Gregorius Yonathan Deowikaputra, S.H. yang memiliki profesi sebagai pengacara/advokat (selanjutnya disebut sebagai Pemohon).
dalam permohonannya mengujikan tahapan pembentukan UU a quo yang dianggap cacat formil dan Pemohon mengujikan Pasal 11 ayat (1) huruf a UU 19/2019 sepanjang frasa “dan/atau” dan Pasal 29 huruf e UU 19/2019
Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Anggota DPR RI Taufik Basari, SH. M.Hum. LL.M (A-359) dan didampingi secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian formil UU 19/2019 dan pengujian materiil Pasal 11 ayat (1) huruf a UU 19/2019 sepanjang frasa “dan/atau” dan Pasal 29 huruf e UU 19/2019 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Dalam Provisi
[3.8] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan provisi yang pada pokoknya menyatakan keberlakuan UU 19/2019 telah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Pihak yang kontra mendesak Presiden untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) agar membatalkan keberlakuan UU 19/2019. Sebaliknya, pihak yang pro mengingatkan Presiden untuk tidak gegabah menerbitkan Perppu. Polemik yang timbul tersebut sebaiknya haruslah dihentikan dengan menyerahkan proses penyelesaiannya melalui mekanisme pengujian konstitusionalitas di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi menjatuhkan Putusan Provisi selama proses pemeriksaan permohonan a quo berlangsung dan memerintahkan Presiden untuk tidak menerbitkan Perpu terkait dengan keberlakuan UU 19/2019. Terhadap alasan permohonan provisi Pemohon tersebut, menurut Mahkamah tidak relevan untuk dipertimbangkan karena persoalan pro-kontra atas keberlakuan suatu undang-undang yang jamak terjadi dalam suatu negara demokratis. Terlebih permasalahan adanya pro-kontra tidak ada relevansinya dengan implikasi konstitusionalitas undang-undang a quo. Oleh karena itu pro-kontra yang dijadikan alasan Pemohon dalam pengajuan provisi tidak dapat dijadikan alasan bagi Mahkamah untuk memenuhi permohonan Provisi Pemohon. Dengan demikian alasan permohonan Provisi harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
Dalam Pokok Permohonan
Pengujian Formil
[3.16] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon mengenai pengujian formil konstitusionalitas pembentukan UU 19/2019, pada saat yang bersamaan dengan pemeriksaan perkara a quo telah diperiksa pula beberapa perkara lain yang mempermasalahkan hal yang sama, yakni mengenai pengujian formil konstitusionalitas pembentukan UU 19/2019, yang diajukan oleh pemohon berbeda, di mana putusan atas perkara-perkara tersebut telah diucapkan sebelumnya. Dengan demikian, karena substansi permohonan pengujian formil yang diajukan Pemohon pada pokoknya berkaitan dengan konstitusionalitas pembentukan UU 19/2019, maka pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XVII/2019 yang diucapkan pada tanggal 4 Mei 2021, selesai diucapkan pukul 15.13 WIB, dan telah dinyatakan tidak beralasan menurut hukum, sehingga pertimbangan hukum tersebut berlaku secara mutatis mutandis sebagai pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUUXVII/2019 a quo. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XVII/2019 tersebut Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yang pendapat berbeda tersebut berlaku juga untuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XVII/2019 a quo;
Berdasarkan pertimbangan hukum demikian, yang pada pokoknya menurut Mahkamah prosedur pembentukan UU 19/2019 telah bersesuaian dengan UUD 1945, maka permohonan Pemohon dalam perkara a quo mengenai pengujian formil konstitusionalitas UU 19/2019 harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum;
Pengujian Materiil
[3.17] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon yang merasa dirugikan oleh berlakunya kata “dan/atau” dalam ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf a UU 19/2019 yang seharusnya kata “atau” dihilangkan dan berubah menjadi “dan” sehingga ketentuan Pasal 11 bersifat kumulatif, berkenaan dalil Pemohon a quo penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu menjelaskan hal sebagai berikut:
1. Bahwa Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, bertanggal 19 Desember 2006 telah memberikan pertimbangan hukum berkenaan dengan kata “dan/atau” dalam Pasal 11 UU 30/2002 yang menyatakan sebagai berikut:
“bahwa Mahkamah sama sekali tidak bermaksud menafikan kalau ketidakmudahan dalam menentukan ukuran tentang hal, peristiwa, perbuatan, atau keadaan “yang meresahkan masyarakat” mempunyai potensi untuk disalahgunakan. Maksud Mahkamah adalah, jika hanya dengan dalil demikian tidaklah cukup untuk menyatakan bahwa ketentuan Pasal 11 huruf b UU KPK bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, jika dibaca secara utuh Pasal 11 UU KPK yang berbunyi, “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang: a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah)”, maka sangat jelas bahwa adanya kata “dan/atau” setelah kalimat “mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat” harus ditafsirkan bahwa syarat yang tak dapat ditiadakan agar KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi ada pada Pasal 11 huruf a yang dikumulatifkan dengan huruf b atau c atau keduanya (b dan c). Dengan kata lain, syarat pada huruf a bersifat mutlak, sedangkan syarat pada huruf b dan pada huruf c boleh terpenuhi salah satu atau keduanya. Sedangkan jika hanya terpenuhi salah satu dari huruf b atau huruf c, atau huruf b sekaligus huruf c, namun syarat pada huruf a tidak ada maka KPK tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan, lebih-lebih penyidikan dan penuntutan. Dengan demikian, jika seseorang yang terhadapnya telah dilakukan penyelidikan, penyidikan, atau bahkan penuntutan oleh KPK padahal syarat yang terpenuhi hanya syarat pada huruf b atau c (atau keduanya) namun syarat pada huruf a tidak terpenuhi, maka sudah tentu orang yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan dalam persidangan (karena KPK tidak berwenang menerbitkan SP3) agar hakim menyatakan bahwa KPK tidak berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan atas tindak pidana yang bersangkutan. Keberatan yang sama pun dapat diajukan oleh seseorang jika, misalnya, KPK merasa berwenang karena menurutnya syarat pada huruf a dan huruf b terpenuhi sedangkan menurut orang yang bersangkutan syarat pada huruf b itu justru tidak terpenuhi, misalnya dengan mengajukan saksi ahli untuk membuktikannya. Dalam hal keadaan demikian terjadi maka hal itu sepenuhnya merupakan kompetensi hakim atau pengadilan di lingkungan peradilan umum untuk memutusnya. Dengan demikian, dalil Pemohon II yang menyatakan bahwa Pasal 11 huruf b telah menimbulkan ketidakpastian hukum, tidak sepenuhnya benar. Sebab, kepastian hukum tetap dijamin meskipun kepastian itu baru diperoleh setelah adanya putusan hakim yang akan memberikan penilaian apakah syarat “yang meresahkan masyarakat” itu terpenuhi atau tidak;
2. Bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon, Mahkamah perlu mengutip secara utuh ketentuan Pasal 11 ayat (1) UU 19/2019 yang berbunyi “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang:
a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; dan/atau
b. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah)”.
3. Bahwa penggunaan kata dan/atau dalam merumuskan norma suatu peraturan perundang-undangan lazim digunakan ketika hendak merumuskan peraturan yang bersifat kumulatif sekaligus alternatif, dan terhadap penggunaan kata “dan/atau” tersebut telah diatur dalam angka 264 Lampiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Bahwa berkenaan dengan uraian di atas, menurut Mahkamah adanya rumusan kata “dan/atau” sebagai kata penghubung pada Pasal 11 ayat (1) huruf a UU 19/2019 setelah akhir kalimat “melibatkan aparat penegak hukum, Penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau Penyelenggara Negara” harus ditafsirkan bahwa syarat pada huruf a dan huruf b boleh terpenuhi salah satu atau keduanya. Adanya persyaratan dalam huruf a dan huruf b tersebut memberikan kejelasan kepada KPK dalam melaksanakan kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana amanat Pasal 6 huruf e UU 19/2019. Dengan adanya rumusan kata “dan/atau” tersebut KPK dapat menerapkan secara “kumulatif” atau dapat pula secara “alternatif”. Namun, jika persyaratan yang ada dalam norma Pasal 11 ayat (1) huruf a UU 19/2019 diakhiri hanya dengan menggunakan kata “dan” sebagaimana dalil Pemohon maka KPK baru dapat menjalankan kewenangan Pasal 6 huruf e UU 19/2019 jika kedua unsur tersebut terpenuhi semua atau kumulatif (Pasal 11 ayat (1) huruf a dan huruf b), yakni perbuatan/tindak pidana tersebut harus ada unsur “melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara” dan harus pula ada unsur “menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah)”. Hal demikian justru akan menyebabkan berkurangnya kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Sebab, apabila ada pelaku tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum atau penyelenggara negara baru dapat dilakukan tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan jika nilai kerugian negara yang diakibatkan minimal Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah). Sehingga, apabila kurang dari nilai tersebut akan menjadi kewenangan lembaga lain.
Hal demikian berimplikasi pada peran KPK dalam agenda pemberantasan korupsi sehingga tidak dapat berjalan secara optimal. Adanya kata “dan/atau” justru akan mempermudah bagi KPK dalam menjerat pelaku tindak pidana korupsi karena ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf a dapat diterapkan secara bersama-sama maupun berdiri sendiri (kumulatif-alternatif) dengan huruf b, sehingga parameternya jelas karena perumusan norma pidananya memenuhi prinsip lex scripta, lex certa, lex stricta.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil Pemohon yang menyatakan sepanjang kata “dan/atau” dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a UU 19/2019 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.18] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 29 huruf e UU 19/2019 menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak ada ketentuan peralihan padahal pada saat UU 19/2019 berlaku ada anggota KPK terpilih berdasarkan syarat dalam UU lama (UU 30/2002) sehingga dengan berlakunya Pasal 29 huruf e UU 19/2019 yang bersangkutan menjadi belum memenuhi syarat usia 50 (lima puluh) tahun dan akan berakibat dilakukannya seleksi ulang.
Berkenaan dengan dalil Pemohon a quo, menurut Mahkamah ketentuan Pasal 29 huruf e UU 19/2019 memang telah mengubah syarat usia minimum untuk menjadi Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang semula dalam UU 30/2002 menyatakan “berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan” berubah menjadi yaitu “berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun dan setinggi-tingginya 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”. Terkait dengan norma yang mengatur mengenai batasan usia, Mahkamah dalam beberapa putusan menyatakan pada pokoknya mengenai batasan usia minimum merupakan ranah pembentuk undang-undang.
Bahwa terkait dengan perubahan persyaratan usia minimum apakah akan mengakibatkan dilakukannya proses seleksi ulang sehingga negara harus menyediakan anggaran untuk itu lagi sebagaimana dalil Pemohon. Terhadap dalil Pemohon tersebut Mahkamah berpendapat persoalan yang didalilkan Pemohon sudah berkaitan dengan implementasi norma sehingga bukan menjadi ranah kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Termasuk dalam hal ini, apabila benar ada salah satu calon pimpinan KPK yang tidak memenuhi usia minimum yang dipersyaratkan dalam UU a quo hal tersebut sudah merupakan kasus konkrit, bukan berkaitan dengan inkonstitusionalitas norma.
Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut, Mahkamah berpendapat, dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 29 huruf e UU 19/2019 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, dalil Pemohon perihal inkonstitusionalitas prosedur pembentukan UU 19/2019 dan inkonstitusionalitas Pasal 11 ayat (1) huruf a dan Pasal 29 huruf e UU 19/2019 dalam pengujian materiil adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430