Ricky Martin Sidauruk dan Gregorius Agung (selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon).
Pasal 43 ayat (1) huruf a UU KPK
Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Anggota DPR RI Taufik Basari, SH. M.Hum. LL.M (A-359) dan didampingi secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian pengujian materiil Pasal 43 ayat (1) huruf a UU a quo dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan oleh para Pemohon sebagaimana dalam Paragraf [3.7] di atas, maka permasalahan konstitusionalitas yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah apakah kata ‘dapat’ dalam Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019 dapat bermuatan “Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi dapat berasal dari kepolisian, kejaksaan, instansi pemerintah lainnya, internal Komisi Pemberantasan Korupsi, dan/atau khalayak umum”. Namun, sebelum mempertimbangkan permasalahan tersebut, Mahkamah perlu terlebih dahulu mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
[3.10.1] Bahwa menurut Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan;
[3.10.2] Bahwa sebagaimana Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012, bertanggal 23 Oktober 2012, salah satu pertimbangan yang menjadi dasar pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi menurut Penjelasan UU KPK adalah sebagai berikut, “Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional, serta berkesinambungan”;
[3.10.3] Bahwa Mahkamah dalam Putusan Nomor 5/PUU-IX/2011, bertanggal 20 Juni 2011, telah menegaskan KPK adalah lembaga negara independen yang diberi tugas dan wewenang khusus antara lain melaksanakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, serta melakukan supervisi atas penanganan perkara- perkara korupsi yang dilakukan oleh institusi negara yang lain. Untuk mencapai maksud dan tujuan pembentukan KPK sebagai lembaga negara yang khusus memberantas korupsi, maka dalam melaksanakan tugas dan kewenangan secara efektif, KPK dituntut untuk bekerja secara profesional, independen, dan berkesinambungan;
[3.10.4] Bahwa pemberantasan korupsi merupakan agenda penting di Indonesia, karena praktik korupsi yang semakin mengkhawatirkan, bukan hanya merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan, melemahkan institusi-institusi, dan nilai-nilai demokrasi, namun juga merusak mentalitas bangsa. Semakin maraknya tindak pidana korupsi yang melibatkan segala lapisan masyarakat, membuat penanganan korupsi harus semakin dioptimalkan, berkejaran dengan semakin berkembangnya modus dan perilaku korup di masyarakat;
Bahwa dalam sejarahnya KPK hadir sebagai ikhtiar bangsa untuk memerangi korupsi dengan perangkat hukum yang diharapkan dapat lebih efektif dan optimal dalam pemberantasan korupsi. Hal ini sejalan dengan maksud Konsiderans Menimbang Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250, selanjutnya disebut UU 30/2002) yang menyatakan:
a. bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu, pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional;
b. bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi;
c. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Bahwa menurut Penjelasan UU 19/2019, meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua Tindak Pidana Korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan dengan cara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa;
Dari Konsiderans dan Penjelasan Umum UU 19/2019 tersebut nampak bahwa KPK hadir sebagai lembaga yang memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, serta bertugas menangani kejahatan yang luar biasa, karena itu harus didukung dengan instrumen hukum yang tidak konvensional yang disiapkan untuk mendukung KPK agar dapat bekerja lebih optimal;
[3.10.5] Bahwa Mahkamah dalam Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, bertanggal 19 Desember 2006, dan ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Nomor 31/PUU-X/2012, bertanggal 23 Oktober 2012, telah menegaskan kedudukan KPK sebagai lembaga yang constitutionally important:
“bahwa KPK dibentuk dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, karena pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Sehingga pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. Sementara itu, lembaga yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi, sehingga pembentukan lembaga seperti KPK dapat dianggap penting secara konstitusional (constitutional important) dan termasuk lembaga yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 ayat (3) UUD 1945”;
Sebagai lembaga yang secara konstitusional penting maka KPK diberikan kekhususan dalam menjalankan tugasnya, karena diharapkan batasan- batasan yang konvensional tidak lagi mempersulit langkah KPK dalam melakukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK disebut sebagai lembaga yang dianggap penting secara konstitusional, namun KPK tetaplah merupakan lembaga yang dibatasi oleh peraturan perundang-undangan dalam menjalankan kewenangannya. Meskipun tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa, hal ini tidaklah serta-merta menyebabkan KPK menjadi lembaga yang superbody. Kendatipun dalam hal-hal tertentu KPK diberi kekhususan oleh Undang-Undang;
Dalam konteks ini, penting ditegaskan bahwa sistem penegakan hukum pidana di Indonesia merupakan rangkaian keterkaitan antara lembaga penegak hukum yang ada dengan perangkat hukum pendukungnya. KPK adalah lembaga independen namun tidak dapat berdiri sendiri dalam menjalankan tugasnya untuk melakukan upaya pemberantasan korupsi. Demikian juga dengan lembaga penegak hukum lainnya. Oleh karena itu, upaya penguatan lembaga penegak hukum, baik KPK maupun lembaga penegak hukum lain menjadi penting. Selain itu, upaya penguatan dimaksud tidak hanya dari segi instrumen hukum pendukungnya, namun juga dari sumber daya aparat penegak hukum yang melaksanakan fungsi lembaga dimaksud.
[3.11] Menimbang bahwa secara yuridis, tindak pidana korupsi menimbulkan ancaman terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat, melemahkan lembaga dan nilai-nilai demokrasi, merusak etika dan keadilan, serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum, sehingga perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Dengan demikian, tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes). Oleh karena itu, dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan “secara biasa” tetapi dibutuhkan “cara-cara yang luar biasa” (extra ordinary);
Berdasarkan uraian tersebut, pemberantasan korupsi harus dilakukan secara luar biasa karena korupsi dapat membahayakan negara, sehingga pengaturannya harus diatur secara khusus. Sebagaimana dalam sistem pembentukan undang-undang, undang-undang dibuat selain berdasarkan asas- asas yang bersifat umum juga dapat dibuat berdasarkan asas-asas yang sifatnya khusus, seperti lex specialis derogat legi generalis (undang-undang yang sifatnya khusus mengesampingkan undang-undang yang sifatnya umum);
Apabila dilihat dari original intent pembentukan UU 19/2019 memang dimaksudkan kedudukan UU 19/2019 sebagai lex specialis terhadap KUHAP. Dengan kedudukan demikian sebagaimana yang dikehendaki pembentuk Undang- Undang, Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019 merupakan ketentuan yang mengatur sendiri penyelidik yang ada di KPK. Kedudukan UU 19/2019 sebagai lex specialis menunjukkan rasionalitas hukum bahwa KPK memang diberi instrumen khusus dalam menjalankan tugas memberantas korupsi.
[3.12] Menimbang bahwa penyelidik dan penyidik dalam proses penegakan hukum memiliki peran sentral dan strategis, terlebih-lebih bagi KPK. Dalam upaya penguatan lembaga penegak hukum, lini penyelidikan dan penyidikan menjadi titik sentral untuk mendapat perhatian agar diperkuat, baik sumber daya aparat penegak hukumnya maupun instrumen hukum pendukungnya. Demikian juga sebaliknya, upaya pelemahan sebuah lembaga penegak hukum, dalam hal ini KPK, yang paling mudah adalah dengan cara melemahkan lini penyelidikan. KPK sebagai lembaga penegak hukum tidak akan berjalan jika lini penyelidikan lumpuh akibat kekurangan sumber daya. Minimnya jumlah penyelidik yang tidak sebanding dengan beban kerja yang harus diselesaikan akan menghambat kinerja KPK sebagai lembaga yang diharapkan dapat bekerja profesional secara optimal.
[3.13] Menimbang bahwa dalam konteks permohonan para Pemohon, permasalahan yang harus dijawab adalah apakah Penyelidik KPK yang hanya diperbolehkan berasal dari kepolisian, kejaksaan, instansi pemerintah lainnya, dan/atau internal KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019 adalah inkonstitusional. Sebab, menurut para Pemohon berdasarkan ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019, menyatakan:
Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi dapat berasal dari kepolisian, kejaksaan, instansi pemerintah lainnya, dan/atau internal Komisi Pemberantasan Korupsi;
Dan ketentuan Pasal 1 angka 4 KUHAP, menyatakan:
Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan;
Oleh karena itu menurut para Pemohon berdasarkan ketentuan di atas tidak terbuka kemungkinan untuk dapat diangkat menjadi penyelidik dari khalayak umum atau orang di luar sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019 dan Pasal 1 angka 4 KUHAP. Sementara syarat untuk dapat diangkat menjadi penyelidik diatur dalam ketentuan Pasal 43A UU 19/2019, yang menyatakan:
Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. berpendidikan paling rendah S1 (sarjana strata satu) atau yang setara;
b. mengikuti dan lulus pendidikan di bidang penyelidikan;
c. sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; dan
d. memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi;
Terhadap dalil para Pemohon tersebut di atas, Mahkamah mempertimbangkan, ketentuan 43 ayat (1) UU 19/2019 di atas mengatur bahwa Penyelidik KPK dapat berasal dari kepolisian, kejaksaan, instansi pemerintah lainnya, dan/atau internal Komisi Pemberantasan Korupsi. Norma Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019 memberikan pembatasan bahwa penyelidik KPK hanya dapat berasal dari kepolisian, kejaksaan, instansi pemerintah lainnya, dan/atau internal KPK. Hal tersebut menegaskan bahwa penyelidik KPK tidak dapat diisi dari lembaga/instansi di luar sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019. Oleh karena itu kata ‘dapat’ dalam ketentuan tersebut bukan ditujukan untuk subjek hukum di luar sebagaimana yang telah ditentukan dalam pasal a quo, akan tetapi merupakan bentuk pilihan bahwa penyelidik KPK hanya dapat dibenarkan direkrut dari subjek hukum yang berasal dari lembaga/instansi sebagaimana secara limitatif telah ditentukan dalam Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019 tersebut.
Bahwa lebih lanjut dapat dijelaskan keterkaitan norma Pasal 43A ayat (1) UU 19/2019 dengan norma Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019, sebagaimana yang dimohonkan pengujiannya oleh para Pemohon, adalah ketentuan Pasal 43A ayat (1) UU 19/2019 merupakan syarat lanjutan untuk dapat diangkat menjadi penyelidik KPK setelah terpenuhinya syarat utama, yaitu bahwa subjek hukum yang diusulkan menjadi penyelidik KPK adalah berasal dari lembaga/instansi sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019. Dengan kata lain, bahwa untuk dapat diangkat menjadi penyelidik KPK haruslah terpenuhi syarat komulatif sebagaimana ditentukan dalam Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019 dan sekaligus Pasal 43A ayat (1) UU 19/2019. Dengan demikian, apa yang dikehendaki oleh para Pemohon dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 43A ayat (1) UU 19/2019, penyelidik KPK seolah-olah dapat direkrut dari khalayak umum hanya sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 43A ayat (1) UU 19/2019 tersebut adalah dalil yang tidak berdasar;
Bahwa pertimbangan penyelidik KPK secara limitatif dibatasi hanya berasal dari lembaga/instansi sebagaimana telah ditentukan tersebut di atas, hal tersebut tidak dapat dipisahkannya dengan ketentuan bahwa penyelidik adalah merupakan jabatan yang melekat pada status kepegawaian yang bersangkutan. Oleh karena itu, pegawai yang akan diangkat menjadi penyelidik harus terlebih dahulu berstatus sebagai pegawai pada salah satu lembaga/instansi sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019. Dengan demikian, setelah yang bersangkutan menjadi pegawai salah satu dari lembaga/instansi tersebut baru dapat diangkat menjadi penyelidik KPK sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 43A ayat (1) UU 19/2019. Hal demikian menegaskan bahwa tidak terbuka ruang/kesempatan bagi pihak dari luar selain yang disebutkan di atas dapat menjadi penyelidik KPK hanya sekedar karena memenuhi syarat sebagaimana ditentukan Pasal 43A ayat (1) UU 19/2019, kecuali yang bersangkutan terlebih dahulu diterima sebagai pegawai pada salah satu lembaga/instansi tersebut di atas.
[3.14] Menimbang bahwa, sementara itu mengenai dalil para Pemohon yang mengaitkan dengan ketentuan Pasal 1 angka 4 KUHAP yang menyatakan bahwa Penyelidik hanya berasal dari pejabat polisi negara. Terhadap hal tersebut Mahkamah mempertimbangkan bahwa ketentuan Pasal 1 angka 4 KUHAP adalah norma yang mengatur tentang ketentuan yang bersifat umum sebagaimana sifat dari KUHAP yang berlaku secara lex generalis derogat legi specialis, sedangkan ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019 bersifat lex specialis derogat legi generalis. Di mana pemberlakuan UU 19/2019 adalah bersifat khusus yang di dalamnya terkandung adanya kewenangan yang diberikan secara khusus untuk lembaga KPK sebagai extra ordinary organ. Oleh karena itu, dalam konteks tersebut mengingat kewenangan KPK yang mempunyai peran sentral sebagai salah satu lembaga pemberantasan tindak pidana korupsi diberikan kewenangan secara khusus berkenaan dengan perekrutan penyelidik KPK yang dapat berasal baik dari dalam maupun luar kepolisian, tidak terbatas pada sebagaimana yang diberikan Pasal 1 angka 4 KUHAP.
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah telah jelas bahwa penyelidik KPK sebagaimana yang diatur dalam Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019 harus hanya berasal dari unsur kepolisian, kejaksaan, intansi pemerintah lainnya, dan/atau internal KPK sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019, dan menurut Mahkamah, KPK memiliki kewenangan untuk mengangkat sendiri pegawainya untuk menjadi penyelidik di samping pegawai dari lembaga/instansi lainnya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019 yang memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 43A ayat (1) UU 19/2019;
Bahwa terkait dengan keinginan para Pemohon agar ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019 tersebut dapat mengakomodir khalayak umum tanpa ada pembatasan, hal tersebut tidak serta-merta menutup kesempatan khalayak umum termasuk para Pemohon untuk menjadi penyelidik pada KPK. Sebab, keinginan para Pemohon untuk dapat menjadi penyelidik pada KPK dapat saja terpenuhi sepanjang para Pemohon terlebih dahulu menjadi pegawai KPK dan hal tersebut sangat tergantung pada terpenuhi atau tidak syarat sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu dalil para Pemohon yang mempersoalkan inkonstitusionalitas norma Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019 terhadap Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430