Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 78/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 38 TAHUN 2009 TENTANG POS TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-11-2020

PT.POS INDONESIA (Persero) dan Harry Setya Putra, dalam hal ini memberikan kuasa kepada Tegar Yusuf A.N, S.H., M.H, Widat S.H, M.H., dan Farid Ramdani, S.H., M.H, Para Advokat yang tergabung pada Kantor Advokat Asa Putuhena Law Firm, untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.

Pasal 1 angka 2, Pasal 4, Pasal 15 ayat (2), Pasal 15 ayat (3), Pasal 15 ayat (4), Pasal 15 ayat (5), Pasal 51, Pasal 1 angka 8 dan Pasal 29 ayat (2) UU Pos

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1), UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 1 angka 2, Pasal 4, Pasal 15 ayat (2), Pasal 15 ayat (3), Pasal 15 ayat (4), Pasal 15 ayat (5), Pasal 51, Pasal 1 angka 8 dan Pasal 29 ayat (2) UU Pos dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.13] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal sebagaimana telah diuraikan dalam Paragraf [3.12.1] dan Paragraf [3.12.2] di atas, Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan permasalahan konstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujian dalam perkara a quo sebagai berikut:

[3.13.1] Bahwa hak privasi merupakan salah satu hak yang paling mendasar bagi setiap orang karena merupakan nilai kunci yang menyokong martabat manusia dan nilai-nilai penting lainnya dalam lingkup hak atas kebebasan pribadi, seperti kebebasan berserikat dan kebebasan berbicara. Oleh karenanya, hak ini dilindungi oleh berbagai instrumen hukum, baik instrumen hukum internasional maupun nasional. Terkait dengan perlindungan atas hak privasi dalam instrumen hukum internasional misalnya, Mahkamah perlu mengutip kembali pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 dalam pengujian UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, khususnya dalam Paragraf [3.15.3] yang menyatakan sebagai berikut:

“[3.15.3] Bahwa masyarakat internasional juga menjunjung tinggi nilai-nilai yang memberikan jaminan dan perlindungan kehormatan atas diri pribadi, dapat disimak dari Pasal 12 Universal Declaration of Human Rights (UDHR), Pasal 17 dan Pasal 19 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 12 UDHR:
“Tidak seorang pun boleh diganggu urusan pribadinya, keluarganya, rumah tangganya, atau hubungan surat-menyuratnya, dengan sewenang-wenang, juga tidak diperkenankan melakukan pelanggaran atas kehormatannya dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguanganguan atau pelanggaran seperti ini”.



Pasal 17 ICCPR:
1. “Tidak ada seorang pun yang boleh dicampuri secara sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampuri masalah pribadi, keluarga, rumah atau korespondensinya, atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya”.
2. “Setiap orang berhak atas perlindungan hukum terhadap campur tangan atau serangan tersebut”

Pasal 19 ICCPR:
1. “Setiap orang berhak untuk mempunyai pendapat tanpa diganggu”;
2. “Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberi informasi dan ide apapun, tanpa memperhatikan medianya, baik secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, dalam bentuk seni, atau melalui media lainnya sesuai dengan pilihannya”;
3. “Pelaksanaan hak yang diatur dalam ayat 2 Pasal ini menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh karena itu hak tersebut dapat dikenai pembatasan tertentu, namun pembatasan tersebut hanya diperbolehkan apabila diatur menurut hukum dan dibutuhkan untuk:
(a) menghormati hak atau nama baik orang lain;
(b) melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral masyarakat;”

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dapat dilihat betapa masyarakat internasional sadar betul akan pentingnya penghormatan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, termasuk di dalamnya hak atas diri pribadi, in casu hak atas privasi. Hal demikian merupakan bentuk reaksi logis atas pengalaman ketertindasan yang kemudian memberikan pembelajaran dan kepekaan bagi pembebasan umat manusia sehingga melahirkan gelombang demokratisasi yang berdampingan dengan kesadaran akan hak-hak asasi manusia. Namun demikian, hal yang perlu digarisbawahi kemudian adalah dalam ketentuan tersebut juga nampak kedewasaan masyarakat internasional yang melahirkan kesadaran dan tanggung jawab akan perlunya pembatasan terhadap pelaksanaan perlindungan atas hak asasi manusia. Keberadaan pembatasan tersebut tentu tidak dimaksudkan untuk mengurangi esensi perlindungan pemenuhan, dan penghormatan atas hak asasi manusia namun justru dalam kerangka melindungi pelaksanaan hak asasi itu sendiri. Karena, apabila keamanan nasional atau ketertiban umum tidak dapat dicapai dalam suatu kehidupan bernegara, maka perlindungan, pemenuhan, dan penghormatan terhadap hak asasi justru malah akan mengalami kemunduran dan sulit untuk ditegakkan.

[3.13.2] Bahwa di Indonesia sendiri, prinsip kesamaan dan kesederajatan dalam hubungan antar manusia tersebut juga menjadi salah satu yang menjiwai falsafah bangsa kita, yaitu Pancasila. Dalam hal ini, sila kedua dari Pancasila pada hakikatnya mencerminkan kesadaran bangsa Indonesia sebagai bagian dari kemanusiaan yang universal. Kemudian atas dasar tersebut, demi tegaknya persamaan kemanusiaan dalam pergaulan nasional dan antar bangsa, kata kemanusiaan dalam sila kedua Pancasila tersebut lalu dilekati sifat adil sekaligus beradab. Hal demikian menjadikan pedoman kepada segenap bangsa Indonesia bahwa dalam pelaksanaan perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan atas nilainilai kemanusiaan yang tercermin dalam hak asasi warga negara tersebut harus dilakukan secara proporsional dengan memerhatikan sikap empati, solidaritas, kepedulian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah bentuk aktualisasi nilai kemanusiaan dalam kehidupan masyarakat yang gotong-royong untuk mencapai tujuan bersama yaitu terciptanya masyarakat yang adil dan makmur. Hal demikian kemudian menjadi pedoman dalam perumusan pasal-pasal tentang jaminan perlindungan hak warga negara dan sekaligus mendasari adanya pembatasan terhadap pelaksanaan hak-hak tersebut yang diatur dalam Bab XA UUD 1945.

[3.13.3] Bahwa hak privasi di Indonesia juga merupakan bagian dari hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh UUD 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Selain itu, jaminan terhadap hak atas privasi juga termaktub dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU 39/1999) sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UU 39/1999 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya.” Selain itu, diatur juga dalam Pasal 30 UU 39/1999 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.” Berdasarkan pengaturan, baik dalam UUD 1945 maupun UU 39/1999 tersebut, maka negara dalam hal ini pemerintah memikul tanggung jawab besar untuk melindungi hak atas privasi warga negara termasuk juga melindungi dari segala bentuk ancaman terhadap kehidupan pribadinya yang terdiri dari seperangkat hak warga negara yang berkenaan dengan perlindungan terhadap urusan pribadi, keluarga, nama baik, dan termasuk juga dalam hal berkorespondensi in casu surat menyurat. Namun demikian, negara juga dapat membatasi pelaksanaan atas pemenuhan hak tersebut dengan mangacu pada ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang juga memberikan pedoman bahwa pembatasan yang dilakukan harus memenuhi syarat, antara lain, (i) dituangkan dalam materi muatan undang-undang; (ii) dilakukan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain; (iii) memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis; (iv) tidak diskriminatif; dan (v) tidak menghambat atau menghilangkan secara tidak sah hak warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

[3.13.4] Bahwa untuk melihat ada atau tidaknya pengaturan mengenai jaminan atas hak privasi warga negara in casu kerahasiaan isi surat dalam UU 38/2009 yang dipersoalkan oleh Pemohon II, menurut Mahkamah, adalah harus dengan membaca UU 38/2009 secara utuh dan komprehensif. Secara umum pengaturan mengenai perlindungan atas jaminan kerahasiaan kiriman, termasuk surat, dapat dilihat pada Penjelasan Pasal 2 huruf h UU 38/2009 yang menyatakan, “Yang dimaksud dengan “kerahasiaan” adalah isi kiriman pos tidak boleh diketahui oleh orang lain, dan Penyelenggara Pos menjaga kerahasiaan atas kiriman pos yang dijamin berdasarkan undang-undang”. Ketentuan tersebut kemudian dijabarkan lagi dalam beberapa pasal dalam UU 38/2009, antara lain, dalam Pasal 27 ayat (2) UU 38/2009 yang menentukan bahwa pengguna layanan pos berhak atas jaminan kerahasiaan, keamanan, dan keselamatan kiriman. Hak yang diberikan kepada pengguna layanan pos tersebut berkorelasi dengan Pasal 30 UU 38/2009 yang menentukan bahwa penyelenggara pos wajib menjaga kerahasiaan, keamanan, dan keselamatan kiriman. Pengaturan mengenai kewajiban untuk menjaga kerahasiaan kiriman tersebut diperkuat lagi dengan penerapan sanksi terhadap bentuk pelanggarannya, baik sanksi administratif untuk badan usaha penyelenggara pos (vide Pasal 40 UU 38/2009) maupun sanksi pidana bagi setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak tidak menjaga kerahasiaan kiriman (vide Pasal 46 UU 38/2009). Frasa “setiap orang” dalam pasal a quo, berlaku untuk siapa saja, baik pihak dalam badan usaha penyelenggaraan pos maupun pihak-pihak lain yang terkait pada keseluruhan kegiatan pengelolaan dan penatausahaan layanan pos. Oleh karena itu, menurut Mahkamah UU 38/2009 telah memberikan perlindungan atas hak privasi warga negara, in casu kerahasiaan isi surat secara proporsional sesuai dengan Konstitusi.

[3.13.5] Bahwa terkait dengan pengaturan mengenai hak penyelenggara pos untuk membuka dan/atau memeriksa kiriman sebagaimana ketentuan Pasal 29 ayat (2) UU 38/2009, menurut Mahkamah hal tersebut merupakan salah satu upaya negara untuk memberikan perlindungan terhadap warga negaranya dari potensi kiriman yang dapat membahayakan barang kiriman lainnya, lingkungan atau keselamatan orang. Misalnya kiriman yang di dalamnya terdapat narkotika, psikotropika, dan obat-obat terlarang lainnya atau barang yang melanggar kesusilaan yang diselipkan dalam kiriman berbentuk surat. Dalam rangka demikian, setiap penyelenggara pos harus diberikan kewenangan untuk membuka dan/atau memeriksa kiriman dengan tujuan untuk memastikan tidak ada barang terlarang di dalamnya, bukan bertujuan membaca isi dari surat yang dikirimkan. Terlebih lagi, pelaksanaan hak penyelenggara pos untuk membuka dan/atau memeriksa kiriman tersebut harus dilakukan di hadapan pengguna layanan pos sehingga proses tersebut juga mendapatkan perhatian dan pegawasan langsung dari kedua belah pihak. Oleh karenanya, menurut Mahkamah pengaturan yang demikian telah jelas dan tidak melanggar hak konstitusi warga negara sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon II adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya