Muhammad Anis Zhafran Al Anwary, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.
Pasal 9 ayat (2) UU 12/2012
Pasal 28, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3), 28F, dan 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 9 ayat (2) UU 12/2012 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, namun sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan yang diajukan Pemohon, Mahkamah perlu mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa Mahkamah telah memeriksa permohonan Pemohon dalam persidangan pendahuluan pada tanggal 15 Juli 2020, dalam persidangan dimaksud Majelis Panel sesuai dengan kewajibannya yang diatur dalam Pasal 39 ayat (2) UU MK, telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki dan memperjelas hal-hal yang berkaitan dengan permohonan Pemohon sesuai dengan sistematika permohonan yang diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK, serta dipertegas dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 6/2005), yang pada pokoknya menyatakan bahwa permohonan diajukan oleh Pemohon dengan memuat uraian mengenai hal yang menjadi dasar permohonan yang meliputi, kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum Pemohon yang berisi uraian yang jelas mengenai anggapan Pemohon tentang hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan, dan alasan permohonan pengujian yang dijelaskan secara jelas dan rinci. Dalam persidangan dimaksud, Majelis Panel juga telah menyampaikan bahwa Pemohon dapat memperbaiki permohonannya dan disampaikan kepada Mahkamah paling lambat pada tanggal 28 Juli 2020, yaitu 14 hari sejak persidangan Pemeriksaan Pendahuluan sesuai dengan ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU MK;
2. Bahwa Pemohon telah melakukan perbaikan permohonannya dan diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 27 Juli 2020, yang kemudian diperiksa dalam sidang pemeriksaan pendahuluan dengan agenda memeriksa perbaikan permohonan pada tanggal 19 Agustus 2020;
3. Bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon Mahkamah menilai permohonan Pemohon sebagai berikut:
a. Terdapat ketidaksesuaian antara posita permohonan Pemohon dengan petitum permohonannya. Dalam menguraikan alasan permohonannya Pemohon pada pokoknya menyatakan bahwa Pasal 9 ayat (2) UU 12/2012 telah menyebabkan adanya diskriminasi akademik karena tidak memberikan hak kebebasan mimbar akademik kepada mahasiswa, namun terbatas hanya kepada profesor dan/atau dosen. Sehingga membatasi kebebasan mahasiswa menyampaikan pikiran, pendapat, dan informasi berbasis akademik yang dikuasainya, dan karenanya telah mendiskreditkan kemampuan mahasiswa untuk mempertanggungjawabkan pikiran, pendapat, dan informasi yang berbasis akademik;
Tuntutan Pemohon agar mahasiswa juga mendapatkan hak kebebasan mimbar akademik sebagaimana profesor dan/atau dosen yang diuraikan dalam positanya tersebut tidak bersesuaian dengan petitum Pemohon yang meminta agar mahasiswa dapat menyatakan secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan dengan rumpun ilmu dan cabang ilmunya, namun tetap berada di bawah naungan guru besar dan/atau dosen yang memiliki otoritas dan wibawa ilmiah. Selengkapnya petitum Pemohon sebagai berikut:
Pasal 9 ayat (2) UU 12/2012 konstitusional bersyarat “sepanjang dimaknai mahasiswa menyatakan secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan dengan rumpun ilmu dan cabang ilmunya dengan tetap berada di bawah naungan guru besar dan/atau dosen yang memiliki otoritas dan wibawa ilmiah”.
Menurut Mahkamah, petitum Pemohon demikian tidak bersesuaian dengan uraian alasan-alasan permohonan Pemohon (posita). Pemohon dalam positanya menganggap mahasiswa tidak boleh didiskriminasi atau dibedakan dengan profesor dan/atau dosen, namun dalam petitum meminta agar mahasiswa dalam membuat pernyataan secara terbuka harus tetap berada di bawah naungan profesor dan/atau dosen. Oleh karena itu, dengan sendirinya Pemohon menyadari bahwa ada ketidaksetaraan antara mahasiswa dengan profesor dan/atau dosen.
Selain itu pemaknaan yang Pemohon mohonkan dalam petitumnya menurut Mahkamah sudah merupakan praktik yang dilakukan selama ini yang sejalan dengan makna Pasal 9 ayat (2) UU 12/2012. Kebebasan mimbar akademik merupakan wewenang profesor dan/atau dosen, namun bukan berarti mahasiswa tidak dapat memiliki hak berpendapat dalam sebuah forum mimbar akademik. Hak berpendapat dari mahasiswa dalam sebuah mimbar akademik tetap berada di bawah naungan profesor dan/atau dosen yang memiliki otoritas dalam rumpun dan cabang ilmunya. Dengan demikian, pemaknaan yang Pemohon minta dalam petitumnya sesungguhnya sudah merupakan praktik yang lazim terjadi di perguruan tinggi.
Ketidaksesuaian antara posita dan petitum ini menurut Mahkamah telah menimbulkan ketidakjelasan atau kabur, sehingga Mahkamah sulit untuk memahami maksud permohonan Pemohon.
b. Pada bagian petitum Pemohon yang telah disebutkan di atas, Pemohon meminta Pasal 9 ayat (2) UU 12/2012 dinyatakan konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai mahasiswa menyatakan secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan dengan rumpun ilmu dan cabang ilmunya dengan tetap berada di bawah naungan guru besar dan/atau dosen yang memiliki otoritas dan wibawa ilmiah. Untuk menilai petitum Pemohon, Mahkamah mendasarkan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf d PMK 6/2005 yang menegaskan bahwa hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian materiil sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (3) huruf d PMK 6/2005, yaitu:
- mengabulkan permohonan Pemohon;
- menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud bertentangan dengan UUD 1945;
- menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Namun dalam petitum permohonannya, ternyata Pemohon tidak mencantumkan pernyataan bahwa Pasal 9 ayat (2) UU 12/2012 “bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat” sebagaimana dikehendaki dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d PMK 6/2005 di atas. Penegasan adanya pertentangan dengan UUD 1945 dan pernyataan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat ini penting mengingat pengujian norma undang-undang terhadap UUD 1945 dapat dipertimbangkan oleh Mahkamah untuk dikabulkan apabila dalam permohonannya jelas ada persoalan konstitusionalitas terhadap norma yang dimohonkan pengujian. Dalam pengujian undang-undang sesuai dengan ketentuan Pasal 58 UU MK, adanya pertentangan antara norma undang-undang dengan UUD 1945 yang menjadi dasar pengujian merupakan alasan utama diajukannya permohonan, yang selanjutnya pertentangan tersebut diuraikan dalam posita permohonan. Namun oleh karena dalam petitum permohonan Pemohon tidak memenuhi syarat formal ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf d PMK 6/2005 sebagai pelaksana UU MK, sehingga menurut Mahkamah petitum permohonan Pemohon a quo tidak jelas atau kabur.
Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon adalah kabur, karena tidak memenuhi syarat formal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 UU MK dan Pasal 5 ayat (1) PMK 6/2005.
[3.8] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, dan Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, namun oleh karena permohonan Pemohon adalah kabur, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan Pemohon.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430