Perkumpulan Aliansi Masyarakat Sipil Blora, Sujad, Dr. Umar Ma’ruf, S.H., CN., M.Hum, Jalal Umaruddin, H. Susanto Rahardjo, Febrian Candra Widya Atmaja dan Exi Agus Wijaya yang memberikan kuasa kepada Arif Sahudi, S.H., M.H. dkk, para Advokat dan Konsultan Hukum pada Kantor Advokat “Kartika Law Firm”, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.
Pasal 19 ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf b dan Pasal 20 ayat (2) huruf b UU 33/2004
Pembukaan UUD NRI Alinea ke-4 dan Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Kabupaten/Kota adalah termasuk dalam Wilayah Kerja (WK) penghasil yang mempunyai cadangan sumber daya alam tersebut” karena dinilai telah merugikan dan melanggar hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon.
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap Pasal 19 ayat (2) huruf b dan Pasal 20 ayat (2) huruf b UU 33/2004, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.3] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon, sebagai berikut:
[3.3.1] Menimbang bahwa Pemohon I dalam permohonan a quo menerangkan kualifikasinya sebagai perorangan yang menjadi pengurus badan hukum berupa lembaga kemasyarakatan yang bergerak di bidang memprakarsai, memfasilitasi, dan mengembangkan terwujudnya pembagian dana bagi hasil migas Blok Cepu bagi daerah Kabupaten Blora dan mendorong tumbuhnya perhatian, partisipasi, dan komitmen masyarakat dalam mendukung pelaksanaan program-program pemerintah di perkumpulan guna meningkatkan martabat bangsa dan negara melalui pembagian dana bagi hasil migas yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3) Akta Notaris Nomor 48, Akta Pendirian Perkumpulan Aliansi Masyarakat Sipil Blora yang telah terdaftar di kantor Notaris Elizabeth Estiningsih, S.H., bertanggal 08 Agustus 2019 [vide Lampiran 1 permohonan para Pemohon];
[3.3.2] Menimbang bahwa Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, Pemohon VI, dan Pemohon VII, dalam permohonan a quo menerangkan kualifikasinya sebagai warga negara Indonesia, beranggapan hak konstitusional para Pemohon dengan tidak didapatkannya Dana Bagi Hasil dari Blok Cepu untuk Kabupaten Blora yang masuk dalam Wilayah Kerja, sedangkan Kabupaten Banyuwangi [Sic!] yang bukan masuk dalam Wilayah Kerja justru mendapatkan bagian dari Dana Bagi Hasil Blok Cepu dengan perbandingan antara Blora dengan Bojonegoro sangat berbeda jauh, karena Dana Bagi Hasil yang diperoleh Bojonegoro dari Blok Cepu sangat besar dari tahun 2016 serta selalu mengalami peningkatan hingga di tahun 2019, Dana Bagi Hasil yang diperoleh Bojonegoro sebesar 2,7 Triliun yang berkontribusi sangat besar untuk Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kabupaten Bojonegoro. Sedangkan Dana Bagi Hasil khusus dari Blok Cepu yang diperoleh Kabupaten Blora adalah 0 (nol) rupiah, oleh karenanya secara potensial dirugikan dengan berlakunya norma pasal-pasal yang diajukan pengujian [vide permohonan para Pemohon halaman 10];
[3.3.3] Menimbang bahwa berkaitan dengan permohonan para Pemohon Mahkamah dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada tanggal 11 Agustus 2020, berdasarkan ketentuan Pasal 39 UU MK, Panel Hakim karena kewajibannya telah memberikan nasihat kepada para Pemohon untuk memperbaiki sekaligus memperjelas hal-hal yang berkaitan dengan para Pemohon dan permohonannya sesuai dengan sistematika permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU MK dan Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 6/PMK/2005);
[3.3.4] Menimbang bahwa Pemohon telah melakukan perbaikan permohonannya sebagaimana telah diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 24 Agustus 2020 dan diperiksa dalam sidang pemeriksaan perbaikan permohonan pada tanggal 3 September 2020. Dalam perbaikan permohonannya, para Pemohon telah menguraikan sistematika: Judul, Identitas Para Pemohon, Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Kedudukan Hukum Para Pemohon, Norma-norma yang Diajukan Untuk Diuji, Alasan Permohonan, dan Petitum;
[3.3.5] Menimbang bahwa para Pemohon prinsipal dalam Surat Kuasa Khusus memberi kuasa kepada Arif Sahudi, S.H., M.H., Sigit Nugroho Sudibyanto, S.H., M.H., Georgius Limart Siahaan, S.H., Mohammad Arnaz, S.H., Utomo Kurniawan, S.H., dan Dwi Nurdiansyah Santoso, S.H., akan tetapi atas nama kuasa Mohammad Arnaz, S.H. dalam permohonan awal maupun pemohonan perbaikan tidak pernah turut menandatangani permohonan dimaksud, sehingga Mahkamah mengesampingkan kuasa hukum atas nama Mohammad Arnaz, S.H. dalam permohonan a quo;
Bahwa dalam sidang pemeriksaan perbaikan permohonan pada tanggal 3 September 2020, berkaitan dengan kedudukan hukum, para Pemohon menyatakan bahwa atas nama Georgius Limart Siahaan, S.H. dalam hal ini bertindak sebagai kuasa hukum dianggap tidak sebagai kuasa lagi karena tidak menandatangani surat perbaikan permohonan dan untuk Pemohon VIII dan Pemohon IX dianggap tidak sebagai Pemohon lagi karena menarik diri sebagai Pemohon [vide Risalah Sidang Perbaikan Permohonan Nomor 63/PUU-XVIII/2020, bertanggal 3 September 2020];
[3.3.6] Menimbang bahwa sidang pemeriksaan perbaikan permohonan pada tanggal 3 September 2020, para Pemohon juga meminta kepada Panel Hakim untuk melaksanakan sidang perbaikan permohonan kedua dengan alasan sebagian Pemohon belum menjelaskan kerugian konstitusional untuk mengajukan permohonan. Namun, Panel Hakim menyatakan bahwa dalam hukum acara Mahkamah tidak dikenal sidang perbaikan kedua kecuali Mahkamah memandang perlu untuk melaksanakan sidang pemeriksaan perbaikan tambahan untuk meminta klarifikasi terhadap hal-hal tertentu yang bersifat khusus dan dianggap perlu [vide Risalah Sidang Perbaikan Permohonan Nomor 63/PUU-XVIII/2020, bertanggal 3 September 2020];
[3.3.7] Menimbang bahwa meskipun format perbaikan permohonan para Pemohon sebagaimana dimaksud pada Paragraf [3.3.4], Paragraf [3.3.5], dan Paragraf [3.3.6] pada dasarnya telah memuat format suatu permohonan pengujian undangundang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU MK dan Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d PMK 6/PMK/2005, namun setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama alasan-alasan mengajukan permohonan para Pemohon setelah dilakukan perbaikan dalam permohonannya, bahwa pokok permohonan a quo adalah mengenai norma dalam UU 33/2004 yang mengatur persentase pembagian Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Minyak dan Gas Bumi kepada kabupaten/kota penghasil. Menurut para Pemohon, aturan ini menyebabkan kerugian hak konstitusional berupa hak untuk mendapatkan manfaat dari penggunaan kekayaan alam yang dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat dan tidak mencerminkan adanya kesatuan ekonomi nasional dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia, sehingga berdampak pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Blora yang tidak mendapatkan Dana Bagi Hasil secara maksimal dari Blok Cepu, yang berpengaruh terhadap anggaran pendidikan, kebutuhan akan listrik, dan pembangunan infrastruktur sarana dan prasarana yang lambat dan terbatas bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Blora.
Terhadap uraian para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukum para Pemohon, menurut Mahkamah, norma Pasal 19 ayat (2) huruf b, ayat (3) huruf b, dan Pasal 20 ayat (2) huruf b UU 33/2004 yang diajukan pengujiannya oleh para Pemohon adalah norma yang mengatur mengenai hak daerah, sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan norma a quo bahwa “Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Minyak Bumi dan Pertambangan Gas Bumi yang dibagikan kepada Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf e angka 2 dibagi dengan rincian: a… b. 6% (enam persen) dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil…” dan Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Gas Bumi yang dibagikan kepada Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf f angka 2 dibagi dengan rincian: a… b. 12% (dua belas persen) dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil…”. Daerah yang dimaksud dalam ketentuan ini dapat berarti daerah kabupaten/kota. Oleh karena hal ini merupakan hak daerah, lebih khusus lagi adalah hak pemerintah kabupaten/kota, maka yang seharusnya dapat mempersoalkan konstitusionalitas norma a quo adalah pemerintah kabupaten/kota, bukan perorangan warga negara (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama).
Berdasarkan uraian di atas, oleh karena substansi permohonan a quo adalah berkenaan dengan hak daerah, baik daerah provinsi maupun kabupaten/kota, apabila berkenaan dengan hak tersebut terdapat norma yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 maka yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan adalah pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota. Berkenaan dengan hal ini, Mahkamah perlu menegaskan bahwa terhadap persoalan konstitusionalitas yang terkait dengan hak pemerintah daerah telah diputuskan dalam putusan-putusan Mahkamah sebelumnya, di antaranya, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011, bertanggal 21 Februari 2012, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XIII/2015, bertanggal 13 Oktober 2016, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 136/PUU-XIII/2015, bertanggal 11 Januari 2017, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 89/PUUXVI/2018, bertanggal 24 Januari 2019. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XIII/2015, Mahkamah mempertimbangkan antara lain:
Apabila terhadap urusan pemerintahan yang diselenggarakan oleh pemerintahan daerah ada pihak yang secara aktual ataupun potensial menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU Pemda maka pihak dimaksud adalah Pemerintahan Daerah, baik Pemerintah Daerah provinsi atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota. Sehingga, pihak yang dapat mengajukan permohonan dalam kondisi demikian adalah Kepala Daerah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yaitu Gubernur bersama-sama dengan DPRD Provinsi untuk Pemerintahan Daerah Provinsi atau Bupati/Walikota bersama-sama dengan DPRD Kabupaten/Kota untuk Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUUXIII/2015, hlm. 59].
Sementara dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 89/PUUXVI/2018, Mahkamah mempertimbangkan antara lain:
Walaupun permohonan pengujian dalam putusan-putusan Mahkamah di atas bukan terkait dengan norma dalam UU 33/2004 tetapi terkait dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah (in casu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, selanjutnya disebut UU 23/2014) namun secara substansi adalah menyangkut hak dan/atau urusan yang menjadi kewenangan daerah, sehingga terlepas dari soal apakah yang dipersoalkan itu adalah UU 23/2014 ataupun UU 33/2004 sepanjang menyangkut hak dan/atau urusan yang menjadi kewenangan daerah maka yang mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian adalah pemerintahan daerah. Urusan-urusan pemerintahan yang kewenangannya diserahkan kepada daerah baik berdasarkan desentralisasi, dekonsentrasi, atau tugas pembantuan tidak akan dpat dilaksanakan tanpa diikuti dengan pembagian keuangan pusat dan daerah. Hal ini pun dapat dipahami dari Konsiderans “Menimbang” huruf c UU 33/2004 yang menyatakan “untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pendanaan berdasarkan kewenangan Pemerintah Pusat, Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Perbantuan, perlu diatur perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berupa sistem keuangan yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang jelas antarsusunan pemerintahan” [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 89/PUU-XVI/2018, hlm. 46-47].
Dengan demikian, oleh karena substansi permohonan a quo adalah berkenaan dengan pembagian dana bagi hasil di mana persoalan dana bagi hasil tersebut merupakan hak daerah sehingga merupakan bagian dari persoalan hak dan/atau urusan yang menjadi kewenangan daerah. Oleh karena itu, sesuai dengan pertimbangan hukum Mahkamah di atas, maka pihak yang dapat mengajukan permohonan pengujian norma yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon adalah Pemerintah Daerah, bukan orang perorangan, kelompok orang, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat [vide Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya]. Dengan demikian, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo.
[3.4] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon, Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430