Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2018 TENTANG KEKARANTINAAN KESEHATAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-06-2021

Rowindo Hatorangan Tambunan (selanjutnya disebut Pemohon).

Pasal 10 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan

Pasal 1 ayat (2), Pasal 3 ayat (1), Pasal 28E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 10 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.10.1] Bahwa terlebih dahulu Mahkamah akan menguraikan definisi kedaruratan kesehatan dan PSBB yang dapat dikatakan sebagai inti dari permohonan a quo. Dalam hal ini, Pasal 1 angka 2 UU 6/2018 menyatakan, “Kedaruratan Kesehatan Masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara”. Selanjutnya Pasal 1 angka 11 UU 6/2018 menyatakan, “PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi”. Kemudian, Pasal 59 UU 6/2018 menyatakan, “PSBB merupakan bagian dari respon Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang bertujuan mencegah meluasnya penyebaran penyakit yang sedang terjadi antar orang di suatu wilayah tertentu, yang paling sedikit meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum”. Dengan demikian, PSBB baru dapat dilaksanakan setelah adanya pernyataan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat oleh pemerintah.

[3.10.2] Bahwa berkenaan dengan pihak yang dibebani tanggung jawab dalam kondisi Kedaruratan Kesehatan, Pasal 4 UU 6/2018 menyatakan, “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat melalui penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan”. Selanjutnya, Pasal 10 ayat (1) UU 6/2018 menyatakan bahwa perihal penetapan atau pencabutan kedaruratan kesehatan adalah kewenangan pemerintah pusat. Lebih lanjut Pasal 10 ayat (3) UU 6/2018 menegaskan sebelum menetapkan kedaruratan kesehatan dimaksud, pemerintah pusat terlebih dahulu menetapkan jenis penyakit dan faktor risiko yang dapat menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Kemudian berkenaan dengan hak dan kewajiban, pada intinya ketentuan Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 UU 6/2018 menyatakan setiap orang berhak memeroleh perlakuan yang sama dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan, dan setiap orang wajib mematuhi dan ikut serta dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. Berdasarkan norma-norma sebagaimana telah diuraikan di atas, menurut Mahkamah memang sudah tepat bahwa Pemerintah Pusat merupakan pihak yang berwenang untuk menetapkan atau mencabut Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Dalam suatu negara demokrasi, secara postulat telah diterima kebenaran bahwa rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi. Dalam konteks itu pula, Pemerintah mendapatkan mandat dari rakyat untuk memimpin penyelenggaraan bernegara termasuk dalam kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat. Dengan demikian, tidaklah terdapat persoalan bilamana Pemerintah yang menetapkan atau mencabut Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Hal demikian sekaligus tidaklah dapat membenarkan dalil atau penilaian Pemohon bahwa kekuasaan pemerintah di atas kedaulatan rakyat.

[3.10.3] Bahwa berkenaan dengan pelanggaran hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana yang didalilkan Pemohon, menurut Mahkamah, secara konstitusional, berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Sementara itu, terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang bukanlah merupakan kewenangan Mahkamah untuk menguji atau menilainya. Dengan demikian, apabila Pemohon mempersoalkan selain dari undang-undang termasuk 22 hierarki suatu peraturan perundang-undangan, in casu Pergub 33/2020, hal demikian bukanlah ranah kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Sementara itu, berkenaan dengan dalil yang menurut Pemohon tidak melibatkan masyarakat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, terhadap dalil demikian baru dapat diketahui apabila terhadap pembentukan dimaksud dapat dilakukan pengujian secara formil sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 10 ayat (1) UU 6/2018 adalah tidak beralasan menurut hukum.