Yahya Karomi, S.H, dalam hal ini diwakili oleh Kuasa Hukumnya yaitu Hendrayana, S.H., M.H., Herry Suherman, S.H., Wiwin Taswin, S.H., dan Sugeng Susilo, S.H., M.H.
Pasal 23 ayat (2), Pasal 23 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2011 dan Pasal 24 UU
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (selanjutnya disebut UU No. 2
Tahun 2008)
Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang
Badan Keahlian DPR RI.
Bahwa terhadap kedudukan hukum (legal standing) Pemohon 23 ayat (2)
dan Pasal 23 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2011, Pasal 24 UU No. 2 Tahun
2008, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai
berikut:
1) Bahwa setelah memeriksa dengan saksama uraian permohonan dan
dalil-dalil yang dikemukakan Pemohon, bukti-bukti yang diajukan berkait
dengan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, menurut Mahkamah
Pemohon telah membuktikan sebagai anggota partai politik, yaitu Partai
Persatuan Pembangunan yang dibuktikan melalui bukti P-6 berupa Tanda
Anggota Partai Persatuan Pembangunan, bertanggal 1 September 2012
atas nama Pemohon. Berdasarkan hal tersebut, Mahkamah dalam
beberapa putusan sebelumnya telah mempertimbangkan dan memutus
mengenai kedudukan hukum partai politik maupun anggota/pengurus
suatu partai politik yang partai politiknya memiliki anggota di DPR dan
turut serta dalam pembahasan pembentukan undang-undang sebagai
Pemohon dalam pengujian undang-undang.
2) Bahwa sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-
XIII/2015, bertanggal 21 Juni 2016, telah mempertimbangkan sebagai
berikut:
“...bahwa, dengan mendasarkan pada pertimbangan hukum pada huruf b
sampai dengan huruf j di atas, dan dengan mengetengahkan pula fakta
putusan yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah sebagaimana telah
diuraikan pada huruf k di atas, Mahkamah, dalam perkara a quo, perlu
menegaskan kembali bahwa terkait pembatasan pemberian kedudukan
hukum bagi anggota partai politik baik yang menjadi Anggota DPR,
Anggota DPRD, Caleg DPR atau DPRD, maupun yang berstatus hanya
sebagai anggota atau pengurus partai politik, untuk mengajukan
pengujian Undang-Undang, adalah dalam kaitannya untuk menghindari
terlanggarnya etika politik atau mencegah terjadinya konflik kepentingan
yang terkait langsung dengan adanya hak dan/atau kewenangan yang
melekat pada DPR secara institusi untuk membentuk Undang-Undang
dan/atau Anggota DPR untuk mengusulkan rancangan Undang-Undang
sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Nomor
20/PUU-V/2007, serta yang terkait pula dengan hak dan/atau
kewenangan lainnya yang dimiliki oleh DPR dan/atau Anggota DPR yang
diatur dalam UUD 1945 yang oleh Mahkamah, beberapa di antaranya,
telah dipertimbangkan dalam Putusan Nomor 23-26/PUU-VIII/2010 dan
Putusan Nomor 38/PUU-VII/2010. Adapun terhadap persoalan
konstitusionalitas lainnya khususnya yang terkait dengan kedudukan
hukum mereka sebagai warga negara Indonesia yang mempersoalkan
konstitusionalitas Undang-Undang apa pun yang dikaitkan dengan hak-
hak konstitusionalitas selaku warga negara Indonesia baik perorangan
dan/atau kelompok orang - kecuali terhadap Undang-Undang yang
mengatur kedudukan, wewenang, dan/atau hak DPR secara institusi
dan/atau Anggota DPR – Mahkamah akan memeriksa dengan saksama
dan memberikan pertimbangan hukum tersendiri terhadap kedudukan
hukum mereka dalam perkara tersebut sesuai dengan kerugian
konstitusional yang didalilkan;” [vide Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 7/PUU-XIII/2015, bertanggal 21 Juni 2016, halaman 47-48]
3) Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-
XIV/2016, bertanggal 25 Januari 2017, telah mempertimbangkan sebagai
berikut:
“bahwa permasalahan yang dikemukakan para Pemohon adalah adanya
konflik internal mengenai kepengurusan DPP PPP, yang menurut para
Pemohon disebabkan oleh ketidakjelasan Pasal 23 dan Pasal 33 UU
2/2011. Mahkamah menilai bahwa sebagai perorangan warga negara
Indonesia para Pemohon tidak memiliki kepentingan hukum untuk
mengajukan permohonan pengujian ketentuan a quo. hal demikian
karena, menurut Mahkamah ketentuan Pasal 23 dan Pasal 33 UU 2/2011
adalah ketentuan yang secara spesifik mengatur partai politik, dan bukan
mengatur hak perorangan warga negara Indonesia. [vide Putusan MK
Nomor 35/PUU-XIV/2016, bertanggal 25 Januari 2017, halaman 97]
4) Bahwa berdasarkan pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 45/PUU-XIV/2016, bertanggal 25 Januari 2017, telah
mempertimbangkan sebagai berikut:
“Bahwa dengan fakta PPP ikut terlibat dalam pembentukan norma yang
dimohonkan pengujian, meskipun Pemohon mendalilkan dirinya sebagai
perorangan warga negara Indonesia yang juga tidak dapat dilepaskan
dari statusnya sebagai anggota dan/atau pengurus PPP, telah jelas bagi
Mahkamah bahwa jikalaupun ada kerugian yang dialami akibat
berlakunya norma dimaksud, bukanlah terjadi pada diri Pemohon
sebenarnya merupakan persoalan institusional partai politik.” [vide
Putusan MK nomor 45/PUU-XIV/2016, bertanggal 25 Januari 2017,
halaman 97]
5) Bahwa berdasarkan pertimbangan pada putusan-putusan
Mahkamah di atas, karena Pemohon mendalilkan sebagai anggota partai
politik yaitu PPP, di mana partai tersebut terlibat dalam pembahasan dan
persetujuan bersama RUU menjadi undang-undang, dalam hal ini UU
2/2011 dan UU 2/2008, maka menurut Mahkamah Pemohon tidak
memiliki legal standing atau kedudukan hukum untuk mengajukan
permohonan pengujian undang-undang a quo, baik secara perorangan
maupun mewakili DPC PPP Kabupaten Cilacap. Selain itu tidak ada
kejelasan mengenai apakah dalam kasus konkrit Pemohon, terdapat
persoalan tentang kejelasan status keanggotaan Pemohon dalam partai a
quo, karena sebagaimana diungkapkan oleh Pemohon sendiri, Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia RI telah mengeluarkan keputusan
mengenai pengesahan kepengurusan PPP, sehingga menurut Mahkamah
tidak ada uraian yang jelas mengenai hubungan sebab akibat antara
norma yang diajukan untuk diuji dengan kerugian atau potensi kerugian
Pemohon dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan
pengujian.
6) Menimbang bahwa terkait dengan putusan-putusan Mahkamah di
atas, Mahkamah juga telah membuat pengecualian dengan memberikan
kedudukan hukum (legal standing) terhadap anggota DPR dalam
pengujian Undang-Undang dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-VIII/2010, bertanggal
12 Januari 2011, yang dalam pertimbangannya menyatakan pada
pokoknya:
“...Menimbang bahwa terkait dengan kedudukan hukum (legal standing)
para Pemohon sebagai anggota DPR dalam Permohonan ini, Mahkamah
berpendapat bahwa objectum litis permohonan para Pemohon adalam
Pasal 184 ayat (4) UU27/2009 yang menentukan batas minimum jumlah
quorum adalah 3/4 dari jumlah anggota DPR dan untuk pengambilan
keputusan harus disetujui oleh paling sedikit 3/4 dari anggota DPR yang
hadir sebagai syarat agar secara instutisional DPR dapat menggunakan
hak menyatakan pendapat. Menurut Mahkamah “hak menyatakan
pendapat” dalam ketentuan a quo terkait dengan hak konstitusional yang
melekat hanya pada anggota DPR dan tidak merupakan hak warga
negara yang lainnya. Dengan kata lain, DPR sebagai institusi dapat
menggunakan hak tersebut, hanya dengan persetujuan para anggota
DPR yang masing-masing memiliki hak yang dijamin oleh konstitusi untuk
mengontrol jalannya pemerintahan negara. Oleh karena itu, menurut
Mahkamah, para Pemohon selaku anggota DPR di samping memiliki hak
yang secara tegas diatur dalam Pasal 20A ayat (3) dan Pasal 21 UUD
1945 juga memiliki hak-hak konstitusional yang melekat pada hak DPR
sebagai institusi. Konstruksi ini menjadi sangat wajar apabila dikaitkan
dengan prinsip bahwa jabatan anggota DPR adalah jabatan majemuk
yakni jabatan dalam suatu institusi yang keputusannya harus ditetapkan
secara kolektif melalui mekanisme dan quorum tertentu. Dalam kaitan
dengan permohonan ini, hak konstitusional untuk ikut memutuskan
penggunaan “hak menyatakan pendapat” sebagai mekanisme kontrol DPR
atas suatu kebijakan pemerintah, dapat terhalang atau tidak dapat
dilaksanakan dengan adanya ketentuan Pasal 184 ayat (4) UU a quo.
Apalagi jika dikaitkan dengan posisi para Pemohon sebagai anggota DPR
yang jumlahnya minoritas dalam kaitan dengan hal-hal tertentu yang
harus diputuskan oleh DPR seperti dalam hak menyatakan pendapat
menjadi tidak mungkin diloloskan dengan persetujuan 3/4 anggota DPR,
padahal hak menyatakan pendapat adalah dalam rangka berjalannya
sistem demokrasi yaitu check and balance antara lembaga DPR dan
Pemerintahan. Jika demikian maka tidak akan ada suatu mekanisme
untuk meluruskan jalannya sistem demokrasi melalui lembaga DPR
karena syarat persetujuan dan quorum menjadi sangat tinggi (mayoritas
mutlak yaitu 3/4 anggota DPR). Dengan demikian, dalam kasus ini, posisi
anggota DPR berbeda dengan posisi anggota DPR dalam Putusan
Mahkamah Nomor 20/PUU-V/2007, bertanggal 17 Desember 2007 dan
Putusan Nomor 151/PUU-VII/2009, bertanggal 3 Juni 2010, karena dalam
perkara ini yang dipersoalkan adalah hak eksklusif yang hanya dimiliki
oleh para anggta DPR. Oleh sebab itu, menurut Mahkamah, para
Pemohon sebagai anggota DPR khusus dalam permohonan ini memiliki
kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo;” [vide Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-VIII/2010, bertanggal 12 Januari
2011, halaman 90-91]
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XIII/2015, bertanggal
21 Juni 2016, yang pada pertimbangannya menyatakan:
“...bahwa, dengan mendasarkan pada pertimbangan hukum pada huruf b
sampai dengan huruf j di atas, dan dengan mengetengahkan pula fakta
putusan yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah sebagaimana telah
diuraikan pada huruf k di atas, Mahkamah, dalam perkara a quo, perlu
menegaskan kembali bahwa terkait pembatasan pemberian kedudukan
hukum bagi anggota partai politik, untuk mengajukan pengujian Undang-
Undang, adalah dalam kaitannya untuk menghindari terlanggarnya etika
politik atau mencegah terjadinya konflik kepentingan yang terkait
langsung dengan adanya hak dan/atau kewenangan yang melekat pada
DPR secara institusi untuk membentuk Undang-Undang dan/atau Anggota
DPR untuk mengusulkan rancangan Undang-Undang sebagaimana telah
dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Nomor 20/PUU-V/2007, serta
yang terkait pula dengan hak/dan atau kewenangan lainnya yang dimiliki
oleh DPR dan/atau Anggota DPR yang diatur dalam UUD 1945 yang oleh
Mahkamah, beberapa di antaranya, telah dipertimbangkan dalam Putusan
Nomor 23-26/PUU-VIII/2010 dan Putusan Nomor 38/PUU-VIII/2010.
Adapun terhadap persoalan konstitusionalitas lainnya khususnya yang
terkait dengan kedudukan hukum mereka sebagai warga negara
Indonesia yang mempersoalkan konstitusionalitas Undang-Undang apa
pun yang dikaitkan dengan hak-hak konstitusionalitas selaku warga
negara Indonesia baik perorangan dan/atau kelompok orang – kecuali
terhadap Undang-Undang yang mengatur kedudukan, wewenang,
dan/atau hak DPR secara institusi dan/atau Anggota DPR – Mahkamah
akan memeriksa dengan saksama dan memberikan pertimbangan hukum
tersendiri terhadap kedudukan hukum mereka dalam perkara tersebut
sesuai dengan kerugian konstitusional yang didalilkan;” [vide Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XIII/2015, bertanggal 21 Juni 2016,
halaman 47-48]
3. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016, bertanggal
7 September 2016, yang pada pokoknya menyatakan:
“... Dari pertimbangan hukum putusan Mahkamah tersebut [Putusan
Mahakamah Nomor 7/PUU-XIII/2015], maka warga negara Indonesia
yang juga menyandang status sebagai anggota DPR-RI akan
dipertimbangkan tersendiri terhadap kedudukan hukumnya sesuai dengan
kerugian konstitusional yang didalilkan...Bahwa dengan mendasarkan
pada uraian tersebut di atas, Pemohon selaku warga negara Indonesia
yang juga merupakan anggota DPR-RI memiliki hak konstitusional yang
ditentukan dalam UUD 1945 yang secara aktual dirugikan oleh berlakunya
frasa “Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” yang termuat
dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 44 huruf b UU ITE dan
Pasal 26A UU Tipikor, Kejaksaan Agung telah menggunakan alat bukti
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik untuk melakukan
penyelidikan dan pemanggilan terhadap Pemohon, padahal alat bukti
Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut dilakukan oleh
orang atau lembaga yang tidak berwenang untuk itu. Kerugian
konstitusional Pemohon tersebut memiliki hubungan sebab akibat dengan
berlakunya frasa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang
termuat dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Pasal 44 huruf b UU ITE dan
Pasal 26A UU Tipikor. Apabila permohonan Pemohon tersebut dikabulkan
maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak lagi terjadi.”
[vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016, bertanggal
7 September 2016, halaman 88-89]
7) Bahwa berdasarkan putusan tersebut diatas, pengecualian
pemberian legal standing kepada Pemohon-Pemohon tersebut
mempunyai alasan yang spesifik dan Pemohon dalam perkara a quo tidak
termasuk dalam salah satu spesifikasi dalam putusan-putusan Mahkamah
di atas. Terlebih lagi permohonan a quo berkenaan dengan Undang-
Undang Partai Politik yang sejak dari awal Mahkamah tidak pernah
memberikan kedudukan hukum (legal standing) kepada anggota atau
pengurus partai politik karena enyangkut adanya konflik kepentingan
(conflict of interest) partai politik yang ikut membahas dan menyetujui
Undang-Undang a quo.
8) Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas,
Mahkamah berpendapat Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum
(legal standing) selaku Pemohon dalam permohonan pengujian Undang-
Undang a quo.
9) Bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a
quo, namun oleh karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak
mempertimbangkan pokok permohonan.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430