanaan eksekusi lelang telah memenuhi tahapan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, maka tidaklah terdapat alasan, bahwa ketentuan norma Pasal 14 ayat (3) UU 4/1996 memberikan hak kesewenangan yang melampaui batas kepada kreditor dalam melakukan proses eksekusi lelang dan tidak sesuai dengan paham negara hukum sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon. Dengan demikian, dalil Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.14] Menimbang bahwa lebih lanjut Pemohon mendalilkan hak eksekutorial pemegang hak tanggungan atas kekuasaan sendiri untuk menjual objek hak tanggungan dengan cara pelelangan umum dalam Pasal 20 ayat (1) UU 4/1996 adalah tidak manusiawi. Terhadap dalil Pemohon tersebut, menurut Mahkamah dengan mengutip kembali pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XVIII/2020 tanggal 27 Agustus 2020, yang pada pokoknya mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.11.2] … secara universal esensi Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan untuk diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Artinya, bahwa jika debitor cidera janji, kreditor sebagai pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Dengan demikian, kreditor dalam hal ini memiliki hak privilege sebagai konsekuensi “kekuatan eksekutorial” yang melekat pada sifat hak tanggungan tersebut. Selain itu, sebagaimana telah diuraikan di atas, Hak Tanggungan menurut sifatnya juga merupakan perjanjian ikutan atau accessoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Demikian juga Hak Tanggungan menjadi hapus karena hukum, apabila karena pelunasan atau sebab-sebab lain, piutang yang dijaminnya menjadi hapus. Salah satu ciri Hak Tanggungan adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya jika debitor cidera janji.
Ditambah dengan penegasan kembali sebagaimana pada pertimbangan hukum putusan perkara a quo dalam Paragraf [3.12] dan Paragraf [3.13] menurut Mahkamah eksekusi lelang terhadap objek hak tanggungan adalah tidak dilakukan secara tiba-tiba atau mendadak oleh pemegang hak tanggungan (kreditor). Eksekusi lelang atas objek hak tanggungan sebagaimana amanat norma Pasal 20 ayat (1) UU 4/1996 sudah menentukan bahwa penjualan objek hak tanggungan dilakukan apabila pemberi hak tanggungan/debitor melakukan wanprestasi atau ingkar janji terhadap perjanjian kreditnya. Oleh karena itu, konsekuensi pelelangan terhadap objek hak tanggungan tentunya sudah diketahui oleh kedua belah pihak yakni kreditor dan debitor/pemberi hak tanggungan yang dituangkan dan disepakati dalam perjanjian kredit oleh semua pihak sejak semula. Oleh karena itu, justru dengan pelelangan secara umum dan dilakukan secara transparan maka akan diperoleh harga penawaran tertinggi atas objek hak tanggungan. Dengan demikian, baik kreditor maupun debitor tidak akan mengalami kerugian bahkan akan mendapatkan keuntungan, yaitu bagi kreditor memperoleh pelunasan atas pinjaman yang macet dan terhadap debitor mendapatkan sisa dari hasil pelelangan atas objek hak tanggungan tersebut. Terlebih undang-undang juga memberikan kesempatan kepada debitor dan kreditor untuk bersepakat agar terhadap objek hak tanggungan untuk dilakukan penjualan di bawah tangan apabila untuk itu diperoleh harga tertinggi dan menguntungkan semua pihak [vide Pasal 20 ayat (2) UU 4/1996]. Oleh karenanya dalil Pemohon yang menyatakan bahwa penjualan objek hak tanggungan oleh kreditor di bawah kekuasaannya adalah tidak manusiawi adalah dalil yang tidak terbukti kebenarannya. Bahkan, kreditor di dalam melaksanakan eksekusi penjualan secara lelang atas objek hak tanggungan tidak dilakukan sendiri, akan tetapi dapat meminta bantuan kantor lelang dan atau pengadilan negeri serta melibatkan appraisal independen di dalam menentukan harga lelang yang wajar.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, menurut Mahkamah dalil Pemohon yang pada pokoknya menyatakan hak eksekutorial pemegang hak tanggungan atas kekuasaan untuk menjual objek hak tanggungan dengan cara pelelangan umum tidak manusiawi dalam norma Pasal 20 ayat (1) UU 4/1996 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.15] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan pada pokoknya menyatakan frasa “di bawah tangan” dalam Pasal 20 ayat (2) UU 4/1996 memiliki arti kesepakatan dilakukan secara diam-diam dan tidak ada keterbukaan. Demikian pula adanya unsur harga tertinggi yang mengandung ketidakpastian hukum, memancing polemik atau perdebatan yang tidak perlu, dan tidak memberikan manfaat melainkan mudarat, sehingga Pemohon menginginkan harga tertinggi itu diganti dengan kata “harga kesepakatan”. Terhadap dalil Pemohon a quo menurut Mahkamah dalam Penjelasan Pasal 20 ayat (2) UU 4/1996 sudah sangat jelas telah menentukan sebagai berikut, “Dalam hal penjualan melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi, dengan menyimpang dari prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kemungkinan melakukan eksekusi melalui penjualan di bawah tangan, asalkan hal tersebut disepakati oleh pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, dan syarat yang ditentukan pada ayat (3) dipenuhi. Kemungkinan ini dimaksudkan untuk mempercepat penjualan objek Hak Tanggungan dengan harga penjualan tertinggi.” Berdasarkan Penjelasan Pasal 20 ayat (2) UU 4/1996 tersebut sebenarnya telah sangat jelas bahwa penjualan objek hak tanggungan dengan cara di bawah tangan dapat dilakukan jika ada kesepakatan antara pemberi dan penerima/pemegang hak tanggungan serta sepanjang diperoleh harga tertinggi dan menguntungkan para pihak. Oleh karena itu, unsur-unsur esensial yang harus dipenuhi dalam penjualan di bawah tangan atas objek hak tanggungan adalah:
1) adanya kesepakatan antara debitor dan kreditor, 2) penjualan atas objek hak tanggungan tersebut diperoleh harga tertinggi, 3) pilihan tersebut menguntungkan semua pihak. Dengan demikian, apabila mencermati syarat-syarat esensial tersebut, maka sesungguhnya tidak ada relevansinya mengkhawatirkan bahwa penjualan di bawah tangan atas objek hak tanggungan akan berakibat adanya kesepakatan diam-diam dan mendatangkan mudarat sebagaimana didalilkan oleh Pemohon. Sebab, dengan adanya klausul kesepakatan antara debitor dengan kreditor sebagai salah satu syarat esensial untuk dapat dilakukannya penjualan atas objek hak tanggungan secara di bawah tangan, maka hal tersebut membuktikan bahwa tidak boleh ada hal-hal yang disembunyikan dan tidak transparan, karena hal tersebut apabila benar terjadi dapat menjadi alasan salah satu pihak tidak sepakat untuk dilakukan penjualan atas objek hak tanggungan secara di bawah tangan. Demikian halnya dengan dalil Pemohon yang menyatakan bahwa penjualan di bawah tangan atas objek hak tanggungan akan mendatangkan mudarat. Hal tersebut juga tidak terlepas dari adanya kesepakatan yang telah dilakukan oleh para pihak serta ada atau tidaknya hal-hal yang menguntungkan bagi semua pihak. Oleh karena itu, apabila hal-hal yang menguntungkan bagi semua pihak tidak diperoleh, maka hal demikian berakibat tidak terpenuhinya salah satu unsur esensial untuk dapat dilakukannya penjualan secara di bawah tangan atas objek hak tanggungan, sehingga hal-hal yang bersifat mudarat menjadi tidak akan terjadi.
Bahwa dengan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, kekhawatiran Pemohon penjualan di bawah tangan atas objek hak tanggungan akan berakibat adanya kesepakatan diam-diam dan mendatangkan mudarat adalah tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Demikian halnya dengan dalil Pemohon yang menginginkan agar kata “harga tertinggi” pada norma Pasal 20 ayat (2) UU 4/1996 dimaknai sebagai “harga kesepakatan” menurut Mahkamah dalil Pemohon a quo justru akan menggeser tujuan daripada penjualan di bawah tangan itu sendiri, yaitu untuk mendapatkan keuntungan semua pihak. Sebab, dengan harga tertinggi yang diperoleh dari hasil penjualan di bawah tangan saja nilai keuntungan yang diperoleh oleh semua pihak masih belum dapat dipastikan nilainya, apalagi dengan harga kesepakatan yang bisa jadi akan diperoleh harga yang lebih rendah. Dengan penegasan demikian maka sekali lagi tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon, jika di dalam pelaksanaan lelang atas objek hak tanggungan ada kesepakatan untuk dilakukan penjualan di bawah tangan dan dilaksanakan dengan tidak memenuhi syarat-syarat esensial sebagaimana dipertimbangkan di atas, maka hal tersebut merupakan persoalan implementasi norma dari undang-undang, bukan disebabkan oleh persoalan inkonstitusionalitas norma Pasal 20 ayat (2) UU 4/1996.
Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil Pemohon yang menyatakan frasa “di bawah tangan” dalam Pasal 20 ayat (2) UU 4/1996 memiliki arti kesepakatan dilakukan secara diam-diam dan mendatangkan mudarat serta frasa “harga tertinggi” agar dimaknai “harga kesepakatan” adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.16] Menimbang bahwa dalil Pemohon yang pada pokoknya menyatakan Pasal 21 UU 4/1996 memberikan perlindungan yang berlebihan kepada kreditor selaku pemegang hak tanggungan dengan mengabaikan perlindungan kepada debitor dan pemberi hak tanggungan. Terhadap dalil Pemohon tersebut apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 21 UU 4/1996 yang menentukan “Apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan undang-undang ini”. Maka, esensi yang dapat diperoleh dari ketentuan tersebut adalah adanya debitor pemberi hak tanggungan yang dinyatakan pailit dan kreditor penerima hak tanggungan tidak kehilangan haknya untuk tetap melakukan tindakan hukum terhadap objek hak tanggungan. Berkenaan dengan hal tersebut, Mahkamah mempertimbangkan, bahwa sebagaimana sifat dari kreditor penerima atau pemegang hak tanggungan adalah didahulukan (privilege), sebagai kreditor separatis. Oleh karena itu, adanya putusan pengadilan yang menyatakan debitor dalam keadaan pailit, tidak akan menghilangkan hak kreditor pemegang hak tanggungan untuk kehilangan hak yang melekat atas pelunasan utang debitor pailit terhadap kreditor. Sebab, sesuai dengan sifatnya kreditor pemegang hak tanggungan adalah kreditor separatis yang mempunyai hak untuk didahulukan (privilege), maka pada saat kurator sebagai pihak yang melakukan verifikasi atau pemberesan seluruh harta pailit termasuk terhadap objek hak tanggungan yang telah dibebani dengan titel kekuatan eksekutorial harus dikeluarkan dan tidak lagi menjadi bagian dari harta (boedel) pailit yang dilakukan pemberesan untuk pemenuhan hutang kreditor-kreditor lainnya. Dengan demikian, sudah jelas berkaitan dengan perlindungan hukum kreditor pemegang hak tanggungan terhadap adanya debitor pemberi hak tanggungan yang dinyatakan pailit, tidak akan terganggu haknya untuk tetap mendapat jaminan pemenuhan piutangnya dari debitor meskipun debitor dinyatakan pailit. Bahkan hal tersebut dikuatkan dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyatakan, “Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan”. Sebab, hal tersebut karena sifat kekhususan dari hak tanggungan itu sendiri, yaitu privilege, separatis dan adanya titel eksekutorial yang sejak awal juga telah disepakati dalam perjanjian kredit dengan hak tanggungan yang dilakukan oleh debitor, kreditor dan penjamin (jika ada) serta pihak-pihak lain yang terlibat. Oleh karena itu, adanya anggapan Pemohon terhadap kreditor pemegang hak tanggungan mendapat perlindungan yang berlebihan adalah tidaklah terbukti kebenarannya. Terlebih munculnya hak yang dimiliki oleh kreditor pemegang hak tanggungan yang demikian juga datang dari adanya kesepakatan secara sukarela di antaranya dari debitor pemberi hak tanggungan sendiri.
Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil Pemohon yang menyatakan ketentuan norma Pasal 21 UU 4/1996 berlebihan di dalam memberikan perlindungan hukum terhadap kreditor pemegang hak tanggungan adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.17] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dari dalil Pemohon tidak dipertimbangkan karena tidak ada relevansinya, dan sesungguhnya dalil-dalil yang tidak dipertimbangkan tersebut adalah persoalan implementasi norma yang tidak ada keterkaitannya dengan persoalan konstitusionalitas norma. Oleh karenanya, apabila dalil-dalil dimaksud benar adanya maka upaya-upaya hukum dapat ditempuh oleh Pemohon sesuai dengan mekanisme peraturan perundang-undangan yang berlaku.
[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 6, Pasal 14 ayat (3), Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 21 UU 4/1996 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430