Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 18/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 22-07-2020

Tiuridah Silitonga, S.T., M.M., Indrawan Susilo Prabowoadi, S.H., M.H., Nurhidayat, S. Sos., dan Mohammad Fadli, S.H.,

Pasal 134 ayat (4), Pasal 134 ayat (5), Pasal 134 ayat (6) dan Pasal 143 ayat (2) UU Pilkada

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
1. …;
6. Bahwa sebagaimana diterangkan dalam Permohonan a quo, hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon dirugikan oleh berlakunya Undang- Undang, in casu UU Pilkada. Dengan berlakunya Pasal 134 ayat (4), Pasal 134 ayat (5) dan Pasal 134 ayat (6) serta Pasal 143 ayat (2) UU Pilkada yang tidak memberikan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum yang apabila kata “hari” yang dimaksud dalam ketentuan pasal a quo merupakan “hari kalender” sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 28 UU Pilkada. Hari kalender memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan hari kerja, yang mana untuk hari kerja tidak dihitung termasuk hari Sabtu dan hari Minggu serta hari libur nasional. Hal ini berbeda dengan tenggang waktu hari kalender yang lebih sedikit karena hari Sabtu dan hari Minggu serta hari libur nasional termasuk bagian yang dihitung. Maka hal itu akan merugikan hak konstitusional para Pemohon yang kepadanya melekat hak untuk mendapatkan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum sebagaimana diamanatkan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
7. Bahwa selain itu, berkenaan dengan jangka waktu tindak lanjut temuan dan laporan pelanggaran berdasarkan Pasal 134 ayat (5) UU Pilkada, waktu yang diberikan untuk menindaklanjuti laporan pelanggaran pemilihan, menentukan “paling lama 3 (tiga) hari setelah laporan diterima”. Sementara berdasarkan Pasal 454 ayat (7) UU Pemilu, waktu yang diberikan untuk menindaklanjuti temuan dan/atau laporan pelanggaran pemilu, menentukan “paling lama 7 (tujuh) hari setelah temuan dan laporan diterima dan diregistrasi”. Perbedaan jangka waktu tindak lanjut penanganan pelanggaran antara UU Pilkada dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terlihat sangat signifikan dan berpotensi mengurangi kualitas dalam tataran pelaksanaan penanganan pelanggaran pemilihan. Maka hal itu akan merugikan hak konstitusional para Pemohon yang kepadanya melekat hak untuk mendapatkan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum sebagaimana diamanatkan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
8. Bahwa menurut para Pemohon, berdasarkan Pasal 134 ayat (6) UU Pilkada, waktu keterangan tambahan mengenai tindak lanjut laporan pelanggaran pemilihan, menentukan “paling lama 2 (dua) hari”. Sementara berdasarkan Pasal 454 ayat (8) UU Pemilu, waktu keterangan tambahan mengenai tindak lanjut temuan dan/atau laporan pelanggaran pemilu, menentukan “paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah temuan dan laporan diterima dan diregistrasi”. Perbedaan pengaturan jangka waktu di atas terlihat signifikan dan berpotensi mengurangi kualitas dalam tataran pelaksanaan penanganan pelanggaran pemilihan, maka hal itu akan merugikan hak konstitusional para Pemohon yang kepadanya melekat hak untuk mendapatkan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diamanatkan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Bahwa berdasarkan uraian pada angka 1 sampai dengan angka 8 di atas, terlepas dari terbukti atau tidak terbuktinya dalil para Pemohon perihal pertentangan norma, khususnya Pasal 134 ayat (4), Pasal 134 ayat (5), Pasal 134 ayat (6) dan Pasal 143 ayat (2) UU Pilkada dengan UUD 1945, menurut Mahkamah, para Pemohon telah menguraikan secara spesifik dan adanya hubungan kausalitas bahwa berlakunya ketentuan Pasal 134 ayat (4), Pasal 134 ayat (5), Pasal 134 ayat (6) dan Pasal 143 ayat (2) UU Pilkada telah merugikan atau potensial merugikan para Pemohon. Oleh karena itu, para Pemohon telah dapat menerangkan anggapan kerugian atau setidak-tidaknya kerugian potensial yang dialami atau yang akan dialami para Pemohon dengan berlakunya Pasal 134 ayat (4), Pasal 134 ayat (5), Pasal 134 ayat (6) dan Pasal 143 ayat (2) UU Pilkada yang diajukan permohonan pengujian konstitusionalitasnya. Sehingga dengan demikian, menurut Mahkamah, para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo;

[3.6] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili Permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo, maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan provisi dan pokok permohonan para Pemohon.

Dalam Provisi
[3.7] Menimbang bahwa permohonan Provisi para Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk menjadikan perkara a quo sebagai prioritas agar dapat diputuskan sebelum dilaksanakannya tahapan pencocokan dan penelitian daftar pemilih dan/atau setidak-tidaknya sebelum tahapan verifikasi faktual syarat dukungan pasangan calon perseorangan di tingkat desa/kelurahan. Terhadap alasan permohonan provisi para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah oleh karena tahapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah telah diubah sebagai konsekuensi perubahan jadwal pemungutan suara berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, maka alasan permohonan Provisi dimaksud tidak relavan lagi untuk dipertimbangkan, sehingga harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.

Dalam Pokok Permohonan
[3.8] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas bersyarat Pasal 134 ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan Pasal 143 ayat (2) UU Pilkada, para Pemohon mengemukakan argumentasi sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa menurut para Pemohon, waktu proses penanganan pelanggaran dalam UU Pilkada, dapat menggangu performa Bawaslu, khususnya Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota dalam mewujudkan penegakan hukum pemilihan yang optimal. Keadaan inilah yang mendorong para Pemohon mengambil inisiatif untuk mengusulkan pengujian materiil terhadap ketentuan kata “hari” dalam Pasal 134 ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan Pasal 143 ayat (2) UU Pilkada. Berkenaan dengan ketentuan kata “hari”, UU Pilkada masih mendefinisikannya sebagai “hari kalender” sebagaimana tertulis dalam ketentuan Pasal 1 angka 28. Bagi para Pemohon, definisi kata “hari” akan menimbulkan permasalahan terutama dalam upaya penanganan pelanggaraan dan/atau penyelesaian sengketa pemilihan yang menjadi tidak berkualitas karena tidak dapat dilakukan secara lebih komperhensif dan lebih optimal;
2. Bahwa menurut para Pemohon, waktu “hari kalender” dihitung secara hari normal, yaitu termasuk hari Sabtu, hari Minggu dan hari libur nasional, di mana penanganan pelanggaran dan/atau penyelesaian sengketa tidak dapat dilakukan secara komprehensif dan lebih optimal karena institusi pihak terkait memiliki hari kerja sebagai patokan sehingga akan berakibat turunnya kualitas proses penanganan pelanggaran dan/atau penyelesaian sengketa tersebut. Oleh karena itu kata “hari” di dalam ketentuan Pasal 134 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) serta Pasal 143 ayat (2) UU Pilkada dinilai bertentangan dengan norma Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;
3. Bahwa para Pemohon juga mengajukan pengujian konstitusionalitas terhadap jangka waktu tindak lanjut laporan pelanggaran yang telah dikaji dan terbukti kebenarannya. Berdasarkan Pasal 134 ayat (5) UU Pilkada, tindak lanjut terhadap laporan ditentukan “paling lama 3 (tiga) hari setelah laporan diterima”. Sementara itu, Pasal 454 ayat (7) UU Pemilu menentukan “paling lama 7 (tujuh) hari setelah temuan dan laporan diterima dan diregistrasi”. Ditambah lagi, jangka waktu bagi pengawas pemilu untuk meminta keterangan tambahan dari pelapor, Pasal 134 ayat (6) UU Pilkada menentukan “paling lama 2 (dua) hari”. Sementara Pasal 454 ayat (8) UU Pemilu justru menentukan paling lama “14 (empat belas) hari kerja setelah temuan dan laporan diterima dan diregistrasi”;
4. Menurut para Pemohon, perbedaan limitatif waktu tindak lanjut penanganan pelanggaran tersebut akan menimbulkan permasalahan terutama dalam upaya penanganan pelanggaraan pemilihan. Oleh karena itu, frasa “paling lama 3 (tiga) hari” dalam ketentuan Pasal 134 ayat (5) UU Pilkada dan frasa “paling lama 2 (dua) hari” dalam ketentuan Pasal 134 ayat (6) UU Pilkada dinilai bertentangan dengan norma Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
5. Bahwa berdasarkan dalil-dalil di atas, para Pemohon memohon yang pada pokoknya agar Mahkamah:
Pertama, menyatakan Pasal 134 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU Pilkada, perihal kata “hari” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai “hari kerja”;
Kedua, menyatakan Pasal 143 ayat (2) UU Pilkada, perihal kata “hari” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai “hari kerja”;
Ketiga, menyatakan Pasal 134 ayat (5) UU Pilkada, perihal frasa “paling lama 3 (tiga) hari” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai “paling lama 7 (tujuh) hari kerja”;
Keempat, menyatakan Pasal 134 ayat (6) UU Pilkada, perihal frasa “paling lama 2 (dua) hari” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai “14 (empat belas) hari kerja setelah temuan dan laporan diterima dan diregistrasi”.

[3.9] …;

[3.10] Menimbang bahwa oleh karena Permohonan a quo telah jelas, Mahkamah berpendapat tidak terdapat urgensi maupun kebutuhan untuk mendengar keterangan pihak-pihak sebagaimana disebut dalam Pasal 54 UU MK;

[3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dan memeriksa dengan saksama permohonan para Pemohon dan bukti-bukti yang diajukan, masalah konstitusional dalam Permohonan a quo adalah berkenaan Pasal 134 ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan Pasal 143 ayat (2) UU Pilkada yang menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

[3.12] Menimbang bahwa para Pemohon pada esensinya mempersoalkan dua hal pokok, yaitu:
Pertama, bahwa kata “hari” sebagaimana dimaksud dalam norma-norma a quo adalah “hari kalender” sebagaimana didefinisikan dalam ketentuan Pasal 1 angka 28 UU Pilkada, menurut para Pemohon, memaknai hari sebagai hari kalender dalam konteks penanganan laporan pelanggaran dan penyelesaian sengketa proses pemilihan kepala daerah tidak memberikan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum terhadap penanganan pelanggaran dan/atau penyelesaian sengketa pemilihan;
Kedua, bahwa singkatnya tenggat waktu untuk penanganan laporan pelanggaran pemilihan dan pemeriksaan sengketa pemilihan kepala daerah menyebabkan proses penegakan hukum pemilihan tidak dapat berjalan secara optimal seperti praktik dalam Pemilihan Umum 2019, terutama pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD sehingga asas kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan dari penanganan pelanggaran pemilihan tidak akan terpenuhi;

[3.13] Menimbang bahwa terhadap pokok permohonan sebagaimana didalilkan para Pemohon, pertanyaan konstitusional yang harus dijawab adalah apakah makna “hari” sebagai “hari kalender” dan tenggat waktu penanganan pelanggaran dan sengketa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimuat dalam Pasal 134 ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan Pasal 143 ayat (2) dalam UU Pilkada tidak memberikan jaminan perlindungan hak dan ketidakpastian hukum yang adil sehingga menyebabkan tidak optimalnya upaya penanganan pelanggaran pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.

[3.14] Menimbang bahwa sebelum menguraikan pokok permohonan sebagaimana dikemukakan di atas, Mahkamah akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, bahwa mekanisme penegakan hukum pemilu merupakan bagian dari sarana untuk mewujudkan keadilan pemilu, termasuk dalam hal ini penegakan hukum dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Mekanisme penegakan hukum pemilu dalam konteks penyelenggaraan pilkada diatur dalam UU Pilkada, yaitu mencakup penanganan pelanggaran, penyelesaian sengketa proses pilkada, dan penyelesaian sengketa hasil pilkada. Pengaturan mekanisme penegakan hukum pemilu, termasuk penegakan hukum pilkada, setidak-tidaknya harus mempertimbangkan aspek ketersediaan ruang dan waktu yang cukup bagi sebuah proses penyelesaian masalah hukum pemilu yang dijalankan secara pasti dan adil, serta aspek ketaatan pada jadwal penyelenggaraan pemilu yang telah ditetapkan agar tidak mengganggu tahapan penyelenggaraan pemilihan. Dalam arti, penentuan mekanisme dan waktu penyelesaian masalah hukum pemilu di samping harus dapat memberikan kepastian dan jaminan keadilan bagi hak pilih yang terlanggar, juga harus memerhatikan kepastian hukum pelaksanaan pemilu sesuai tahapan yang telah ditentukan ketentuan perundang-undangan. Perihal ini, keseimbangan atau proporsionalitas keduanya dalam pengaturan mekanisme penyelesaian masalah hukum pemilihan kepala daerah akan turut menentukan terpenuhi-tidaknya asas pemilu yang jujur dan adil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Kedua, bahwa jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dinormakan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dimaknai segala tindakan negara dan penyelenggara negara didasarkan atas hukum. Pada saat yang sama, kepastian hukum juga dimaknai hukum yang diterapkan memiliki kejelasan, baik aspek pengaturan maupun implementasinya. Dalam hal ini, bila dikaitkan dengan kepastian hukum, proses/mekanisme penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa pilkada, maka dapat dimaknai sebagai kejelasan pengaturan mekanisme pananganan pelanggaran dan sengketa pilkada. Dalam arti, norma yang mengatur masalah tersebut dirumuskan secara jelas, tegas dan tidak multitafsir, terutama perihal mekanisme yang mencakup pengaturan proses dan tahap penanganan, pengaturan jangka waktu yang jelas sesuai dengan kerangka tahapan pemilihan dan dalam pelaksanaannya tidak dimaknai dan diimplementasikan secara berbeda-beda.
Ketiga, bahwa penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa proses pilkada merupakan bagian dari proses penyelesaian masalah hukum secara cepat (speedy trial), sehingga tenggang waktu penyelesaiannya tunduk pada pembatasan waktu yang ketat. Pembatasan tenggat waktu dimaksud juga berhubungan erat dengan ketatnya waktu pelaksanaan setiap tahapan pemilihan kepala daerah. Ketepatan penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa dalam waktu yang sangat terbatas merupakan bagian dari bagaimana mekanisme hukum pemilihan berperan melindungi hak pilih dan mewujudkan keadilan pemilihan, in casu pemilihan kepala daerah.
Keempat, bahwa terkait dengan bagaimana mekanisme penanganan pelanggaran serta berapa lama waktu penanganan yang disediakan, merupakan yurisdiksi atau kewenangan pembentuk undang-undang. Dalam pengaturan mekanisme penanganan pelanggaran dan penyelesaiannya harus mempertimbangkan secara proporsional antara aspek ketersediaan waktu dalam penanganan pelanggaran dengan jadwal penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang amat ketat dan terbatas, serta proses/mekanisme penanganan yang jelas sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan alasan-alasan sebagaimana diuraikan di atas, terhadap dalil-dalil yang dikemukakan para Pemohon, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Pertama, bahwa makna “hari” sebagaimana diatur dalam Pasal 134 ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan Pasal 143 ayat (2) UU Pilkada sebagai hari kalender merupakan makna yang sama bagi seluruh maksud kata “hari” dalam UU Pilkada. Semua tenggang waktu pelaksanaan tahapan-tahapan pilkada diukur menggunakan “hari” kalender, kecuali untuk beberapa hal khusus yang secara tegas menggunakan kata “hari kerja”. Perihal kata “hari” dalam ketentuan norma a quo ditentukan sebagai hari kerja sebagaimana didalilkan para Pemohon, sementara norma lain terkait tenggang waktu pelaksanaan tahapan pemilihan kepala daerah tetap menggunakan ukuran “hari kalender” maka akan sangat mungkin terjadi kesenjangan dan ketidaksinkronan ukuran tenggang waktu pelaksanaan tahapan yang pada gilirannya potensial menimbulkan/berdampak pada ketidakpastian perihal penyelesaian tahapan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Oleh karena hal tersebut potensial menimbulkan ketidakpastian hukum, maka dengan sendirinya memaknai kata “hari” dalam pasal-pasal a quo dapat merusak desain tahapan pemilihan kepala daerah yang secara ketat telah diperhitungkan dalam peraturan perundang-undangan, termasuk pasal- pasal yang dimohonkan para Pemohon.
Bahwa pengaturan mekanisme dan batas waktu penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah sebagaimana diatur dalam norma-norma a quo sama sekali tidak dapat dikualifikasikan telah menyebabkan tidak adanya jaminan kepastian hukum. Sebab, dalam pasal-pasal dimaksud sama sekali tidak ditemukan adanya ketidakjelasan, ketidaklengkapan ataupun pengaturan yang multitafsir. Mekanisme penanganan laporan dan penyelesaian sengketa telah diatur secara jelas dengan batas waktu yang juga pasti, sehingga proses penanganan pelanggaran pun sesungguhnya sudah memenuhi standar kepastian hukum. Bahkan dengan ketentuan a quo, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/kota dapat dikatakan telah memiliki panduan hukum yang jelas dalam melakukan penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa yang terjadi dalam pilkada.
Bahwa hal ihwal optimal atau tidaknya pelaksanaan penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah oleh Bawaslu sebagaimana yang juga didalilkan oleh para Pemohon, bukanlah masalah konstitusionalitas norma, melainkan masalah implementasi norma. Dalam arti, hal tersebut terkait bagaimana Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/kota mengatur atau membuat desain serta strategi pengawasan dan penegakan hukum pemilihan kepala daerah yang lebih efektif, sehingga tenggat waktu berdasarkan ukuran hari kalender yang disediakan undang-undang dapat dipenuhi secara baik dan optimal. Oleh karena norma-norma a quo tidak mengandung ketidakpastian hukum sebagaimana didalilkan para Pemohon, maka dalil para Pemohon sepanjang makna hari sebagai hari kalender telah menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum tidak beralasan menurut hukum.
Kedua, bahwa terkait lama waktu tindak lanjut terhadap laporan yang telah dikaji dan terbukti kebenaran sebagaimana diatur dalam Pasal 134 ayat (5) dan jangka waktu untuk meminta keterangan tambahan dari pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (6) UU Pilkada, hal ini juga berkaitan atau tidak dapat dipisahkan dengan beban kerja dan lingkup kerja penanganan pelanggaran dan sengketa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.
Bahwa dengan membandingkan beban kerja penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dengan beban kerja penyelenggaraan pemilihan umum serentak yang dilaksanakan tahun 2019, beban kerja pemilihan umum jauh lebih berat dalam berbagai aspek dibandingkan beban penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Beban tersebut termasuk beban kerja penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah yang tentunya tidaklah seberat penanganan pelanggaran dan sengketa pemilihan umum terutama pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD. Berdasarkan aspek beban kerja dimaksud, membandingkan batas waktu yang disediakan dalam penyelesaian pelanggaran Pilkada dengan tenggang waktu penyelesaian pelanggaran pemilu merupakan sesuatu yang tidak tepat.
Bahwa dari aspek kepesertaan, misalnya, pemilihan kepala daerah hanya diikuti oleh satu jenis peserta pemilihan, yaitu pasangan calon. Jumlah pasangan calon peserta pemilihan kepala daerah juga terbatas. Terbatasnya jumlah peserta berdampak terhadap fokusnya proses pengawasan pemilihan dan berpotensi untuk lebih kecilnya jumlah pelanggaran dibandingkan yang terjadi dalam pemilu. Lebih jauh, hal demikian juga linear dengan kasus pelanggaran yang akan ditangani. Dengan beban kerja yang tidak seberat pemilihan umum anggota legislatif, jumlah peserta yang lebih sederhana serta potensi jumlah kasus yang tidak akan sebanyak kasus pemilu, maka lebih pendeknya waktu penanganan pelanggaran Pilkada dibandingkan Pemilu merupakan kebijakan hukum yang dapat diterima. Justru, menyamakan standar waktu penanganan antara penyelenggaraan pemilihan umum dengan beban kerja yang jauh lebih tinggi dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang lebih rendah dapat dinilai sebagai kebijakan yang kurang proporsional. Oleh karena itu, dalil para Pemohon perihal telah terjadi ketidakpastian akibat berbedanya pengaturan tenggang waktu dalam UU Pilkada dengan UU Pemilu tidak beralasan menurut hukum.
Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan a quo, kebijakan hukum pembentuk undang-undang dalam menentukan tenggang waktu penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa pilkada sebagaimana dituangkan dalam norma-norma a quo masih dalam kerangka prinsip proporsionalitas dan kejelasan pengaturan terkait mekanisme dan tenggang waktu penanganan pelanggaran Pilkada. Sekalipun tenggang waktu penanganan pelanggaran Pilkada berbeda dengan tenggang waktu penanganan pelanggaran Pemilu, namun kebijakan hukum dimaksud masih proporsional ditinjau dari aspek perbedaan beban kerja penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada.
Bahwa selanjutnya, pengaturan mekanisme dan tenggang waktu penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa Pilkada dapat saja berubah sesuai kebutuhan hukum. Apakah mekanisme dan tenggang waktu dimaksud akan disamakan atau tetap dibedakan, hal tersebut sepenuhnya tergantung pada pertimbangan pembentuk undang-undang. Hanya saja, pilihan kebijakan pengaturan mekanisme dan tenggang waktu dimaksud harus tetap memerhatikan aspek kepastian hukum penanganan pelanggaran dan kesesuaian waktu penanganan dengan waktu pelaksanaan tahapan Pilkada. Terlebih, sebagaimana dikemukakan pada poin ketiga Paragraf [3.14] di atas, proses penanganan pelanggaran maupun tindak pidana dalam perselisihan hasil pemilihan harus ditangani secara terintegrasi dan cepat, oleh lembaga yang diberikan kewenangan masing-masing, bahkan hal-hal yang berkaitan dengan badan peradilan diperlukan proses yang bersifat “speedy trial”;

[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.