Jovi Andrea Bachtiar, S.H., Richardo Purba, S.H., Leonardo Satrio Wicaksono, S.H., Jultri Fernando Lumbantobing, S.H., Sayid Aziz Imam Mahdi, S.H., Alfian Huzhayya, S.H., Galang Brillian Putra, S.H., Faiz Abdullah Wafi, Titanio Hasangapan Giovanni Sibarani, Thomas Perdana D.D Sitindaon, Febry Indra Gunawan Sitorus, dan Yusuf Rahmat, S.Sos., untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.
Pasal 12B ayat (1), Pasal 12B ayat (2), Pasal 12B ayat (3), Pasal 12B ayat (4), Pasal 37B ayat (1) huruf b, Pasal 47 ayat (1), Pasal 47 ayat (2), Pasal 69A ayat (1), Pasal 69A ayat (4) UU KPK, Pasal 51A ayat (5) UU MK, dan Pasal 10 ayat (1) huruf d serta Pasal 23 ayat (1) huruf b UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Anggota DPR RI Taufik Basari, SH. M.Hum. LL.M (A-359) dan didampingi secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian pasal-pasal a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.14] Menimbang bahwa setelah Mahkamah mencermati dengan saksama permohonan para Pemohon, khususnya berkenaan dengan konstitusionalitas norma-norma Pasal 12B ayat (1), Pasal 12B ayat (2), Pasal 12B ayat (3), Pasal 12B ayat (4), Pasal 37B ayat (1) huruf b, Pasal 47 ayat (1), dan Pasal 47 ayat (2), UU KPK ternyata telah diputus melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019, tanggal 4 Mei 2021, Pukul 16.22 WIB, di mana dalam amar putusan perkara tersebut pasal-pasal a quo telah dinyatakan inkonstitusional. Oleh karena itu sebagai konsekuensi yuridisnya terhadap norma pasal-pasal tersebut harus dinyatakan tidak ada lagi dan/atau bukan lagi merupakan bagian dari UU KPK secara utuh. Dengan demikian terhadap permohonan para Pemohon yang berkenaan dengan inkonstitusional norma pasal-pasal dimaksud telah kehilangan objek. Sedangkan berkenaan dengan norma Pasal 12C ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 37A ayat (3) UU KPK di samping tidak dimohonkan dalam “Petitum” permohonan para Pemohon, para Pemohon juga salah di dalam mengutip isi norma Pasal 12C ayat (1) UU KPK. Sebab yang dikutip oleh para Pemohon adalah isi norma Pasal 12C ayat (2) UU KPK. Oleh karena itu Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut permohonan para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 12C ayat (1), Pasal 21 ayat (1), dan Pasal 37A ayat (3) UU KPK. Sementara itu berkenaan dengan dalil para Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 69A ayat (1) dan Pasal 69A ayat (4) UU KPK, setelah dicermati Mahkamah, permohonan a quo tidak ada konsistensi antara Posita dan Petitum. Sebab, dalam Posita para Pemohon mempersoalkan inkonstitusionalitas Pasal 69A ayat (1) dan Pasal 69A ayat (4) UU KPK. Sedangkan dalam Petitum para Pemohon memohon agar Pasal 69 ayat (1) dan Pasal 69 ayat (4) UU KPK dinyatakan inkonstitusional. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat permohonan a quo adalah kabur.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusional norma Pasal 12B ayat (1), Pasal 12B ayat (2), Pasal 12B ayat (3), Pasal 12B ayat (4), Pasal 37B ayat (1) huruf b, Pasal 47 ayat (1), dan Pasal 47 ayat (2), UU KPK adalah kehilangan objek.
[3.15] Menimbang bahwa selanjutnya permohonan para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 51A ayat (5) dan Pasal 57 ayat (3) UU MK, di mana para Pemohon memohon agar Pasal 51A ayat (5) UU MK dimaknai tetap berlaku konstitusional sepanjang frasa “mengabulkan Permohonan Pemohon” dimaknai mencakup juga “mengabulkan Permohonan Pemohon untuk sebagian”. Sedangkan terhadap Pasal 57 ayat (3) UU MK apabila dirumuskan secara sederhana oleh Mahkamah, sesungguhnya yang diinginkan oleh para Pemohon adalah tetap berlaku konstitusional sepanjang dimaknai mencakup juga putusan dengan rumusan sebagai berikut:
a. menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud bertentangan atau tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang “diartikan...” atau “tidak diartikan...”;
b. menyatakan bahwa frasa “...” dalam materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau tetap berlaku konstitusional sepanjang “diartikan...” atau “tidak diartikan...”;
Terhadap permasalahan inkonstitusionalitas norma Pasal 51A ayat (5) dan Pasal 57 ayat (3) UU MK yang dipersoalkan oleh para Pemohon tersebut, setelah Mahkamah mencermati dengan saksama ternyata hal yang dimohonkan oleh para Pemohon sesungguhnya pada esensinya adalah bagian dari bunyi amar putusan yang sangat dimungkinkan dapat terjadi dengan mencakup sebagaimana yang diinginkan oleh para Pemohon. Sebab amar putusan pada dasarnya adalah refleksi dari pertimbangan hukum. Terlebih hal yang berkaitan dengan pemaknaan sebagaimana yang diinginkan oleh para Pemohon dalam Pasal 51A ayat (5) UU MK, yaitu “mengabulkan Permohonan pemohon untuk sebagian” adalah hal yang sudah sering dilakukan oleh Mahkamah dalam amar-amar putusannya. Sedangkan berkenaan dengan rumusan amar putusan sebagaimana yang diinginkan para Pemohon berkaitan dengan Pasal 57 ayat (3) UU MK hal tersebut dapat dimungkinkan terjadi, namun demikian apabila Mahkamah mengikuti rumusan amar sebagaimana diinginkan para Pemohon, maka hal tersebut justru akan mempersempit pemaknaan rumusan amar putusan yang berkaitan dengan Pasal 57 ayat (3) UU MK itu sendiri. Sebab, apabila Mahkamah akan membuat rumusan amar putusan lain selain seperti yang dimohonkan para Pemohon harus dilakukan permohonan pengujian terlebih dahulu di Mahkamah Konstitusi terhadap norma Pasal 57 ayat (3) UU MK tersebut secara berulang-ulang, maka hal tersebut justru dapat terhalang dengan ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Cara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), padahal secara substansial permohonannya dimungkinkan beralasan menurut hukum.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusional norma Pasal 51A ayat (5) dan Pasal 57 ayat (3) UU MK adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.16] Menimbang bahwa selanjutnya permohonan para Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas Pasal 10 ayat (1) huruf d dan Pasal 23 ayat (1) huruf b UU 12/2011, apabila dirumuskan secara sederhana oleh Mahkamah, yang diinginkan oleh para Pemohon adalah tetap berlaku konstitusional sepanjang dimaknai mencakup juga putusan dengan rumusan sebagai berikut:
a. menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undangundang dimaksud bertentangan atau tidak bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang “diartikan...” atau “tidak diartikan...”;
b. menyatakan bahwa frasa “...” dalam materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau tetap berlaku konstitusional sepanjang “diartikan...” atau “tidak diartikan...”;
Terhadap permohonan para Pemohon berkenaan inkonstitusionalitas norma Pasal 10 ayat (1) huruf d dan Pasal 23 ayat (1) huruf b UU 12/2011 a quo, setelah Mahkamah mencermati secara saksama permohonan para Pemohon, ternyata masih berkaitan erat dengan permohonan para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 51A ayat (5) dan Pasal 57 ayat (3) UU MK yang telah dinyatakan tidak beralasan menurut hukum. Oleh karenanya sebagai konsekuensi yuridisnya terhadap permohonan para Pemohon a quo juga tidak ada relevansinya untuk dipertimbangkan lebih lanjut. Terlebih pada hakikatnya ketentuan norma Pasal 10 ayat (1) huruf d dan Pasal 23 ayat (1) huruf b UU 12/2011 dapat bersifat fleksibel dalam arti frasa “tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi” yang dimaksudkan dalam norma a quo adalah menindaklanjuti semua jenis amar putusan Mahkamah Konstitusi yang berakibat, antara lain adanya perubahan ataupun pemberlakukan norma secara bersyarat serta ketiadaan sebuah norma karena dinyatakan inkonstitusional.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusional norma Pasal 10 ayat (1) huruf d dan Pasal 23 ayat (1) huruf b UU 12/2011 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, dalil Permohonan para Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas Pasal 12B ayat (1), Pasal 12B ayat (2), Pasal 12B ayat (3), Pasal 12B ayat (4), Pasal 37B ayat (1) huruf b, Pasal 47 ayat (1), dan Pasal 47 ayat (2) UU KPK adalah kehilangan objek. Sementara itu berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 51A ayat (5) huruf a dan huruf b dan Pasal 57 ayat (3) UU MK serta Pasal 10 ayat (1) huruf d dan Pasal 23 ayat (1) huruf b UU 12/2011 adalah tidak beralasan menurut hukum. Sedangkan berkenaan dengan Pasal 69A ayat (1) dan Pasal 69A ayat (4) UU KPK adalah kabur.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430