dr. Mahesa Paranadipa Maykel, MH (Ketua Umum), dr. Eva Sri Diana, Sp.P FISR (Dokter), dr. Mohammad Adib Khumaidi, Sp.OT. (Dokter) dr. Ayu (Dokter), dr. Aisyah (Dokter), dalam hal ini memberikan kuasa kepada Zico Leonard Djagardo Simanjutak, S.H., dkk., untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.
Pasal 9 ayat (1) UU Wabah Penyakit Menular dan Pasal 6 UU Kekarantinaan Kesehatan
Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap Pasal 9 ayat (1) UU Wabah Penyakit Menular dan Pasal 6 UU Kekarantinaan Kesehatan dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.7] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, meskipun Pemohon I tidak memiliki kedudukan hukum, namun Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV, dan Pemohon V (selanjutnya disebut para Pemohon) memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan provisi dan pokok permohonan.
Dalam Provisi
[3.8] Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan permohonan provisi yang pada pokoknya meminta Mahkamah untuk memeriksa perkara dengan sangat prioritas dan juga supaya Mahkamah segera memerintahkan pemerintah untuk memenuhi hak-hak dasar tenaga medis, tenaga kesehatan, maupun pegawai kesehatan, yang sedang berjuang melawan COVID-19 di lapangan. Adapun alasan para Pemohon pada pokoknya bahwa dalam masa pandemi COVID-19 sangat dibutuhkan pemenuhan kebutuhan dasar untuk melawan penyebaran virus tersebut, seperti alat pelindung diri bagi tenaga medis, tenaga kesehatan, maupun pegawai fasilitas kesehatan yang saat ini masih banyak terjadi kekurangan sebagaimana dialami dan dijabarkan oleh para Pemohon. Langka dan mahalnya alat pelindung diri sangat berdampak karena konsekuensinya adalah para tenaga medis, tenaga kesehatan, maupun pegawai fasilitas kesehatan yang merawat pasien COVID-19 dapat terkena COVID-19, dan tidak menutup kemungkinan, menjadi gugur. Permohonan provisi para Pemohon meminta Mahkamah untuk melakukan pemeriksaan prioritas serta memerintahkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk segera menciptakan regulasi dan melaksanakan kebijakan sebagaimana disebutkan para Pemohon dalam petitum provisinya. Permintaan provisi para Pemohon ini mendasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 133/PUU-VII/2009 yang mengabulkan putusan sela (provisi) dalam perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bahwa terhadap permohonan provisi a quo, menurut Mahkamah, alasan permohonan provisi yang diajukan para Pemohon tidaklah serta-merta dapat dikabulkan dengan mendasarkan pada Putusan Mahkamah Nomor 133/PUU-VII/2009 karena setelah Mahkamah mencermati secara saksama alasan-alasan para Pemohon (vide permohonan hlm. 9-11) dan petitum dalam provisi telah ternyata tidak terdapat alasan-alasan yang signifikan mengharuskan Mahkamah mengabulkan provisi. Terlebih lagi bukanlah merupakan kewenangan Mahkamah untuk memerintahkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk segera menciptakan regulasi dan melaksanakan kebijakan sebagaimana disebutkan para Pemohon dalam petitum provisinya. Oleh karena itu, permohonan provisi para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum dan oleh karenanya harus dinyatakan ditolak.
Dalam Pokok Permohonan
[3.9] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas norma Pasal 9 ayat (1) UU 4/1984 serta Pasal 6 UU 6/2018, para Pemohon mengemukakan dalil-dalil yang pada pokoknya sebagai berikut (alasan-alasan para Pemohon selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara):
1. Bahwa menurut para Pemohon, menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakan alat perlindungan diri (APD) bagi tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pegawai fasilitas kesehatan yang bertugas melawan wabah penyakit maupun faktor risiko kesehatan masyarakat sebagai perlindungan hukum yang adil serta menjadi tanggung jawab negara atas fasilitas kesehatan yang layak sebagaimana amanat pasal 28D ayat (1) dan pasal 34 ayat (3) UUD 1945;
2. Bahwa menurut para Pemohon, insentif bagi tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pegawai fasilitas kesehatan yang bertugas melawan wabah penyakit maupun faktor risiko kesehatan masyarakat, juga santunan bagi keluarga dari tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pegawai fasilitas kesehatan yang gugur, merupakan suatu kewajiban sebagai perlindungan hukum yang adil dan penghidupan yang layak sebagaimana amanat Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
3. Bahwa menurut para Pemohon, menjadi kewajiban Pemerintah sesuai Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 untuk menyediakan sumberdaya pemeriksaan penyakit bagi masyarakat yang melakukan kontak dengan pasien penderita penyakit melalui alur pemeriksaan yang cepat dan dapat diakses oleh tenaga medis yang terlibat langsung dalam penanganan penyakit tersebut
4. Bahwa berdasarkan dalil-dalil permohonan di atas, para Pemohon memohon agar Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon dengan menyatakan:
a. Pasal 9 ayat (1) UU 4/1984 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai “Kepada para petugas tertentu yang melaksanakan upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) wajib diberikan penghargaan atas risiko yang ditanggung dalam melaksanakan tugasnya.”;
b. Frasa “ketersediaan sumber daya yang diperlukan” pada Pasal 6 UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai termasuk juga:
a. Ketersediaan Alat Pelindung Diri bagi tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pegawai fasilitas kesehatan yang menangani penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat;
b. Insentif bagi tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pegawai fasilitas kesehatan yang menangani penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat;
c. Santunan bagi keluarga dari tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pegawai fasilitas kesehatan yang gugur ketika menangani penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat;
d. Sumber daya pemeriksaan penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat bagi masyarakat yang melakukan kontak dengan pasien penderita penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, melalui alur pemeriksaan yang cepat.
[3.10] Menimbang bahwa untuk mendukung dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-14, dan mengajukan dua orang ahli atas nama Qurrata Ayuni, S.H., MCDR dan Dr. dr. Tri Yunis Miko Wahyono, M.Sc. serta dua orang saksi atas nama Zainal Muttaqin dan Radofik yang semuanya telah didengar dan dibaca keterangannya dalam sidang tanggal 26 Agustus 2020 (sebagaimana selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara);
[3.11] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar dan membaca keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang disampaikan dalam persidangan pada tanggal 15 September 2020 dan Mahkamah telah membaca keterangan tambahan DPR yang diterima di Kepaniteraan pada tanggal 22 September 2020 (sebagaimana selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara);
[3.12] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar dan membaca keterangan Presiden dalam persidangan pada tanggal 11 Agustus 2020 dan Mahkamah telah membaca keterangan tambahan Presiden yang diterima di Kepaniteraan pada tanggal 11 September 2020. Mahkamah juga telah mendengar keterangan saksi yang diajukan Presiden atas nama dr. Mohammad Syahril, Sp.P, MPH, dr. Trisa Wahyuni Putri, M.Kes, dan Retna Nurdani, S.Kep dalam persidangan tanggal 15 September 2020. Selain itu, Mahkamah juga telah memeriksa dan membaca bukti Presiden bertanda bukti T-1 sampai dengan bukti T-5 yang disampaikan beserta Kesimpulan Presiden dan diterima di Kepaniteraan tanggal 23 September 2020. (sebagaimana selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara);
[3.13] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan para Pemohon, masalah dan sekaligus pertanyaan konstitusional yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah apakah benar kata “dapat” dalam Pasal 9 ayat (1) UU 4/1984 inkonstitusional apabila tidak dimaknai “wajib” dan apakah frasa “ketersediaan sumber daya yang diperlukan” dalam Pasal 6 UU 6/2018 inkonstitusional bilamana tidak dimaknai: “termasuk juga: a. Ketersediaan Alat Pelindung Diri bagi tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pegawai fasilitas kesehatan yang menangani penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat; b. Insentif bagi tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pegawai fasilitas kesehatan yang menangani penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat; c. Santunan bagi keluarga dari tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pegawai fasilitas kesehatan yang gugur ketika menangani penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat; dan d. Sumber daya pemeriksaan penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat bagi masyarakat yang melakukan kontak dengan pasien penderita penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, melalui alur pemeriksaan yang cepat”;
[3.14] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan kata “dapat” dalam Pasal 9 ayat (1) UU 4/1984 inkonstitusional apabila tidak dimaknai menjadi kata “wajib” dalam kaitan dengan pemberian penghargaan atas risiko upaya penanggulangan wabah. Terhadap dalil para Pemohon tersebut penting bagi Mahkamah untuk menjelaskan terlebih dahulu keterkaitan norma pasal yang dimohonkan pengujiannya dengan norma-norma pasal lainnya sehingga dapat dinilai apakah sesungguhnya terdapat persoalan konstitusionalitas norma. Pertama, berkaitan dengan pengertian wabah penyakit menular yang merupakan kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka (vide Pasal 1 huruf a UU 4/1984). Dengan mendasarkan pada pengertian tersebut, keberadaan UU 4/1984 tidak secara spesifik dibuat untuk penanggulangan penyakit menular tertentu, namun dibentuk sebagai dasar hukum penanggulangan berbagai jenis wabah penyakit sepanjang kondisinya memenuhi syarat Pasal 1 huruf a tersebut. Kedua, berkenaan dengan lingkup upaya penanggulangan wabah, UU a quo menentukannya dalam Pasal 5 ayat (1) yaitu: a. penyelidikan epidimiologis, b. pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita, termasuk tindakan karantina, c. pencegahan dan pengebalan, d. pemusnahan penyebab penyakit, e. penanganan jenazah akibat wabah, f. penyuluhan kepada masyarakat, dan g. upaya penanggulangan lainnya. Dengan disebutkannya “upaya penanggulangan lainnya” dalam rumusan Pasal 5 ayat (1) huruf g UU a quo menunjukkan bahwa upaya penanggulangan wabah mencakup bidang yang amat luas atau tidak limitatif, di mana kondisi pandemi COVID-19 termasuk di dalamnya.
Oleh karena upaya penanggulangan wabah penyakit menular ini berdampak besar bagi petugas tertentu yang terlibat dalam upaya tersebut maka Pasal 9 UU 4/1984 menghendaki agar para petugas tertentu yang melaksanakan upaya penanggulangan wabah dapat diberikan penghargaan atas risiko yang ditanggungnya. Petugas tertentu yang dimaksud yaitu setiap orang, baik yang berstatus sebagai pegawai negeri maupun bukan, yang ditunjuk oleh yang berwajib dan/atau yang berwenang untuk melaksanakan upaya penanggulangan wabah, sedangkan jenis penghargaan yang diberikan dapat berupa materi dan/atau bentuk lain (vide Penjelasan Pasal 9 ayat (1) UU 4/1984). Namun demikian UU a quo tidak menentukan perihal teknis pemberian penghargaan ini karena pengaturannya dimandatkan untuk diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah sehingga menjadi dasar kewenangan bagi pemerintah untuk membuat peraturan pelaksana mengenai upaya penanggulangan wabah penyakit menular tersebut.
Sebagai bentuk pelaksanaan atas dasar amanat tersebut telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular (PP 40/1991). Substansi yang berkaitan dengan amanat penghargaan termaktub dalam Pasal 29 PP 40/1991 yang pada pokoknya mengatur materi yang serupa dengan ketentuan Pasal 9 UU 4/1984 bahwa (1) Kepada petugas tertentu yang telah melakukan upaya penanggulangan wabah dapat diberikan penghargaan; (2) Penghargaan tersebut ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri. Demikian pula halnya dengan Penjelasan Pasal 29 ayat (1) PP a quo secara substantif serupa dengan apa yang telah termaktub dalam Penjelasan Pasal 9 ayat (1) UU 4/1984 bahwa “yang dimaksud dengan petugas tertentu adalah setiap orang, baik yang berstatus sebagai pegawai negeri maupun bukan, yang ditunjuk oleh yang berwajib dan/atau yang berwenang untuk melaksanakan penanggulangan wabah. Sedangkan, penghargaan yang diberikan dapat berupa uang dan/atau bentuk lain”. Dengan kata lain, substansi PP a quo hanya menegaskan kembali muatan UU dan selanjutnya memberikan sub-delegasi pengaturannya kepada ketentuan yang lebih rendah yakni keputusan menteri. Adanya pendelegasian tersebut dikarenakan luasnya cakupan UU 4/1984 sehingga pembuat kebijakan diberikan keleluasan atau fleksibilitas untuk membuat aturan pelaksana sesuai dengan karakteristik atau dampak dari wabah yang tengah dihadapi.
Fleksibilitas tersebut kemudian tampak ketika negara harus berhadapan dengan pandemi COVID-19 yang dampaknya sangat besar, terutama terhadap keselamatan petugas yang bertugas dalam upaya penanggulangan wabah. Dengan menggunakan UU 4/1984 sebagai landasan hukum, pemerintah mengeluarkan berbagai aturan pelaksana yang spesifik dibentuk untuk menghadapi dampak pandemi COVID-19 yang merupakan ketentuan sub-delegasi dari UU 4/1984 a quo. Di antara aturan-aturan tersebut yakni Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 01.07/menkes/329/2020 tentang Pemberian Insentif Dan Santunan Kematian Bagi Tenaga Kesehatan yang Menangani Corona Virus Disease 2019/Covid-19, bertanggal 30 Juni 2020 (Kepmenkes 01.07/menkes/329/ 2020). Selanjutnya, dalam waktu yang sangat singkat, Kepmenkes 01.07/menkes/ 329/2020 mengalami perubahan untuk disesuaikan dengan kondisi yang berkembang sehingga dikeluarkan Kepmenkes Nomor 01.07/menkes/447/2020 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 01.07/menkes/ 329/2020 tentang Pemberian Insentif Dan Santunan Kematian Bagi Tenaga Kesehatan yang Menangani Corona Virus Disease 2019/Covid-19, bertanggal 23 Juli 2020 (Kepmenkes 01.07/menkes/447/2020). Lebih lanjut, dalam rangka memberikan kejelasan pengelolaan alokasi insentif bagi tenaga kesehatan yang menangani pandemi COVID-19 telah diterbitkan pula Keputusan Menteri Keuangan Nomor 15/KM.7/2020 tentang Tata Cara Pengelolaan dan Rincian Alokasi Dana Cadangan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) Tambahan Gelombang III Tahun Anggaran 2020. Alokasi dana yang dimaksud oleh ketentuan tersebut, salah satunya diperuntukan bagi insentif tenaga kesehatan daerah yang dialokasikan untuk bulan Maret sampai dengan Mei 2020. Insentif ini diberikan sebagai bentuk penghargaan negara atas risiko yang harus ditanggung oleh tenaga kesehatan yang terlibat dalam upaya penanggulangan pandemi COVID-19, di mana COVID-19 merupakan bagian dari wabah penyakit menular. Sementara itu, risiko yang harus ditanggung petugas dalam upaya penanggulangan wabah ini sangat tinggi karena tingginya tingkat berjangkitnya penyakit sehingga penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari keadaan yang lazim pada waktu dan wilayah tertentu serta menimbulkan malapetaka, misalnya kematian dalam jumlah yang besar.
Tidak hanya dalam bentuk insentif, penghargaan tersebut diwujudkan pula dalam bentuk santunan kematian. Dalam kaitan dengan mekanisme penyalurannya ditentukan secara bertahap setelah daerah menyampaikan laporan realisasi pembayaran insentif tenaga kesehatan tahap pertama paling sedikit menunjukkan realisasi 60%. Alokasi yang dimaksud masih diberikan sampai dengan bulan Desember 2020 dan dapat diperpanjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (vide Kepmenkes 01.07/menkes/447/2020).
Berkenaan dengan siapa saja tenaga kesehatan yang memeroleh insentif tersebut telah ditentukan dalam Pasal 9 UU 4/1984, yaitu petugas tertentu, mereka baik yang berstatus sebagai pegawai negeri maupun bukan yang ditunjuk oleh yang berwajib dan/atau berwenang dalam melaksanakan penanggulangan wabah (vide Penjelasan Pasal 9 UU 4/1984). Dalam kaitan ini, Menteri Kesehatan sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap penanggulangan wabah telah menentukan pula kriteria tenaga kesehatan yang menerima insentif yakni dokter spesialis, dokter, dokter gigi, bidan, perawat, dan tenaga medis lainnya, termasuk juga dokter yang mengikuti penugasan khusus residen, dokter yang mengikuti Program Internsip Dokter Indonesia, dokter yang mengikuti Pendayagunaan Dokter Spesialis, tenaga kesehatan yang mengikuti Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan dalam Mendukung Program Nusantara Sehat, dan relawan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan yang terlibat dalam penanganan COVID-19 yang diusulkan oleh pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan tempat penugasan (vide Bab II huruf B lampiran Kepmenkes 01.07/menkes/329/2020). Pemberian insentif tersebut tetap dilanjutkan atau tidak dihentikan meskipun ada di antara petugas kesehatan tersebut yang terpapar COVID-19 dan harus dikarantina. Selain mendapat insentif, diberikan pula santunan kematian dalam hal ada petugas yang terlibat dalam penanganan COVID-19 yang meninggal dunia. Adapun ihwal besaran insentif dan mekanisme pemberiannya untuk setiap petugas yang terlibat dalam penanganan COVID-19 telah termaktub dengan jelas dalam Lampiran Kepmenkes 01.07/menkes/447/2020. Hal tersebut telah menunjukkan adanya pengutamaan dalam pemberian penghargaan dalam penanggulangan pandemi COVID-19. Selain itu, dalam rangka memutus mata rantai meluasnya sebaran COVID-19, tanpa membebani masyarakat yang terpapar wabah penyakit tersebut, pemerintah telah menyiapkan rumah sakit darurat atau rumah sakit yang dikhususkan untuk pasien COVID-19 yang keseluruhan biaya penyelenggaraannya ditanggung oleh negara.
Berkenaan dengan penghargaan kepada petugas yang mengalami risiko dalam penanggulangan wabah penyakit menular, telah ternyata Pasal 9 UU 4/1984 bukanlah satu-satunya undang-undang yang dijadikan dasar hukum untuk memberikan penghargaan tersebut. Sebagai wujud bentuk lain selain uang yang diberikan kepada petugas tertentu yang menanggung risiko atas upaya penanggulangan wabah, dengan mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (UU 20/2009) negara memberikan penghargaan dalam bentuk tanda jasa bagi petugas kesehatan yang gugur dalam upayanya menanggulangi pandemi COVID-19. Selanjutnya, penghargaan tersebut diwujudkan dalam bentuk Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 119/TK/Tahun 2020 tentang Penganugerahan Tanda Kehormatan Bintang Jasa, yang ditetapkan tanggal 6 November 2020.
Keseluruhan aturan tersebut di atas pada prinsipnya bertujuan untuk menjamin bahwa pelaksanaan penanggulangan wabah dilaksanakan sesuai dengan amanat Konstitusi, yaitu sesuai dengan hak warga negara atas lingkungan sehat dan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 serta tanggung jawab negara atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 34 ayat (3) UUD 1945. Jika semua aturan ini dilaksanakan dengan memedomani prinsip konstitusional tersebut, maka sesungguhnya Pasal 9 UU 4/1984 dan berbagai aturan pelaksana tersebut telah cukup menjadi dasar hukum untuk menjamin para tenaga kesehatan termasuk para Pemohon mendapatkan penghargaan yang layak atas upayanya menanggulangi dampak pandemi COVID-19.
Berdasarkan uraian di atas, maka terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan tidak adanya kejelasan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan yang menanggulangi pandemi COVID-19 karena tidak dirumuskannya norma Pasal 9 UU 4/1984 dengan kata “wajib” sehingga menjadi “wajib diberikan penghargaan atas risiko yang ditanggung dalam melaksanakan tugasnya”, merupakan dalil yang tidak berdasar karena telah ternyata amanat Pasal 9 UU 4/1984 meskipun dirumuskan dengan kata “dapat” telah direalisasikan melalui berbagai regulasi dalam rangka memberikan penghargaan berupa jaminan insentif dan santuan kematian, bahkan penghargaan Bintang Jasa. Terlebih lagi, secara doktriner penggunaan kata “dapat” dalam penormaan undang-undang merupakan hal yang lazim dilakukan karena operator norma tidak selalu dirumuskan dengan kata wajib, di mana norma wajib berkaitan dengan kewajiban yang telah ditetapkan dan apabila tidak dipenuhi kewajiban tersebut dikenakan sanksi. Sementara itu, norma “dapat” mengandung sifat diskresioner (vide angka 267 dan angka 268 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Karena sifat diskresioner tersebut maka norma “dapat” dalam pelaksanaannya dapat menjadi wajib untuk direalisasikan karena ada faktor-faktor yang mengharuskannya, in casu, risiko yang harus ditanggung petugas kesehatan tertentu dalam upaya menanggulangi wabah penyakit menular. Dengan mencermati begitu luasnya cakupan dari UU 4/1984, yaitu berkenaan dengan jenis wabah yang dihadapi, dampak dari wabah, jenis kegiatan yang dapat termasuk di dalam upaya penanggulangan wabah, siapa saja yang termasuk petugas yang melakukan upaya penanggulangan wabah, serta bentuk penghargaan yang dapat diberikan, maka sudah tepat jika diksi yang digunakan dalam norma a quo menggunakan kata “dapat”. Bertransformasinya makna “dapat” menjadi “wajib” dalam implementasinya ditentukan oleh banyak faktor, dan untuk undang-undang yang cakupannya begitu luas, seperti halnya UU 4/1984, peraturan pelaksana dalam bentuk peraturan pemerintah yang spesifik mengatur kondisi tertentu sudah cukup untuk menjadi dasar kapan dan di mana kata “dapat” tersebut dapat diimplementasikan menjadi “wajib”. Bagaimanapun juga selama peraturan ini mengikat pemerintah serta aparat di dalamnya untuk melaksanakannya maka sesungguhnya dengan sendirinya penghargaan kepada petugas yang terdampak pandemi COVID-19 telah menjadi prioritas dengan didasarkan pada aturan pelaksana yang dimandatkan oleh UU a quo.
Oleh karena itu, persoalan yang dihadapi oleh para Pemohon di mana tidak adanya kepastian terhadap ada atau tidaknya penghargaan yang berhak didapatkan oleh para Pemohon selaku petugas kesehatan yang mengalami risiko dalam upaya penanggulangan wabah pandemi COVID-19 sesungguhnya merupakan persoalan implementasi norma. Terlepas dari persoalan tersebut, pembentuk undang-undang telah memasukkan revisi UU 4/1984 dalam Program Legislasi Nasional 2020-2024, oleh karenanya perlu diprioritaskan revisi tersebut sehingga dapat terbentuk undang-undang penanggulangan wabah penyakit menular yang jangkauan pengaturannya lebih komprehensif.
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 9 ayat (1) UU 4/1984 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.15] Menimbang bahwa selanjutnya para Pemohon mendalilkan frasa “ketersediaan sumber daya yang diperlukan” dalam Pasal 6 UU 6/2018 inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai termasuk juga: (1) Ketersediaan Alat Pelindung Diri bagi tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pegawai fasilitas kesehatan yang menangani penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat; (2) Insentif bagi tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pegawai fasilitas kesehatan yang menangani penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat; (3) Santunan bagi keluarga dari tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pegawai fasilitas kesehatan yang gugur ketika menangani penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat; (4) Sumber daya pemeriksaan penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat bagi masyarakat yang melakukan kontak dengan pasien penderita penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, melalui alur pemeriksaan yang cepat.
Terhadap dalil para Pemohon tersebut penting bagi Mahkamah untuk mengutip secara utuh ketentuan pasal a quo yang menyatakan “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap ketersediaan sumber daya yang diperlukan dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan”. Dalam penjelasan ketentuan pasal a quo dinyatakan “Cukup jelas”. Namun demikian, jika dicermati secara saksama keberadaan Pasal 6 UU 6/2018 tidaklah berdiri sendiri karena penjabaran lebih lanjut ketentuan Pasal 6 UU a quo termasuk frasa yang dipersoalkan konstitusionalitasnya oleh para Pemohon telah diatur lebih komprehensif dalam Bab IX UU a quo dengan judul “SUMBER DAYA KEKARANTINAAN KESEHATAN” yang pengaturannya termaktub dalam Pasal 71 sampai dengan Pasal 78 yang selengkapnya menyatakan:
Pasal 71
Sumber daya dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan meliputi:
a. fasilitas dan perbekalan Kekarantinaan Kesehatan;
b. Pejabat Karantina Kesehatan;
c. penelitian dan pengembangan; dan
d. pendanaan.
Pasal 72
(1) Fasilitas dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan meliputi:
a. peralatan deteksi dan respons cepat;
b. ruang
b. ruang wawancara atau observasi;
c. ruang diagnosis;
d. asrama karantina kesehatan;
e. ruang isolasi;
f. rumah sakit rujukan;
g. laboratorium rujukan; dan
h.transportasi evakuasi penyakit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
(2) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain berfungsi dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan juga sebagai sarana pendidikan dan pelatihan serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Kekarantinaan Kesehatan.
(3) Perbekalan Kekarantinaan Kesehatan meliputi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan perbekaran kesehatan lainnya yang diperlukan.
Pasal 73
Pejabat Karantina Kesehatan merupakan pejabat fungsional di bidang kesehatan yang memiliki kompetensi dan kualifikasi di bidang Kekarantinaan Kesehatan serta ditugaskan di instansi Kekarantinaan Kesehatan di pintu Masuk dan di wilayah.
Pasal 74
Perekrutan Pejabat penyelenggaraan Karantina Kesehatan dalam Kekarantinaan Kesehatan diselenggarakan melalui pendidikan dan pelatihan yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat.
Pasal 75
(1) Pemerintah Pusat mengatur penempatan Pejabat Karantina Kesehatan di Pintu Masuk dalam rangka penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan.
(2) Pemerintah Daerah mengatur penempatan Pejabat Karantina Kesehatan di wilayah dalam rangka penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan.
(3) Dalam menyelenggarakan Kekarantinaan Kesehatan, Pejabat Karantina Kesehatan berwenang:
a. melakukan tindakan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2);
b. menetapkan tindakan Kekarantinaan Kesehatan;
c. menerbitkan surat rekomendasi deportasi atau penundaan keberangkatan kepada instansi yang berwenang; dan
d. menerbitkan surat rekomendasi kepada pejabat yang berwenang untuk menetapkan karantina di wilayah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 76
(1) Pejabat Karantina Kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berhak mendapatkan:
a. pelindungan hukum;
b. pelindungan kesehatan dari risiko kerusakan organ; dan
c. keselamatan jiwa.
(2) Setiap Pejabat Karantina Kesehatan yang melakukan kelalaian dalam melaksanakan tugasnya dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Setiap Pejabat Karantina Kesehatan berhak mendapat pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas sepanjang sesuai dengan standar prosedur operasional dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 77
(1) Penelitian dan pengembangan dilaksanakan untuk menapis dan menetapkan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna yang dipergunakan dalam rangka penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan.
(2) Penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan masyarakat.
(3) Ketentuan mengenai penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 78
a. Pendanaan kegiatan penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, dan/atau masyarakat.
b. Pendanaan kegiatan penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan di Pintu Masuk pada Alat Angkut di luar situasi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang meresahkan dunia dibebankan pada pemilik Alat Angkut.
c. Pendanaan mengenai pelaksanaan tindakan penyehatan yang dimohonkan pengelola Alat Angkut menjadi tanggung jawab pemohon dan merupakan penerimaan negara.
Bertolak dari ketentuan pasal-pasal di atas, berkaitan dengan permintaan para Pemohon agar Mahkamah memaknai frasa “ketersediaan sumber daya yang diperlukan” dalam Pasal 6 UU 6/2018 menjadi “Ketersediaan Alat Pelindung Diri bagi tenaga medis” telah ternyata apa yang diminta oleh para pemohon tersebut telah terakomodasi pengaturannya dalam ketentuan Pasal 72 ayat (3) UU 6/2018 karena Alat Pelindung Diri yang dimaksud adalah bagian dari alat kesehatan yang merupakan bagian dari Perbekalan Kekarantinaan Kesehatan, bukan bagian dari fasilitas kesehatan sebagaimana yang didalikan oleh para Pemohon. Oleh karenanya apabila Petitum para Pemohon dikabulkan berkenaan dengan pemaknaan frasa “ketersediaan sumber daya yang diperlukan” dalam Pasal 6 UU 6/2018 dimaknai menjadi ketersediaan alat pelindung diri, insentif bagi tenaga medis, santunan bagi keluarga tenaga medis dan sumber daya pemeriksaan penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat, hal tersebut justru akan mempersempit serta menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena adanya redundancy dengan pengaturan yang sudah termaktub dalam Pasal 71 sampai dengan Pasal 78 khususnya Pasal 72 ayat (3) UU a quo. Terlebih lagi, jika petitum para Pemohon tersebut dikabulkan justru akan menimbulkan kerugian di masyarakat secara luas karena berdampak pada ketidakmaksimalan upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat karena pemerintah menjadi tidak berkewajiban lagi untuk menyediakan fasilitas kekarantinaan kesehatan misalnya rumah sakit, sediaan farmasi misalnya obat-obatan, dan perbekalan kesehatan lainnya, padahal hal demikian menjadi tanggungjawab negara sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 34 ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian tujuan ditetapkannya UU 6/2018 tidaklah mungkin dapat tercapai yakni: mencegah, menangkal, dan melindungi masyarakat dari penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat, meningkatkan ketahanan nasional di bidang kesehatan masyarakat, serta memberikan pelindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dan petugas kesehatan, karena menjadi terbatasnya lingkup pengertian ketersediaan sumber daya yang diperlukan.
Dengan demikian, persoalan ketidaktersediaan Alat Pelindung Diri secara merata untuk memenuhi seluruh kebutuhan tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pegawai fasilitas kesehatan di tengah kondisi masa pandemi COVID-19 saat ini sebagaimana didalilkan para Pemohon sesungguhnya merupakan bentuk kepedulian dan keprihatinan para Pemohon dan siapapun yang harus menjadi catatan khusus bagi Pemerintah. Namun demikian persoalan tersebut tidaklah berkorelasi dengan anggapan inkonstitusionalitas norma Pasal 6 UU 6/2018. Dengan demikian dalil para Pemohon mengenai konstitusionalitas Pasal 6 UU 6/2018 tidak beralasan menurut hukum.
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430