Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW (RESUME PUTUSAN PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG TIDAK DAPAT DITERIMA DAN/ATAU DITOLAK OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 1/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-06-2021

Wielfried Milano Maitimu SH., M.Si (selanjutnya disebut Pemohon).

Pasal 832, Pasal 849, Pasal 852, Pasal 852a, Pasal 857, Pasal 914 dan Pasal 916 KUHPERDATA

Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 832, Pasal 849, Pasal 852, Pasal 852a, Pasal 857, Pasal 914 dan Pasal 916 KUHPERRDATA dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.12] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan uraian tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon yang pada pokoknya memohon agar ketentuan norma Pasal 832, Pasal 849, Pasal 852, Pasal 852a, Pasal 857, Pasal 914, dan Pasal 916 KUH Perdata yang kesemuanya mengatur mengenai pewarisan dalam KUH Perdata yang menurut Pemohon bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah dapat memahami permasalahan yang dihadapi oleh Pemohon yang merasa bahwa norma dalam KUH Perdata a quo telah menegasikan norma hukum adat mengenai pewarisan yang berlaku di masyarakat adat Passo (Ambon-Lease), sehingga menurut Pemohon hal demikian bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945. Terhadap hal demikian, menurut Mahkamah, Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 memang telah memberikan jaminan pengakuan dan penghormatan terhadap identitas dan hak-hak masyarakat adat beserta konsep pluralitas hukum dalam kerangka hukum nasional sebagaimana telah diuraikan pada Paragraf [3.11] di atas. Namun demikian, permohonan Pemohon justru tidak sejalan dengan konsep pluralitas hukum di Indonesia yang menghendaki adanya hubungan kolaboratif dan harmonis antar sub-sistem hukum nasional tersebut. Dalam konteks hukum pewarisan yang berlaku di Indonesia, hingga saat ini terdiri atas hukum waris Islam, hukum waris perdata barat (KUH Perdata), dan hukum waris adat secara bersamasama. Keanekaragaman hukum ini semakin terlihat karena hukum waris adat yang berlaku pada kenyataannya tidak bersifat tunggal, tetapi juga bermacam-macam sesuai dengan adat istiadat yang berlaku di masing-masing daerah. Dalam keadaan yang demikian muncul ide untuk melakukan unifikasi hukum demi terwujudnya satu sistem hukum nasional mengenai pewarisan. Namun, unifikasi hukum pewarisan yang disusun tersebut harus menjamin terserapnya semua aspirasi, nilai-nilai dan kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan perbedaan latar belakang budaya, agama dan kebutuhan hukum masyarakat. Unifikasi hukum pewarisan di Indonesia apabila tidak hati-hati malah justru menimbulkan konflik dalam masyarakat karena para ahli waris yang tunduk kepada hukum pewarisan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dalam praktik, apabila tidak terjadi sengketa waris maka masyarakat diberikan hak untuk memilih hukum waris yang akan digunakan (choice of law) dalam sebuah kesepakatan para pihak. Dalam hal terjadi sengketa yang bermuara di pengadilan, maka hakim yang akan menentukan hukumnya. Pilihan hukum dalam hal pewarisan ini menjadi penting dalam rangka pembangunan hukum nasional di tengah masyarakat yang pluralistik, karena dengan memberikan pilihan sub-sistem hukum yang sama bagi masyarakat yang berbeda dan terlebih lagi menegasikan sub-sistem hukum yang lain malah akan memperlebar jarak antara hukum dengan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat;

[3.13] Menimbang bahwa sejalan dengan pluralitas hukum pewarisan di Indonesia dalam tataran praktiknya, tidak berarti menjadikan hukum adat dalam posisi inferior. Meskipun secara historis, sejak berlakunya Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara PengadilanPengadilan Sipil yang secara yuridis menghapuskan keberadaan peradilan pribumi/peradilan adat (inheemsche rechtspraak) dan peradilan swapraja (zelfbestuur rechtspraak), hukum adat tetap berlaku dan nilai-nilainya tetap diakomodasi dalam putusan-putusan pengadilan sehingga akses untuk mencapai keadilan (access to justice) bagi masyarakat adat tetap terbuka. Dalam pengertian yang demikian maka hukum adat merupakan sub-sistem dari sistem hukum nasional. Begitu pula, dalam sistem peradilan Indonesia, hukum adat menjadi salah satu sumber hukum dalam memutus perkara. Oleh karena itu, hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dan masih dipelihara baik di tengah-tengah masyarakat (living customary law), salah satunya nilai-nilai adat istiadat yang masih terpelihara secara baik terutama di tempat di mana kasus hukum konkret tersebut terjadi. Secara normatif, kebebasan hakim tersebut diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan, “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Namun berdasarkan ketentuan a quo pula, jika dalam praktik peradilan ternyata hukum adat yang berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum masyarakat, maka hakim juga dapat menjatuhkan putusan yang berbeda dengan hukum adat yang berlaku, sehingga muncul putusan-putusan hakim yang secara tidak langsung berisikan norma hukum baru yang lebih mencerminkan rasa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dalam konteks demikian, maka tidak terdapat hubungan yang bersifat paradoksal antara keberlakuan hukum adat dengan pasal-pasal dalam KUH Perdata yang mengatur pewarisan. Terlebih apabila para pihak sepakat untuk menggunakan sepenuhnya KUH Perdata, hal tersebut dapat dibenarkan. Oleh karenanya tidak ada relevansinya mengadopsi hukum adat dalam KUH Perdata atau sebaliknya sebagaimana didalilkan oleh Pemohon. Dengan demikian menurut Mahkamah, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma pasal-pasal mengenai pewarisan dalam KUH Perdata sebagaimana yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon;

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.