Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 73/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2019 TENTANG SUMBER DAYA AIR TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 26-10-2020

Agus Wibawa, Dewanto Wicaksono SE, MM., Prihatin Suryo Kuncoro dan Andy Wijaya yang memberikan kuasa khusus kepada Ari Lazuardi, S.H., dkk., advokat dan pengacara publik pada Tim Pembela Kedaulatan Energi Untuk Rakyat, untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.

Pasal 19 ayat (2), Pasal 58 ayat (1) huruf a, dan Penjelasan Pasal 59 huruf c UU SDA

Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa Pasal 19 ayat (2), Pasal 58 ayat (1) huruf a, dan Penjelasan Pasal 59 huruf c UU SDA dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.5] …
1. …
Bahwa, berdasarkan uraian para Pemohon tentang kualifikasinya maupun anggapan kerugian hak konstitusionalnya sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat:
a. Mahkamah tidak melihat adanya korelasi langsung antara kepentingan para Pemohon (in casu Serikat Pekerja) dengan mekanisme pengenaan Pajak Permukaan Air (PPA) dan Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air (BJPSDA). Sebab, jika dihubungkan dengan anggapan kerugian konstitusional para pemohon yaitu, dengan dibebankannya BJPSDA pada Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), hal tersebut akan menambah beban pengeluaran dari PLTA, yang mengakibatkan Biaya Pokok Produksi (BPP) menjadi naik dan dapat melampaui BPP sumber energi listrik lainnya di antaranya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), sehingga oleh karenanya PLTA menjadi tidak menarik lagi untuk dikembangkan dan akhirnya berdampak secara langsung pada bisnis PLTA yang tidak lagi menjadi kompetitif dan menarik investor. Kemudian pada akhirnya akan merugikan hak konstitusional para Pemohon, yaitu kehilangan pekerjaan dan penghidupan yang layak karena perusahaan tempat kerja anggota para Pemohon tidak lagi dapat mempekerjakan pekerja di unit PLTA dan karena listrik sebagai kebutuhan pokok dan mendasar akan mengalami kenaikan tarif listrik;
b. Bahwa selain itu, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak dapat menjelaskan hubungan sebab akibat antara BJPSDA dan PPA dengan anggapan kerugian konstitusional yang dialami oleh para Pemohon. Sebab, dalam kaitan ini berlaku asas hukum “tidak ada kepentingan, tidak ada gugatan” (point d’interest point d’action, zonder belang geen rechtsingang) terlebih para Pemohon tidak mampu menunjukkan bukti yang dapat meyakinkan Mahkamah bahwa para Pemohon adalah pihak yang dirugikan sebagaimana disebutkan dalam permohonan para Pemohon. Bahkan, seandainya pun pernyataan para Pemohon itu benar, tanpa bermaksud menilai lebih jauh konstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujiannya oleh para Pemohon berkenaan dengan dua jenis pembebanan biaya sebagaimana yang dijelaskan oleh para Pemohon, yaitu PPA dan BJPSDA. Menurut Mahkamah, PPA berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU 28/2009) adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan, dan Pasal 1 angka 18 menyatakan, air permukaan adalah air yang terdapat pada permukaan tanah tidak termasuk air laut, baik yang berada di laut maupun di darat. Selanjutnya Pasal 21 ayat (1) UU 28/2009 menentukan bahwa objek dari PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan. Kemudian Pasal 21 ayat (2) UU 28/2009 pada pokoknya mengecualikan dari pengenaan objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan, pertanian dan perikanan rakyat dengan tetap memperhatikan lingkungan dan peraturan perundang-undangan, dan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah. Bahwa berdasarkan Pasal 7 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 15/PRT/M/2017 tentang Tata Cara Penghitungan Besaran Nilai Perolehan Air Permukaan, mengategorikan pengguna air dilihat dari 7 (tujuh) jenis kegiatan atau kegiatan usaha yang dikenakan PAP yaitu, 1. sosial, 2. perusahaan non-niaga, 3. niaga atau perdagangan atau jasa, 4. Industri atau penunjang produksi, 5. Pertanian termasuk perkebunan, peternakan, dan perikanan, 6. Tenaga listrik (pembangkit listrik tenaga air), dan 7. Pertambangan. Dengan demikian jelaslah bahwa penggunaan sumber daya air untuk tenaga listrik sebagaimana usaha di tempat para Pemohon bekerja termasuk bagian dari pemanfaatan air permukaan di luar untuk keperluan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 21 ayat (2) UU 28/2009, sehingga wajib untuk dikenakan PAP.
Bahwa lebih lanjut berkaitan dengan BJPSDA sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 28 UU 17/2019 adalah biaya yang dikenakan, baik sebagian maupun secara keseluruhan kepada pengguna Sumber Daya Air yang dipergunakan untuk pengelolaan sumber daya air secara berkelanjutan. Bahwa melalui BJPSDA inilah pemerintah dapat melakukan konservasi terhadap sumber daya air di Indonesia. Dengan demikian secara ekonomi, semakin banyak pemanfaat sumber daya air yang membayar BJPSDA, maka semakin besar biaya yang dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan sumber daya air, sehingga akan memberikan tingkat layanan yang lebih baik. Namun demikian, pembayaran BJPSDA adalah menjadi kewajiban perusahan (in casu PT PJB dan PT IP) yang tidak ada relevansinya dengan kepentingan para Pemohon;
c. Bahwa diterimanya kedudukan hukum Serikat Pekerja di beberapa putusan Mahkamah sebelumnya, sebagaimana yang telah para Pemohon uraikan tidak serta-merta menjadikan para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, karena pada dasarnya pemberian kedudukan hukum oleh Mahkamah kepada pemohon/para pemohon sangat tergantung dari terpenuhi atau tidak terpenuhinya ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005.
Berdasarkan seluruh uraian di atas, telah terang dan tidak ada keraguan bagi Mahkamah bahwa pada diri para Pemohon tidak terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian konstitusional yang diuraikan dengan berlakunya norma Pasal 19 ayat (2), Pasal 58 ayat (1) huruf a, dan Penjelasan Pasal 59 UU 17/2019 yang dimohonkan pengujian.
Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
[3.6] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo namun oleh karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo, oleh karena itu, Mahkamah tidak akan mempertimbangkan pokok permohonan.