Hj. Rosmanindar, yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Mohammad Yusuf Hasibuan, S.H., Irfandi S.H., dan Afandi Arief Harahap S.H., yang tergabung dalam Kantor Advokat Mohammad Yusuf Hasibuan & Rekan, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.
Pasal 6 UU 4/1996
Pasal 28 ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 6 UU 4/1996 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.7] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 6 UU 4/1996 Pemohon mengemukakan argumentasi sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara. Pada pokoknya Pemohon mendalilkan telah mengalami kerugian hak konstitusional karena Pasal 6 UU 4/1996 mengatur bahwa kreditor berhak menjual objek hak tanggungan untuk melunasi piutang dalam hal debitor cidera janji, sementara di sisi lain Pasal 6 UU 4/1996 tidak mengatur peralihan harta (termasuk utang) dari debitor kepada ahli warisnya, sehingga Pemohon sebagai ahli waris merasa kehilangan harta warisan dari debitor;
Berdasarkan argumentasi tersebut Pemohon dalam petitum permohonannya memohonkan agar Mahkamah menyatakan Pasal 6 UU 4/1996 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
[3.8] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan permohonan Pemohon berkaitan dengan ketentuan Pasal 60 UU MK mengingat pengujian terhadap pasal a quo pernah dilakukan di Mahkamah dalam Perkara Nomor 70/PUU-VIII/2010.
Pasal 60 UU MK menyatakan:
“(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda”.
Adapun Pasal 42 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 6/2005) mengatur:
“(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Terlepas dari ketentuan ayat (1) diatas, permohonan pengujian UU terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang sama dengan perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda.”
Bahwa perkara yang sedang diadili Mahkamah ini adalah mengenai pengujian Pasal 6 UU 4/1996. Pasal dimaksud pernah diuji sebelumnya dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-VIII/2010, bertanggal 21 Desember 2011, diajukan oleh Advokat bernama Uung Gunawan yang memohonkan pengujian konstitusionalitas Pasal 6 juncto Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 mengenai parate executie terhadap Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang diputus oleh Mahkamah dengan amar “Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya”.
Adapun Perkara yang sedang diadili Mahkamah ini, meskipun juga menguji konstitusionalitas Pasal 6 UU 4/1996, namun tidak langsung mengenai parate executie melainkan mengenai perpindahan hak dari debitor kepada ahli warisnya dan dasar pengujian yang dipergunakan Pemohon bukan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 melainkan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Berdasarkan hal tersebut, yaitu adanya perbedaan dasar pengujian serta alasan yang berbeda, maka permohonan Pemohon dalam perkara a quo telah memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 42 ayat (2) PMK 6/2005, dan dengan demikian permohonan a quo dapat diajukan kembali dan selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon berkenaan dengan norma a quo;
[3.9] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-11;
[3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, dengan berlandaskan pada Pasal 54 UU MK, oleh karena permohonan a quo telah jelas, maka Mahkamah berpendapat tidak terdapat urgensi untuk meminta keterangan pihak-pihak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 54 UU MK;
[3.11] Menimbang bahwa setelah mencermati permohonan tertulis yang diajukan Pemohon serta mendengarkan penjelasan lisan dalam persidangan, Mahkamah berpendapat bahwa permasalahan yang dihadapi Pemohon adalah adanya anggapan Pemohon bahwa ketentuan Pasal 6 UU 4/1996 telah mengakibatkan hilang atau terhalangnya pemenuhan hak ahli waris dari seorang debitor yang telah meninggal;
[3.12] Menimbang bahwa ketentuan Pasal 6 UU 4/1996 pada intinya mengatur mengenai penjualan objek hak tanggungan oleh kreditor ketika debitor tidak melunasi pinjamannya. Secara umum menurut Mahkamah ketentuan tersebut, serta ketentuan mengenai hak tanggungan pada umumnya, merupakan pelengkap (accessoir) dari perjanjian perikatan atau perjanjian keperdataan biasa terutama perjanjian utang-piutang atau kredit. Dengan demikian ketentuan Pasal 6 a quo harus dipahami sebagai bagian dari perikatan perdata yang menjadi induknya.
Bahwa perikatan perdata itu sendiri adalah suatu perikatan/kontrak yang pada prinsipnya mengikat hanya bagi pihak-pihak yang bersepakat akan perikatan dimaksud baik secara lisan maupun tertulis (dalam bentuk menandatangani dokumen perjanjian). Di sisi lain dapat dipahami bahwa perikatan perdata tidak mengikat bagi pihak yang tidak terlibat atau tidak mengetahui adanya perikatan perdata dimaksud. Pertanggungjawaban atas suatu perikatan/perjanjian tidak dapat dibebankan kepada pihak yang tidak mengetahui adanya perjanjian dimaksud, kecuali pihak tersebut secara sukarela melibatkan diri dalam pemenuhan isi perikatan/perjanjian dimaksud.
Bahwa isi perikatan/perjanjian selalu berupa kewajiban yang berpasangan dengan hak, yaitu kewajiban salah satu pihak merupakan hak bagi pihak yang lain, dan demikian pula sebaliknya. Perikatan/perjanjian adalah perimbangan antara prestasi yang kemudian mengharuskan adanya tindakan kontra-prestasi dari pihak yang memperoleh prestasi.
[3.13] Menimbang bahwa dalam kaitannya antara perjanjian kredit dengan dengan pewarisan, terdapat pertanyaan yang harus dijawab lebih dahulu oleh Mahkamah apakah utang dapat atau boleh diwariskan.
Bahwa selama ini dikenal beberapa skema hukum mengenai pengalihan suatu perikatan utang-piutang kepada pihak lain. Tiga yang lazim di antara beberapa skema pengalihan tersebut adalah cessie, subrogasi, dan novasi. Ketiga skema pengalihan ini pada dasarnya adalah pengalihan hak kreditor (in casu adalah piutang yang memunculkan hak tagih).
[3.13.1] Bahwa secara sederhana cessie dipahami sebagai suatu perikatan/perjanjian pengalihan piutang dari kreditor lama kepada kreditor baru. Subrogasi adalah pengalihan piutang dari kreditor lama kepada kreditor baru, yang dilakukan dengan cara pihak ketiga melunasi utang debitor kepada kreditor lama sehingga menghapus perikatan/perjanjian utang-piutang yang lama, kemudian dibuat perjanjian utang-piutang baru antara debitor lama dengan pihak ketiga yang dalam hal ini menjadi kreditor baru. Adapun novasi adalah hapusnya perikatan utang-piutang karena kesepakatan antara debitor dan kreditor, kemudian kedua pihak menyusun perikatan baru sebagai pengganti perikatan utang-piutang yang telah hapus.
Bahwa dari sisi kreditor, ketiga bentuk pengalihan tersebut dapat dikatakan merupakan suatu pengalihan kewajiban debitor atau pengalihan utang. Substansi skema cessie maupun subrogasi, dari perspektif kreditor lama, dapat juga dipahami sebagai beralihnya utang dari debitor lama kepada debitor baru, di mana selanjutnya debitor baru ini bertindak sebagai kreditor baru terhadap debitor lama.
[3.13.2] Bahwa sifat pengalihan utang adalah pilihan, di mana pihak yang akan mengambil alih utang debitor berada dalam posisi bebas untuk memilih/menentukan apakah dia akan mengambil alih utang debitor atau tidak. Kebebasan memilih yang demikian dilandasi oleh pemahaman atau pengetahuan yang cukup mengenai risiko pengambilalihan utang (borgtocht) yang pada akhirnya akan menempatkan pihak pengambil alih ini sebagai debitor baru terhadap kreditor.
Bahwa menurut Mahkamah, kebebasan memilih menjadi hal penting dalam memahami skema peralihan utang-piutang. Pentingnya kebebasan memilih dilandasi pada situasi bahwa piutang memberikan pada pemegangnya suatu hak untuk menagih, hak untuk mendapat prestasi, atau hak untuk memperoleh kenikmatan tertentu. Sementara itu utang adalah sesuatu hal yang berlawanan, yaitu suatu kewajiban untuk melakukan sesuatu, kewajiban untuk memberikan prestasi tertentu, bahkan dapat dikatakan utang adalah suatu nestapa bagi pihak yang mengembannya.
Bahwa kebebasan memilih yang dilandasi kesadaran atau pengetahuan demikian tidak selalu terjadi dalam skema pewarisan. Hal inilah yang menurut Mahkamah secara prinsip membedakan antara konsep peralihan hak atau kewajiban dalam perikatan utang-piutang dengan konsep peralihan hak atau kewajiban dalam suatu hubungan waris-mewaris.
[3.14] Menimbang bahwa mengenai pewarisan utang (pewarisan yang objek warisnya berupa utang atau kewajiban tertentu) hukum perdata positif Indonesia mengatur sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa dari perspektif Hukum Islam, suatu objek hukum berupa kewajiban (in casu utang) secara umum bukan merupakan objek waris. Dengan kata lain objek waris haruslah berupa suatu hak/kenikmatan tertentu. Objek waris tidak boleh berupa kewajiban yang memberatkan ahli waris. Hal demikian bertolak dari prinsip dasar bahwa manusia hanya menanggung akibat dari suatu peristiwa yang dia lakukan sendiri, dan tidak wajib menanggung akibat dari suatu peristiwa yang tidak dia lakukan maupun turut terlibat di dalamnya. Dalam hal seseorang meninggal dunia, ahli waris mempunyai kewajiban menyelesaikan utang pewaris yang meninggal dunia tersebut, namun penyelesaian atau pembayaran ini menggunakan harta peninggalan pewaris dan hanya sebatas nilai harta pewaris yang ditinggalkan. Ketentuan fiqh demikian kemudian dituangkan dalam Pasal 175 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan “(1) Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah: … b. menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban pewaris maupun penagih piutang; … (2) Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya”.
[3.14.2] Bahwa dari perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yang berlaku untuk warga negara Indonesia selain yang menundukkan diri pada Hukum Islam, berlaku prinsip bahwa objek waris adalah kesatuan aktiva dan pasiva, hak dan kewajiban, atau piutang maupun utang. KUH Perdata membedakan akibat hukum bagi ahli waris yang menerima warisan secara murni dan di sisi lain ahli waris yang menerima warisan secara beneficier. Ketentuan dalam KUH Perdata, antara lain Pasal 1318, Pasal 123, dan Pasal 1100, pada pokoknya mengatur bahwa suatu perjanjian berlaku mengikat pula bagi ahli waris, dan karenanya ketika orang yang berutang (debitor) meninggal dunia maka utangnya akan menjadi tanggung jawab ahli warisnya. Adapun KUH Perdata dalam konteks pewarisan memberikan pilihan kepada ahli waris untuk menerima atau tidak menerima pewarisan. Pilihan demikian diatur antara lain dalam Pasal 1045, Pasal 1057, Pasal 1062, dan Pasal 1023, yang pada pokoknya mengatur bahwa seseorang tidak wajib menerima warisan yang diberikan kepadanya. Seseorang dimaksud boleh memperhitungkan konsekuensi peralihan harta waris bagi dirinya dan kemudian secara bebas memutuskan untuk menerima atau menolak. Bahkan Pasal 1032 KUH Perdata mengatur bahwa dalam hal ahli waris menerima waris secara beneficier (yaitu hak istimewa untuk melakukan pencatatan), ahli waris tersebut hanya menanggung/membayar utang-utang pewaris sebatas dapat dicukupi oleh harta warisan.
[3.15] Menimbang bahwa dari dua perspektif hukum waris demikian, yaitu perspektif Hukum Islam dan perspektif KUH Perdata, Mahkamah berpendapat suatu perikatan atau perjanjian kontraktual pada dasarnya tidak mengikat pihak ketiga yang tidak melibatkan diri dalam suatu perjanjian kontraktual, atau setidaknya pihak ketiga tersebut mempunyai hak untuk menolak terlibat dalam suatu perjanjian kontraktual yang dibuat tanpa pengetahuan/persetujuan darinya.
Bahwa dalam kaitannya dengan pewarisan, Mahkamah berpendapat suatu perikatan utang-piutang antara debitor dengan kreditor tidak mutlak mengikat ahli waris debitor. Secara a contrario dapat dikatakan keberadaan ahli waris (setelah debitor meninggal) tidak menjadikan ahli waris tersebut secara otomatis dan mutlak sebagai debitor baru yang menggantikan kedudukan debitor yang telah meninggal. Hal demikian bergantung pada pilihan hukum perdata masing-masing Warga Negara Indonesia, apakah menundukkan diri pada Hukum Islam atau menundukkan diri pada KUH Perdata, yang mana dalam perkara a quo kedua ketentuan waris dimaksud bukan merupakan objek pengujian konstitusionalitas yang dimohonkan oleh Pemohon.
Bahwa berdasarkan prinsip seseorang tidak akan dibebani tanggung jawab atas suatu peristiwa yang dia tidak melakukan, terlibat di dalamnya, dan menyetujui, maka peralihan mutlak status kepemilikan sesuatu dari pewaris kepada ahli waris hanya terjadi dalam hal kepemilikan tersebut menimbulkan prestasi bagi ahli waris. Peralihan mutlak status kepemilikan dari pewaris kepada ahli waris yang menimbulkan kewajiban, in casu peralihan utang, menurut Mahkamah berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum karena memunculkan kewajiban/beban yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya oleh ahli waris.
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum demikian, Mahkamah berpendapat seharusnya ada ketentuan yang komprehensif mengatur pelaksanaan eksekusi hak tanggungan ketika debitor dalam suatu perjanjian utang-piutang yang dilekati hak tanggungan telah meninggal dunia sebelum dapat menyelesaikan kewajibannya, di mana debitor tersebut mempunyai ahli waris. Ketentuan demikian secara adil harus mempertimbangkan pula kultur berhukum Indonesia, di mana dalam lapangan hukum perdata terdapat keragaman pengaturan mengenai waris.
Bahwa hal demikian menurut Mahkamah tidak lain demi memberikan penghormatan atau memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang dengan itikad baik menundukkan dirinya dalam suatu perikatan, yaitu kreditor maupun debitor (yang kemudian menjadi pewaris);
[3.17] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan setelah debitor (H. Mardi Can) meninggal dunia telah terjadi pencairan asuransi untuk pelunasan kredit debitor dimaksud, namun kreditor tetap melakukan penjualan objek hak tanggungan berdasarkan Pasal 6 UU 4/1996 melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Bandung. Akan tetapi terhadap dalil tersebut Pemohon tidak menjelaskan maupun membuktikan lebih lanjut mengenai terjadinya pencairan asuransi demikian;
Bahwa terhadap peristiwa yang dialami Pemohon, Mahkamah menilai hal demikian bersifat kasuistis yang tidak berkaitan dengan konstitusionalitas norma. Dengan kata lain Mahkamah berpandangan permasalahan demikian merupakan permasalahan implementasi/penerapan norma undang-undang, yang penyelesaiannya bukan merupakan kewenangan Mahkamah;
[3.18] Menimbang bahwa Pemohon juga mendalilkan Pasal 6 UU 4/1996 bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak memberikan landasan hukum agar terjadi penggantian debitor oleh ahli warisnya dan/atau peralihan objek hak tanggungan dari debitor yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Pemohon berpendapat bahwa hak untuk menggantikan debitor, terutama bagi ahli waris debitor bersangkutan, telah terhalangi oleh keberadaan Pasal 6 UU 4/1996.
Bahwa terhadap dalil demikian, Mahkamah berpendapat apabila Pemohon menginginkan adanya pengaturan mengenai hak-hak ahli waris atas harta pewaris yang dijadikan objek hak tanggungan sebagai jaminan utang kepada kreditor, tidaklah serta-merta ketentuan demikian dapat tercipta dengan menyatakan Pasal 6 UU 4/1996 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Ketiadaan ketentuan dalam UU 4/1996 yang mengatur mengenai peralihan objek waris dalam kaitannya dengan hak tanggungan seolah-olah merupakan kekosongan hukum, namun sebenarnya tersedia pengaturannya dalam lapangan Hukum Perdata Islam maupun dalam KUH Perdata. Seandainya Pemohon menilai ketentuan dimaksud tidak mencukupi kebutuhan hukum Pemohon, secara hukum dimungkinkan adanya pembentukan hukum baru oleh Pembentuk Undang-Undang. Atau, jika Pemohon menilai norma dalam Hukum Perdata Islam maupun KUH Perdata bertentangan dengan hak konstitusional Pemohon, maka Pemohon dapat mengajukan pengujian konstitusionalitas norma dimaksud.
[3.19] Menimbang bahwa menurut Mahkamah Pasal 6 UU 4/1996 berlaku umum kepada semua debitor yang cedera janji, baik debitor yang masih hidup maupun debitor yang meninggal dunia dengan atau tanpa ahli waris. Ketentuan a quo mengatur mengenai eksekusi hak tanggungan, yang ketentuan ini dimaksudkan sebagai perlindungan hukum dan pemberian kepastian hukum bagi kreditor akan terlunasinya piutang kreditor. Ketentuan a quo sama sekali tidak mengatur, atau melarang, mengenai peralihan utang dari debitor kepada pihak lain, atau kepada ahli waris dalam hal debitor meninggal dunia.
Bahwa berdasarkan pertimbangan demikian Mahkamah menilai dalil Pemohon yang menghubungkan ketentuan eksekusi hak tanggungan dengan terhalangnya Pemohon untuk mewarisi utang (dan segala kewajiban hukum) debitor adalah tidak berdasar. Dalam pandangan Mahkamah, apabila ketentuan Pasal 6 UU 4/1996 dihilangkan justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang lain;
[3.20] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430