Mayjend TNI (Purn) Kivlan Zen, S.I.P., M.Si., yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Ir. Tonin Tachta Singarimbun S.H., dkk dari kantor Advokat Andita’s Law
Pasal 1 ayat (1) UU 12/Drt/1951
Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI
[3.3.3] Bahwa meskipun format perbaikan permohonan Pemohon sebagaimana dimaksud pada Paragraf [3.3.2] pada dasarnya telah sesuai dengan format permohonan pengujian undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU MK serta Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d PMK Nomor 6/PMK/2005, namun setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama alasan-alasan mengajukan permohonan Pemohon setelah dilakukan perbaikan dalam permohonannya, Pemohon tidak dapat menguraikan secara spesifik adanya hubungan kausalitas bahwa dengan berlakunya pasal yang dimohonkan pengujian dianggap merugikan Pemohon sebagai warga negara yang ditetapkan sebagai tersangka, terdakwa, maupun terpidana. Dalam argumentasi mengenai kedudukan hukum, Pemohon hanya menguraikan kasus konkret yang tidak ada relevansinya dengan norma yang diajukan, seperti permasalahan dugaan pembocoran isi Berita Acara Pemeriksaan (BAP), dugaan pelanggaran hak Pemohon dalam melakukan demonstrasi, hingga argumentasi belum disahkannya norma UU 12/Drt/1951 oleh DPR.
Selain itu, dalam alasan permohonan, Pemohon sama sekali tidak menyampaikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal yang dimohonkan pengujian dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD 1945. Permohonan lebih banyak menguraikan kasus konkret yang dialami Pemohon tanpa adanya argumentasi yang jelas mengenai pertentangan norma yang diajukan dengan norma dasar dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian. Selain itu, baik dalam uraian mengenai kedudukan hukum dan dalam alasan permohonan, Pemohon tidak menguraikan dengan jelas kaitan antara kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon dengan inkonstitusionalitas norma. Terlebih lagi pada perbaikan permohonan terdapat pula ketidakjelasan mengenai norma yang disebutkan dalam Petitum angka (2) dan angka (3), di mana Pemohon menyebutkan norma yang diminta untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang senjata api, padahal Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 adalah Undang-Undang tentang Mengubah Ordonnantie Tijdelijke Bijzondere Strafbepalingen (STBL. 1948 Nomor 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948 sehingga terdapat ketidakjelasan petitum permohonan.
Berkenaan dengan hal di atas, walaupun dalam persidangan tanggal 15 Juni 2020, Pemohon melalui kuasanya telah menyampaikan perbaikan (renvoi), terhadap rumusan petitum angka (2) dan angka (3) tersebut, namun menurut Mahkamah renvoi tersebut bersifat substantif dan telah melewati tenggang waktu perbaikan permohonan yaitu tanggal 26 Mei 2020 sehingga Mahkamah hanya mempertimbangkan berkas permohonan yang diperbaiki sebelum tenggat tersebut dan tidak akan mempertimbangkan renvoi permohonan a quo. Jikapun renvoi tersebut dipertimbangkan oleh Mahkamah sebagai perbaikan permohonan, tetap tidak dapat memperjelas uraian permohonan baik mengenai uraian kerugian konstitusional maupun alasan permohonan. Padahal, Mahkamah dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan pada tanggal 13 Mei 2020 telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya sesuai dengan ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU MK dan menguraikan argumentasi kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon dalam menguraikan kedudukan hukum serta memperjelas argumentasi dalam pokok permohonan terkait dengan alasan-alasan norma undang-undang yang dimohonkan pengujian tersebut dianggap bertentangan dengan UUD 1945 [vide Risalah Sidang Pemeriksaan Pendahuluan tanggal 13 Mei 2020]. Namun demikian, permohonan Pemohon tetap sebagaimana diuraikan di atas.
Dengan demikian, Mahkamah tidak dapat memahami alasan permohonan Pemohon jika dikaitkan dengan petitum permohonan yang meminta agar pasal yang diuji konstitusionalitasnya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh karena ketidakjelasan dimaksud, Mahkamah juga menjadi sulit untuk menentukan apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum atau tidak untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo. Andaipun jika Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non, permohonan Pemohon adalah kabur;
[3.4] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena permohonan Pemohon kabur sehingga tidak memenuhi syarat formal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 ayat (1) UU MK, oleh karena itu Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan Pemohon lebih lanjut.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430