Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 94/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG GURU DAN DOSEN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 14-01-2021

Ahmad Amin, S.ST., untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 16 ayat (2), Pasal 18 ayat (2), Pasal 53 ayat (2), Pasal 55 ayat (2), dan Pasal 56 ayat (1) UU 14/2005

Pasal 4 ayat (1), Pasal 20A ayat (1), Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 14/2005 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.3.2] Bahwa Pemohon telah memperbaiki permohonannya sebagaimana telah diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 27 November 2020 dan diperiksa dalam sidang pemeriksaan perbaikan permohonan pada tanggal 8 Desember 2020 dan Pemohon dalam perbaikan permohonannya menguraikan dengan sistematika: Judul, Identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Kedudukan Hukum Pemohon, Posita, dan Petitum;

[3.3.3] Bahwa meskipun format perbaikan permohonan Pemohon sebagaimana dimaksud pada Paragraf [3.3.2] pada dasarnya telah sesuai dengan format permohonan pengujian undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d PMK 6/2005, namun setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama pada bagian kedudukan hukum, Pemohon tidak menguraikan secara spesifik adanya hubungan kausalitas bahwa dengan berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dianggap merugikan Pemohon sebagai warga negara Indonesia selaku pegawai negeri sipil (PNS) yang tidak memeroleh kenaikan gaji karena anggarannya digunakan untuk tunjangan profesi dan tunjangan khusus bagi guru dan dosen, serta tunjangan kehormatan bagi profesor. Dalam menjelaskan ihwal kerugian hak konstitusionalnya Pemohon antara lain mengemukakan:
“…ketentuan a quo Pemohon menganggap tidak adanya kedaulatan Presiden dalam menjalankan Pemerintahan, yaitu dalam melaksanakan kekuasaan keuangan negara dan managemen kepegawaian ASN. Ketentuan a quo memerintahkan kepada Pemerintah untuk memberikan tunjangan profesi dan khusus kepada Guru dan Dosen sebesar satu kali gaji pokok dan tunjangan kehormatan kepada Profesor sebesar dua kali gaji pokok. Ketentuan sejak 2005 ini telah mengintervensi hak Presiden sebagai pemegang kekuasaan Pemerintahan keuangan negara untuk merencanakan dan melaksanakan pengelolaan keuangan periodik tahunan.”
Penjelasan dimaksud sama sekali tidak menjelaskan kerugian hak konstitusional Pemohon dengan berlakunya norma yang dimohonkan pengujian tetapi sebaliknya justru mendalilkan adanya ketidakpastian hukum kewenangan antarlembaga tinggi negara yang menetapkan besaran anggaran dimaksud. Apabila dikaitkan dengan kewajiban menjelaskan kerugian hak konstitusional Pemohon sebagai salah satu syarat formal yang harus dikemukakan Pemohon, sesungguhnya dalam kapasitas apa Pemohon menjelaskan keberadaan norma yang dimohonkan pengujian telah mengintervensi hak Presiden dan sekaligus merugikan hak konstitusional Presiden dalam merencanakan dan melaksanakan pengelolaan keuangan negara.
Selain itu, merujuk norma yang diuji konstitusionalitasnya, yaitu norma dalam Pasal 16 ayat (2), Pasal 18 ayat (2), Pasal 53 ayat (2), Pasal 55 ayat (2), dan Pasal 56 ayat (1) UU 14/2005 yang dimohonkan, sebagaimana dimaktubkan dalam Petitum, yaitu: “dinyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitusional) sepanjang memenuhi syarat tidak ada kewajiban atau perintah kepada Presiden atas ketetapan besaran belanja keuangan negara sehingga frasa “setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok atau “setara 2 (dua) kali gaji pokok” pada pasal dan ayat tersebut adalah tidak berkekuatan hukum mengikat” adalah kehendak yang saling bertentangan. Pada satu sisi, Pemohon menghendaki norma-norma a quo adalah konstitusional bersyarat, dan sisi lain memohon agar norma-norma a quo adalah bertentangan dengan UUD 1945. Tidak hanya pertentangan itu, jikalau Pemohon menghendaki frasa “setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok” dan “setara 2 (dua) kali gaji pokok” diberikan pemaknaan baru, mestinya dikemukakan perumusan makna baru yang dikehendaki Pemohon sehingga norma tersebut menjadi konstitusional sesuai dengan penalaran Pemohon. Namun dalam Posita Pemohon sama sekali tidak mengemukakan rumusan baru terhadap frasa “setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok atau “setara 2 (dua) kali gaji pokok” tetapi justru menghendaki Presiden tidak berkewajiban untuk memenuhi kewajiban sebagaimana dimaktubkan dalam Pasal 16 ayat (2), Pasal 18 ayat (2), Pasal 53 ayat (2), Pasal 55 ayat (2), dan Pasal 56 ayat (1) UU 14/2005;
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon adalah tidak jelas (kabur) karena tidak memenuhi syarat formal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 5 ayat (1) PMK 6/2005.

[3.4] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun karena permohonan Pemohon tidak jelas (kabur) sehingga tidak memenuhi persyaratan formal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 5 ayat (1) PMK 6/2005. Oleh karena itu, Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan Pemohon lebih lanjut.