Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 72/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG KEPROTOKOLAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 26-10-2020

Abu Bakar yang diwakili oleh kuasa hukumnya M. Maulana Bungaran, S.H., M.H., Munathsir Mustaman, S.H., dan Dwi Ratri Mahanani, S.H., Advokat yang tergabung pada Advokat Cinta Tanah Air (ACTA), untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 9 ayat (1) huruf e dan huruf m, UU Keprotokolan

Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa Pasal 9 ayat (1) huruf e dan huruf m UU Keprotokolan dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut:
1. Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitas dalam permohonan a quo adalah norma Pasal 9 ayat (1) huruf e dan huruf m UU 9/2010, yang rumusan selengkapnya menyatakan:
(1) Tata Tempat dalam Acara Kenegaraan dan Acara Resmi di Ibukota Negara Republik Indonesia ditentukan dengan urutan:
…….
e. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;
…….
m. Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Badan Penyelenggara Pemilihan Umum, Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Wakil Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, dan Wakil Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia;
2. Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo menerangkan kualifikasinya sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang mempunyai hak pilih dalam Pemilihan Legislatif 2019 dan sekaligus juga menerangkan anggapan kerugian konstitutional yang Pemohon perjuangkan dalam permohonan a quo bersumber dan identik dengan hak konstitusional seluruh pemilih di Indonesia;
3. Bahwa menurut Pemohon, Pimpinan DPR harus selalu terjaga kehormatan dan keluhuran martabatnya sehingga dari sisi keprotokolan untuk acara kenegaraan atau acara resmi Pimpinan DPR harus diberi tata tempat yang sama. Namun UU 9/2010 mengatur tata tempat yang membedakan antar Pimpinan DPR. Adanya ketidaksamaan hak keprotokolan antar Pimpinan DPR ini telah merusak sifat kolektif kolegial Pimpinan DPR sehingga membahayakan dan merugikan institusi DPR. Pasal 9 ayat (1) huruf e dan huruf m UU 9/2010 yang menjadi objek pengujian permohonan a quo, tidak menjelaskan tata tempat untuk Pimpinan DPR sehingga menimbulkan ketidakjelasan mengenai posisi tata tempat Pimpinan DPR dalam acara kenegaraan dan acara resmi. Menurut Pemohon pada praktiknya tata tempat Pimpinan DPR dalam acara kenegaraan dan acara resmi terpisah-pisah antara Ketua DPR dan Wakil Ketua DPR. Terkadang Wakil Ketua DPR justru ditempatkan di belakang menteri, padahal Ketua DPR dan Wakil Ketua DPR sama-sama berstatus Pimpinan DPR yang bertugas secara kolektif dan kolegial, yaitu menjalankan kewenangan dan mengambil keputusan secara bersama dalam posisi yang setara. Ketentuan ini menodai kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga tinggi negara. Bahwa berdasarkan hal-hal yang sudah diuraikan di atas, menurut Pemohon telah terjadi kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon selaku pemilih anggota DPR yaitu terlanggarnya prinsip kerja kolektif dan kolegial dan rusaknya kehormatan dan keluhuran martabat DPR yang mana merupakan hak Pemohon untuk memilih anggota DPR berdasarkan konstitusi, yang apabila permohonan dikabulkan, maka tidak ada lagi ketidakjelasan tata letak Pimpinan DPR dalam acara kenegaraan dan acara resmi, dan tidak ada lagi pelanggaran prinsip kerja kolektif dan kolegial dan kerusakan kehormatan dan keluhuran martabat DPR, serta tidak akan menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon;
4. Bahwa berkaitan dengan permohonan Pemohon, Mahkamah dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada tanggal 10 September 2020, berdasarkan ketentuan Pasal 39 UU MK, Panel Hakim karena kewajibannya telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki sekaligus memperjelas hal-hal yang berkaitan dengan Pemohon dan permohonannya sesuai dengan sistematika permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UU MK dan Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 6/ PMK/2005);
5. Bahwa Pemohon telah melakukan perbaikan permohonannya sebagaimana telah diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 23 September 2020 dan diperiksa dalam sidang pemeriksaan perbaikan permohonan pada tanggal 24 September 2020. Dalam sidang perbaikan permohonan, Pemohon prinsipal atau kuasa hukum Pemohon yang menandatangani permohonan tidak hadir tetapi menghadirkan kuasa hukum tambahan atas nama Dwi Ratri Mahanani, S.H., yang mana baik dalam permohonan awal maupun dalam perbaikan permohonan tidak turut menandatangani permohonan dimaksud, sehingga Mahkamah menerima perbaikan permohonan dan mensahkan alat bukti Pemohon yang disampaikan dalam permohonan awal, namun isi dari perbaikan permohonan tidak dapat disampaikan oleh kuasa hukum karena ada keraguan atas penunjukan kuasa hukum tambahan untuk menyampaikan perbaikan permohonan dalam persidangan;
6. Bahwa Mahkamah telah menyelenggarakan Persidangan Pendahuluan Tambahan pada tanggal 5 Oktober 2020 dengan agenda untuk mengonfirmasi penambahan kuasa hukum. Pemohon prinsipal tidak hadir tetapi dihadiri oleh kuasa hukum Pemohon yang menandatangani permohonan awal dan perbaikan permohonan serta dihadiri juga oleh kuasa hukum tambahan yang tidak menandatangani permohonan dan Mahkamah memberikan kesempatan kepada kuasa hukum Pemohon untuk menyampaikan pokok-pokok perbaikan permohonan [vide Risalah Sidang tanggal 5 Oktober 2020];
7. Bahwa meskipun format perbaikan permohonan Pemohon telah sesuai dengan sistematika permohonan pengujian undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU MK dan Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d PMK 6/PMK/2005, namun setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama uraian ihwal kedudukan hukum, Pemohon tidak dapat menguraikan secara jelas kualifikasinya sebagai Pemohon [vide Pasal 51 ayat (1) UU MK]. Sebab, selain Pemohon mengkualifikasikan dirinya sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak sebagai pemilih, Pemohon juga memosisikan diri seolah-olah mewakili kepentingan seluruh pemilih di Indonesia dengan menyatakannya sebagai persoalan konstitusional yang “bersumber dan identik dengan hak konstitutional seluruh pemilih di Indonesia”. Oleh karenanya menjadi tidak jelas dalam kualifikasi apa sesungguhnya Pemohon memosisikan kedudukan hukumnya dalam menjelaskan anggapan perihal kerugian konstitusionalnya;
8. Bahwa sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, seseorang tidak serta-merta dapat mewakili orang atau pihak lain tanpa didasari surat kuasa khusus untuk itu [vide Pasal 43 UU MK], kecuali bagi orang tua yang bertindak untuk kepentingan anaknya yang belum memenuhi syarat kecakapan bertindak dalam hukum [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUUXIV/2016 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XVI/2018]. Berbeda halnya jika Pemohon secara tegas menjelaskan kualifikasinya hanya sebagai perseorangan warga negara Indonesia. Andaipun Pemohon mengkualifikasikan diri sebagai perseorangan, Pemohon juga tidak dapat menjelaskan perihal anggapan kerugian konstitusionalnya dan hubungan sebab akibat (causal verband) antara anggapan kerugian konstitusional tersebut dengan norma yang dimohonkan pengujiannya yang substansinya berkenaan dengan tata tempat bagi Pimpinan DPR dalam acara kenegaraan dan acara resmi di ibukota negara Republik Indonesia;
9. Berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo.