Dewan Pengurus Pusat Organisasi Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (DPP ASPATAKI) yang memberikan kuasa kepada Wilman Malau, SH., MH., dkk., para Advokat dan Konsultan Hukum pada Law Office Wilman Malau & Partners (selanjutnya disebut Pemohon).
Pasal 54 ayat (1) huruf (a) dan huruf (b), dan Pasal 82 huruf (a) serta Pasal 85 huruf (a) UU 18/2017
Pasal 33 ayat (4), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap Pasal 54 ayat (1) huruf (a) dan huruf (b), dan Pasal 82 huruf (a) serta Pasal 85 huruf (a) UU 18/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Dalam Provisi
[3.7] Menimbang bahwa selain mengajukan permohonan sebagaimana dalam pokok permohonan, Pemohon juga mengajukan permohonan provisi agar Mahkamah menyatakan norma Pasal 54 ayat (1) huruf a dan huruf b dan Pasal 82 huruf a serta Pasal 85 huruf a UU 18/2017 ditunda berlakunya sampai dengan perkara ini telah diputuskan Mahkamah. Terhadap permohonan provisi Pemohon tersebut Mahkamah berpendapat bahwa tidak terdapat alasan yang cukup untuk melakukan penundaan keberlakuan norma a quo. Terlebih terhadap pokok permohonan dalam perkara a quo belum dipertimbangkan. Oleh karenanya berdasarkan ketentuan Pasal 58 UU MK, yang pada pokoknya menyatakan bahwa undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku sebelum adanya putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945, sehingga Mahkamah berpendapat tidak dapat dibenarkan secara hukum untuk menunda keberlakuan norma dari suatu undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam perkara a quo.
Bahwa berdasarkan alasan pertimbangan hukum tersebut di atas, permohonan provisi Pemohon tidak beralasan menurut hukum dan harus dinyatakan ditolak.
Dalam Pokok Permohonan
[3.14] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut permasalahan konstitusionalitas yang dipersoalkan Pemohon, penting bagi Mahkamah mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
Bahwa isu konstitusionalitas Pekerja Migran Indonesia yang sebelumnya dikenal dengan nama Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri menjadi salah satu isu yang sering diajukan permohonan pengujian undang-undangnya ke Mahkamah sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU 39/2004). Menurut catatan Mahkamah setidaknya ada sembilan perkara yang terkait dengan pengujian UU 39/2004 yang telah diputus oleh Mahkamah yang berkaitan dengan isu Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Berkaitan dengan tingginya animo masyarakat dalam menguji pengaturan Tenaga Kerja Indonesia di Luar negeri mendorong negara untuk hadir dalam upaya memberikan jaminan perlindungan pekerja migran sehingga harkat dan martabat mereka dalam melaksanakan haknya untuk bekerja sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 dan instrumen hukum internasional, dapat dijaga sebagaimana halnya juga menjaga harkat dan martabat Bangsa Indonesia.
Bahwa hadirnya negara dalam memberikan jaminan perlindungan tersebut di atas sejalan dengan salah satu kewajiban negara yakni memberikan perlindungan terhadap warga negara dan kepentingannya. Kewajiban demikian secara tegas dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945 yang antara lain, berbunyi, “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia....” Kewajiban negara untuk melindungi warga negara dan kepentingannya itu kini telah diterima dan telah berlaku sebagai prinsip universal sebagaimana tercermin dalam berbagai ketentuan hukum internasional, baik yang berupa hukum kebiasaan maupun hukum internasional tertulis, misalnya ketentuan Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik (Vienna Convention on Diplomatic Relation), yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Wina Mengenai Hubungan Diplomatik Beserta Protokol Opsionalnya Mengenai Hal Memperoleh Kewarganegaraan Dan Pengesahan Konvensi Wina Mengenai Hubungan Konsuler Beserta Protokol Opsionalnya Mengenai Hal Memperoleh Kewarganegaraan. Pasal 3 ayat (1) huruf b Konvensi dimaksud dengan tegas menyatakan bahwa salah satu tugas perwakilan diplomatik adalah “melindungi kepentingan negara pengirim dan kepentingan warga negaranya di negara penerima dalam batas-batas yang diperbolehkan hukum internasional” (protecting in the receiving State the interests of the sending State and of its nationals, within the limits permitted by international law). Ihwal kewajiban negara dalam memberikan perlidungan kepada warga negaranya yang berada di luar negeri juga diatur dalam ketentuan mengenai hubungan luar negeri (vide Bab V Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri).
Bahwa dalam upaya negara Indonesia untuk melindungi tenaga kerja Indonesia di luar negeri juga telah dipertegas dengan keikusertaan Pemerintah Indonesia pada tanggal 22 September 2004 di New York dengan menandatangani International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak- Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya) tanpa reservasi. Penandatanganan tersebut menunjukkan kesungguhan Negara Indonesia untuk melindungi, menghormati, memajukan dan memenuhi hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya, yang pada akhirnya diharapkan dapat memenuhi kesejahteraan para pekerja migran dan anggota keluarganya. Hal ini sejalan pula dengan tujuan Konvensi yakni untuk menetapkan standar-standar yang menciptakan suatu model bagi hukum serta prosedur administrasi dan peradilan masing-masing negara pihak. Terobosan utama Konvensi ini adalah bahwa orang-orang yang memenuhi kualifikasi sebagai pekerja migran dan anggota keluarganya, sesuai ketentuan-ketentuan Konvensi, berhak untuk menikmati hak asasi manusia, apapun status hukumnya. Adapun substansi pokok yang termaktub dalam Konvensi berkenaan dengan hak-hak setiap pekerja migran dan anggota keluarganya yang memiliki hak atas kebebasan untuk meninggalkan, masuk dan menetap di negara manapun, hak hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan, hak untuk bebas dari perbudakan, hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama, hak atas kebebasan berekspresi, hak atas privasi, hak untuk bebas dari penangkapan yang sewenang-wenang, hak diperlakukan sama di muka hukum, hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hak terkait kontrak/hubungan kerja, hak untuk berserikat dan berkumpul, hak mendapatkan perawatan kesehatan, hak atas akses pendidikan bagi anak pekerja migran, hak untuk dihormati identitas budayanya, hak atas kebebasan bergerak, hak membentuk perkumpulan, hak berpartisipasi dalam urusan pemerintahan di negara asalnya, dan hak untuk transfer pendapatan. Termasuk hak-hak tambahan bagi para pekerja migran yang tercakup dalam kategori-kategori pekerjaan tertentu (pekerja lintas batas, pekerja musiman, pekerja keliling, pekerja proyek, dan pekerja mandiri). Oleh karenanya, sebagai tindak lanjut dari penandatanganan Konvensi tersebut Pemerintah Indonesia telah membentuk berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan terhadap tenaga kerja dengan maksud untuk semakin meningkatkan upaya perlindungan pekerja migran Indonesia (vide Penjelasan Umum Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pengesahan International Convention on The Protection of The Rights of All Migrant Workers And Members of Their Families (Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran Dan Anggota Keluarganya).
Bahwa pembentukan UU 18/2017 yang menggantikan UU 39/2004 merupakan bagian dari upaya mewujudkan tujuan negara dan juga mengimplementasikan tujuan Konvensi. Oleh karena itu, terhadap pengaturan penempatan dan pelindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dalam UU 39/2004 dipandang belum memadai sehingga perlu diganti untuk disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Negara memandang wajib membenahi keseluruhan sistem perlindungan bagi pekerja migran Indonesia dan keluarganya yang mencerminkan nilai kemanusiaan dan harga diri sebagai bangsa mulai dari sebelum bekerja, selama bekerja, dan setelah bekerja, sehingga penempatan dan pelindungan pekerja migran Indonesia perlu dilakukan secara terpadu antara instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah dengan mengikutsertakan masyarakat (vide Konsideran “Menimbang” huruf e dan huruf f UU 18/2017). Dengan demikian akan dapat diwujudkan tujuan perlindungan baik terhadap calon maupun Pekerja Migran Indonesia yaitu terjaminnya pemenuhan dan penegakan hak asasi manusia sebagai warga negara dan Pekerja Migran Indonesia serta terjaminnya pelindungan hukum, ekonomi, dan sosial Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya. Perlindungan tersebut mencakup perlindungan sebelum bekerja, selama bekerja, dan setelah bekerja, yang dalam pelaksanaannya perlu diawasi dan dilakukan penegakkan hukum manakala terjadi pelanggaran atas jaminan perlindungan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
[3.15] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil yang dikemukakan oleh Pemohon mengenai konstitusionalitas pasal-pasal UU 18/2017 yang dimohonkan untuk diuji terhadap UUD 1945.
[3.16] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan ketentuan dalam Pasal 54 ayat (1) huruf a dan huruf b UU 18/2017 mengenai kewajiban memiliki modal disetor yang tercantum dalam akta pendirian perusahaan paling sedikit Rp5.000.000.000.- (lima miliar rupiah) dan menyetor uang kepada bank pemerintah dalam bentuk deposito paling sedikit Rp1.500.000.000.- (satu miliar lima ratus juta rupiah) bertentangan dengan Pasal 33 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
a. Bahwa jumlah modal disetor dan jumlah deposito sebagaimana diatur dalam pasal a quo, di satu sisi dapat dipahami sebagai beban bagi P3MI untuk mendapatkan SIP3MI, padahal apabila dicermati secara saksama filosofi dan semangat dari UU 18/2017 adalah untuk lebih memberikan jaminan perlindungan kepada Pekerja Migran Indonesia. Menurut Mahkamah, regulasi yang dibuat oleh pembentuk undang-undang dengan menaikkan modal yang disetor dan deposito setoran ke bank pemerintah merupakan bagian dari upaya memberikan jaminan kualifikasi dan krediblitas P3MI sebagai pelaksana penempatan Pekerja Migran Indonesia. Dengan melihat fakta hukum terjadinya berbagai kasus yang dialami oleh para PMI yang selalu diawali dengan adanya kelalaian P3MI dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya baik pada saat dimulainya proses rekrutmen PMI hingga sampai pekerja migran selesai bekerja, maka kenaikan modal yang disetor dan setoran deposito sebagaimana diatur dalam pasal a quo adalah sebagai sebuah keniscayaan yang memang harus dilakukan seiring berubahnya nilai mata uang dan juga yang lebih utama adalah sebagai upaya untuk meningkatkan marwah PMI yang dalam hal ini juga diwakili oleh P3MI sebagai partner dari Pemerintah dalam pelaksanaan penempatan Pekerja Migran Indonesia. Menurut Mahkamah, P3MI yang mendapatkan SIP3MI haruslah P3MI yang bukan hanya profesional dan bonafide tetapi juga memiliki komitmen yang sungguh-sungguh untuk menjaga dan menjamin hak-hak asasi warga negara yang bekerja di luar negeri agar tetap terlindungi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945.
b. Bahwa syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 54 dimaksudkan agar P3MI sebagai pelaksana penempatan PMI dapat secara sungguh-sungguh membuat perencanaan secara profesional yang didasarkan kepada kemampuan perusahaan dan fakta-fakta yang diperkirakan secara cermat dan rasional yang berpengaruh terhadap realisasi dari rencana yang telah ditetapkan. Selain itu, menurut Mahkamah dengan adanya syarat tersebut dimaksudkan pula sebagai upaya untuk mencegah pendirian perusahaan penempatan Pekerja Migran Indonesia yang tidak bersungguh-sungguh. Terlebih lagi, apabila hal tersebut dikaitkan dengan objek usaha penempatan PMI adalah manusia dengan segala harkat dan martabatnya, maka persyaratan demikian merupakan bentuk lain dari upaya perlindungan terhadap PMI. Lebih lanjut, menurut Mahkamah, syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 54 UU 18/2017 justru bukan saja dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, akan tetapi kepastian berusaha dan perlindungan hukum baik untuk P3MI, mitra P3MI, calon PMI dan/atau PMI, maupun pemerintah yang saling terkait dan sama-sama bertanggung jawab dalam rangka perlindungan PMI secara komprehensif.
c. Bahwa tidak terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara modal disetor dan setoran deposito dengan “asas kebersamaan” bagi P3MI dan PMI sebagaimana didalilkan oleh Pemohon dengan menyatakan bahwa Pasal 54 ayat (1) huruf a dan huruf b bertentangan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 oleh karena ketentuan pasal a quo mengatur mengenai syarat yang harus dipenuhi oleh setiap P3MI yang ingin mengirimkan PMI ke luar negeri. Menurut Mahkamah, penegasan tentang asas kebersamaan dalam Pasal 33 ayat (4) juga harus selalu disandingkan dengan “efisiensi berkeadilan” oleh karena asas kebersamaan dan efisiensi berkeadilan dalam Pasal 33 ayat (4) jelas menunjukkan keberpihakan pada keselarasan menuju kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan bukan kesejahteraan orang-seorang saja.
d. Bahwa terkait dengan nomenklatur “Bank Pemerintah” yang diatur dalam pasal a quo yang juga dipermasalahkan oleh Pemohon, menurut Mahkamah ketentuan a quo tidak terkait dengan permasalahan konstitusionalitas norma, terlebih lagi Pemohon tidak menjelaskan secara spesifik apa sesungguhnya kerugian yang dialami akibat adanya penggunaan istilah bank pemerintah tersebut. Faktanya nomenklatur “Bank Pemerintah” juga telah ada dalam UU 39/2004, di mana Pemohon telah pula menyetorkan uang dalam bentuk deposito kepada Bank Pemerintah dimaksud.
e. Bahwa ketentuan pasal yang dimohonkan pengujiannya merupakan aturan yang bersifat umum yang berlaku bagi semua P3MI dan syarat tersebut bersifat fleksibel sebagaimana ditentukan dalam Pasal 54 ayat (3) UU 18/2017 yang menyatakan “Sesuai dengan perkembangan keadaan, besarnya modal disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan jaminan dalam bentuk deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat ditinjau kembali dan diubah dengan Peraturan Menteri”. Selain itu, ketentuan pasal a quo juga telah sejalan dengan ketentuan Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan, “Undang-Undang yang mengatur kegiatan usaha tertentu dapat menentukan jumlah minimum modal perseroan yang lebih besar daripada ketentuan modal dasar sebagaimana dimaksud ayat (1)”. Terlebih lagi, ketentuan besaran modal disetor dan setoran deposito bagi P3MI merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang, menurut Mahkamah pilihan kebijakan untuk menaikan modal disetor dan setoran deposito dengan jumlah tertentu tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang- Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata- nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah.
f. Bahwa sebagaimana petitum Pemohon agar syarat dalam Pasal 54 ayat (1) huruf a dan huruf b dikenakan hanya kepada perusahaan yang baru berdiri, menurut Mahkamah hal tersebut bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma.
Dengan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil Pemohon berkenaan inkonstitusionalitas norma Pasal 54 ayat (1) huruf a dan huruf b UU 18/2017 tidak beralasan menurut hukum.
[3.17] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 82 huruf a dan Pasal 85 huruf a UU 18/2017 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
a. Bahwa frasa “setiap orang” dalam ketentuan pidana berarti berlaku kepada siapa saja yang melanggar ketentuan pidana tersebut, baik perorangan termasuk kelompok orang maupun badan hukum. Oleh karenanya, menurut Mahkamah, ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 82 huruf a dan Pasal 85 huruf a UU 18/2017, berlaku bagi siapa saja yang melanggar ketentuan pasal a quo. Selain itu, penulisan frasa "setiap orang" juga dimaksudkan untuk menindak orang-orang yang terlibat dalam kegiatan penempatan PMI yang melanggar ketentuan pidana. Menurut Mahkamah perumusan frasa "setiap orang" sudah tepat karena berdasarkan doktrin vicarious liability apabila badan hukum melakukan tindak pidana, maka bukan badan hukum yang dikenakan tindak pidana melainkan orang yang menjalankan badan hukum tersebut. Tambah lagi, pasal a quo yang mengatur tentang larangan dan juga sanksi pidana yang diberlakukan bukan hanya untuk orang tetapi juga badan hukum yang juga merupakan subjek hukum yang ikut bertanggung jawab dalam penempatan PMI yang dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum atas perbuatan hukum yang dapat menimbulkan kerugian. Hal tersebut semakin menegaskan adanya pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
b. Bahwa hal lain yang juga menjadi penting dan harus diperhatikan oleh Pemohon adalah meskipun argumentasi yang didalilkan oleh Pemohon yang terkait dengan pasal a quo berkaitan erat dengan masalah praktik penerapan hukum di lapangan, sehingga hal tersebut tidak terkait langsung dengan masalah konstitusionalitas, menurut Mahkamah pandangan Pemohon yang menyatakan bahwa dengan berlakunya pasal terkait sanksi pidana yang diatur dalam bab ketentuan pidana yang terkesan tidak adil dan seolah-olah hanya P3MI saja yang akan terkena sanksi pidana adalah pandangan yang keliru. Menurut Mahkamah dengan berubahnya regulasi pengurusan perizinan yang lebih menitikberatkan pada perlindungan PMI dengan sistem yang terpadu dan satu atap maka pengaturan sanksi pidana yang diatur dalam pasal a quo bukan hanya dititikberatkan kepada P3MI sebagai pelaksana penempatan PMI di luar negeri tetap juga seluruh stakeholder yang terkait dengan penempatan PMI di luar negeri baik orang perseorangan maupun korporasi. Menurut Mahkamah seluruh stakeholder yang terkait dengan penempatan PMI mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, P3MI, mitra usaha, pemberi kerja, pejabat terkait, harus memiliki persepsi atau pandangan yang sama dalam hal memberikan perlindungan yang menyeluruh bagi PMI sehingga seluruh PMI harus dilindungi dari perdagangan manusia, perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta segala perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia. Untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan pengawasan dan penegakan hukum yang tegas dan konsisten. Dalam konteks ini, pengawasan mencakup perlindungan baik sebelum bekerja, selama bekerja, maupun setelah bekerja. Sementara itu, penegakan hukum meliputi sanksi administratif dan sanksi pidana. Dengan demikian menurut Mahkamah hal tersebut telah sejalan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
c. Bahwa tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap PMI juga terlihat dalam perubahan regulasi tentang persyaratan bagi calon PMI yang akan ditempatkan di luar negeri. Dalam UU 18/2017 persyaratan tersebut diatur lebih detail, berlapis dan bersifat kumulatif. Setidaknya ada dua persyaratan dokumen yang sangat penting yang wajib dipenuhi oleh calon PMI yang akan ditempatkan di luar negeri yakni dokumen Perjanjian Penempatan Pekerja Migran Indonesia dan dokumen Perjanjian Kerja [vide Pasal 13 UU 18/2017]. Begitupun dengan syarat untuk mendapatkan SIP2MI bagi P3MI yang juga harus memiliki dokumen Perjanjian Kerja Sama penempatan, surat permintaan Pekerja Migran Indonesia dari Pemberi Kerja, rancangan Perjanjian Penempatan dan rancangan Perjanjian Kerja [vide Pasal 59 UU 18/2017]. Menurut Mahkamah, pengaturan dalam Pasal 82 huruf a dan Pasal 85 huruf a UU 18/2017 tidak dapat dilepaskan dari adanya upaya perlindungan terhadap PMI dalam sistem perlindungan (sebelum bekerja, selama bekerja, dan sesudah bekerja) di mana seluruh stakeholder saling berkaitan satu dengan lainnya yang bertujuan memberikan perlindungan secara maksimal kepada para calon PMI dan juga PMI. Hal tersebut menandakan bahwa sebenarnya tidak ada perlakuan berbeda dalam hal penegakan hukum apabila terjadi tindakan yang merendahkan harkat dan martabat PMI seperti apa yang didalilkan oleh Pemohon. Pengaturan ketentuan pidana dalam UU a quo telah secara nyata diberlakukan untuk setiap orang baik orang perseorangan dan/atau korporasi. Selain itu, menurut Mahkamah dengan adanya jaminan dari Pemerintah bahwa dalam pelaksanaan penempatan PMI, Pemerintah akan melakukan kerja sama luar negeri dan melakukan koordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hubungan luar negeri serta melakukan kerja sama antara Pemerintah dengan negara tujuan penempatan maka kekhawatiran bahwa mitra usaha atau agency yang menempatkan PMI di luar negeri tidak akan terkena sanksi pidana sehingga menyebabkan tidak adanya jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil bagi PMI menjadi terbantahkan.
d. Bahwa sebagaimana pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan- putusannya terdahulu terkait dengan ketentuan yang menyangkut kebijakan pemidanaan (criminal policy) Mahkamah berpendirian bahwa hal tersebut merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Sebab, berkenaan dengan pemidanaan yang esensinya berkaitan dengan pembatasan hak asasi manusia harus melibatkan atau merepresentasikan kehendak rakyat.
Dengan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil Pemohon berkenaan inkonstitusionalitas norma Pasal 82 huruf a dan Pasal 85 huruf a UU 18/2017 tidak beralasan menurut hukum.
[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430