H. Yan Herimen, S.E dan kawan-kawan.
Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) UU BUMN
Pasal 20A ayat (1), Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun
1945
Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang – Undang Badan Keahlian DPR RI.
Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) UU
BUMN, MK memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
1) Bahwa pertanyaan konstitusional yang harus dimunculkan dari
proposisi para Pemohon tersebut adalah apakah benar pengambilan
keputusan dalam RUPS dari suatu BUMN yang berbentuk Persero
mengenai perubahan anggaran dasar dan hal-hal lain sebagaimana
didalilkan para Pemohon tersebut mempersyaratkan adanya persetujuan
DPR. Sebelum menjawab pertanyaan konstitusional tersebut, Mahkamah
terlebih dahulu perlu menekankan kembali bahwa, Pasal 14 ayat (2) dan
ayat (3) UU BUMN bukan mengatur tentang perubahan anggaran dasar
dan hal-hal sebagaimana didalilkan para Pemohon melainkan mengatur
tentang pemberian kuasa dengan hak substitusi oleh Menteri kepada
perorangan atau badan hukum untuk mewakilinya dalam RUPS. Ketentuan a quo memang menyinggung atau berkait dengan perubahan
anggaran dasar dan hal-hal sebagaimana didalilkan para Pemohon,
namun konteksnya justru memberikan pembatasan kepada penerima
kuasa dalam mengambil putusan dalam RUPS, yaitu bahwa jika RUPS itu
hendak mengambil keputusan tentang hal-hal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (3), yaitu pengambilan keputusan mengenai perubahan jumlah modal, perubahan anggaran dasar; rencana
penggunaan laba; penggabungan, peleburan, pengambilalihan,
pemisahan serta pembubaran Persero; investasi dan pembiayaan jangka
panjang; kerja sama Persero; pembentukan anak perusahaan atau
penyertaan; dan pengalihan aktiva, maka penerima kuasa yang mewakili
Menteri dalam RUPS tersebut tidak boleh bertindak langsung mengambil
keputusan melainkan harus mendapatkan persetujuan dari Menteri
terlebih dahulu sebagai pemberi kuasa. Logika yang terkandung dalam rumusan Pasal 14 ayat (3) UU BUMN adalah bahwa RUPS dari BUMN yang berbentuk Persero berhak membuat keputusan mengenai: perubahan jumlah modal; perubahan anggaran dasar; rencana penggunaan laba; penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan, serta pembubaran Persero; investasi dan pembiayaan jangka panjang; kerja sama Persero; pembentukan anak perusahaan atau penyertaan; serta pengalihan aktiva. Keputusan mengenai hal-hal tersebut dapat langsung dilakukan jika Menteri hadir dalam RUPS dimaksud. Namun, jika Menteri tidak hadir dalam RUPS tersebut melainkan memberikan kuasa dengan hak substitusi (entah kepada perorangan atau badan hukum) maka penerima kuasa dengan hak substitusi ini harus mendapatkan persetujuan Menteri terlebih dahulu (selaku pemberi Kuasa) jika RUPS hendak mengambil keputusan mengenai soal-soal demikian. Pertanyaannya kemudian, mengapa RUPS dari BUMN yang berbentuk Persero memiliki kewenangan demikian. Dalam hubungan ini, Pasal 11 UU BUMN menyatakan, “Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip- prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas”. Dengan kata lain, Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas berlaku pula bagi BUMN yang berbentuk Persero. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UU 1/1995) telah dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU 40/2007). Hal itu ditegaskan dalam Pasal 160 UU 40/2007 yang menyatakan, “Pada saat
Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995
tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3587), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.” Oleh karena itu, dengan
merujuk Pasal 11 UU BUMN, berarti terhadap BUMN yang berbentuk
Persero mutatis mutandis juga berlaku ketentuan dalam UU 40/2007.
Namun demikian, peraturan pelaksana dari UU 1/1995 tersebut dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum
diganti berdasarkan UU 40/2007 ini. Hal itu dinyatakan dalam Pasal 159
UU 40/2007. Dengan demikian, peraturan pelaksana UU 1/1995 berlaku
pula sebagai peraturan pelaksana UU 40/2007 sepanjang tidak bertentangan dengan atau belum diganti berdasarkan UU 40/2007,
sehingga peraturan pelaksana ini pun berlaku pula terhadap BUMN yang
berbentuk Persero. Sesuai dengan ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku dalam perseroan terbatas, tindakan yang berkenaan dengan hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (3) UU BUMN tersebut adalah tergolong ke dalam atau merupakan tindakan atau aksi korporasi yang baru dapat dilaksanakan apabila telah mendapatkan persetujuan atau penetapan RUPS. Hal itu sesuai dengan eksistensi RUPS sebagai organ Persero yang memegang kekuasaan tertinggi dalam Persero dan
memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada Direksi atau
Komisaris, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 13 UU BUMN.
Secara a contrario, dengan berpegang pada hakikat RUPS sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 angka 13 UU BUMN, maka keputusan mengenai hal-
hal yang disebut dalam Pasal 14 ayat (3) UU BUMN adalah termasuk
tindakan atau aksi korporasi yang kewenangannya tidak diserahkan
kepada Direksi atau Komisaris. Artinya, meskipun menurut Pasal 5 UU
BUMN Direksi bertanggung jawab penuh dalam pengurusan BUMN, yang
berarti dia berwenang melakukan aksi-aksi korporasi sesuai dengan
maksud dan tujuan BUMN yang bersangkutan, namun kewenangan itu
tidak serta-merta dapat dilaksanakan sendiri oleh Direksi meskipun telah
ada pengawasan oleh Komisaris jika berkenaan dengan hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (3) UU BUMN melainkan harus
mendapat persetujuan atau keputusan RUPS. Sementara itu, untuk
tindakan atau aksi korporasi lainnya, baik menyangkut kebijakan
pengurusan maupun jalannya pengurusan pada umumnya, tunduk pada
pengawasan Dewan Komisaris. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 108 UU
40/2007. Sebagai Persero, BUMN juga harus tunduk pada prinsip-prinsip yang berlaku dalam tata kelola perusahaan yang baik (good corporate
governance) sehingga mampu menghasilkan nilai ekonomi bagi semua
pemangku kepentingan, lebih-lebih pemegang saham (in casu Pemerintah). Apalagi kepada BUMN dibebankan maksud dan tujuan yang
bukan sekadar mengejar keuntungan tetapi justru lebih banyak maksud
dan tujuan yang sifatnya berfungsi sosial, sebagaimana telah disinggung
sebelumnya. Intervensi eksternal terhadap aksi-aksi korporasi BUMN,
lebih-lebih intervensi politik, yang membawa dampak tidak dapatnya
BUMN melaksanakan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik
harus dicegah. BUMN tidak boleh dijadikan alat politik atau dipolitisasi
sedemikian rupa sehingga keluar atau menyimpang dari maksud dan
tujuan pendiriannya.
Dengan demikian, tidak ada relevansinya melibatkan DPR dalam aksi atau
tindakan korporasi yang dilakukan oleh BUMN Persero sebab DPR
bukanlah bagian dari RUPS maupun Dewan Komisaris. Dalam
hubungannya dengan BUMN, kalaupun secara implisit hendak dikatakan
ada pengawasan DPR, hal itu harus diletakkan konteksnya dalam
kerangka fungsi pengawasan politik DPR terhadap pelaksanaan
pemerintahan yang dilakukan oleh Presiden sebagai pemegang
kekuasaan pemerintahan menurut Pasal 4 UUD 1945. Misalnya ketika
Presiden mengajukan rancangan Undang-Undang tentang APBN. Pada
saat itulah DPR dapat mempertanyakan pengelolaan keuangan negara
dalam pelaksanaan pemerintahan, termasuk yang oleh Pemerintah
dialokasikan untuk BUMN.
Dalam sistem presidensial, bahkan tidak seluruh tindakan pemerintah
tunduk pada pengawasan DPR, misalnya terhadap hal-hal yang
berdasarkan Konstitusi maupun praktik ketatanegaraan sepenuhnya
merupakan bagian dari atau berada dalam ruang lingkup kewenangan
diskresional Pemerintah atau hal-hal yang sepenuhnya merupakan hak
prerogatif Presiden. Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, dalil para Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.
2) Bahwa para Pemohon mendalilkan, investasi yang dilakukan
pemerintah harus melalui persetujuan DPR sebagai wakil rakyat.
Sementara itu, berdasarkan Pasal 14 ayat (3) huruf g UU BUMN
pemerintah dapat membentuk anak perusahaan BUMN tanpa melalui
mekanisme APBN di mana hal itu berarti menghilangkan pengawasan DPR
yang mengakibatkan kewenangan pemerintah selaku pemegang saham
akan menjadi kewenangan induk BUMN di mana peran pemerintah dalam
BUMN sebagai pemegang saham akan berubah menjadi BUMN penerima
pengalihan saham.
Terhadap dalil para Pemohon tersebut, untuk membuat lebih terang,
Mahkamah perlu menegaskan kembali bahwa harus dibedakan antara
tindakan memberikan modal untuk mendirikan BUMN atau menambah
modal BUMN dan tindakan BUMN itu sendiri. Tindakan memberikan modal
untuk mendirikan BUMN atau menambah modal BUMN memerlukan
keterlibatan DPR sebab modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang
dipisahkan, yaitu kekayaan negara yang berasal dari APBN. Sesuai
dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, APBN sebagai wujud pengelolaan
keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan
dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian, pertama, secara implisit
pada dasarnya tidak akan ada pemberian modal untuk membentuk BUMN
atau menambah modal BUMN tanpa persetujuan DPR karena modal
BUMN itu berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, yaitu dari APBN.
Artinya, jika DPR tidak menyetujui suatu rancangan Undang-Undang
tentang APBN, yang sebagian darinya akan digunakan untuk membentuk
atau mendirikan BUMN, maka tidak mungkin akan ada BUMN; kedua,
karena sebagian modal BUMN berasal dari APBN, sementara APBN itu
diajukan setiap tahun dalam bentuk undang- undang, maka setiap tahun
terbuka kesempatan DPR untuk melaksanakan fungsi pengawasannya
yang dalam hal ini dilaksanakan secara bersama-sama dengan fungsi
budgeter atau fungsi anggarannya, yaitu ketika Presiden (Pemerintah)
mengajukan rancangan Undang-Undang tentang APBN. Misalnya,
sebelum menyetujui anggaran (baru) yang diajukan oleh Presiden
(Pemerintah), DPR tentu akan melakukan evaluasi terhadap pengelolaan
keuangan negara yang dilakukan oleh pemerintah, apakah sudah
dilaksanakan untuk mencapai tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat
atau belum. Artinya, konteks pengawasan DPR dalam hal ini adalah
pengawasan politik terhadap pengelolaan keuangan negara dalam
struktur APBN sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945
yang dilakukan oleh Pemerintah dalam menjalankan fungsi-fungsi
pemerintahannya yang sama sekali berbeda dengan pengawasan yang
dilakukan oleh Komisaris terhadap Direksi suatu BUMN Persero dalam
menjalankan kepengurusan Persero, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
31 UU BUMN.
Sementara itu, setelah BUMN itu terbentuk, BUMN tersebut telah menjadi
subjek hukum, dalam hal ini subjek hukum berupa badan hukum
(rechtspersoon atau legal person). Sebagai subjek hukum, sebagaimana
halnya subjek hukum berupa orang (naturlijke persoon), BUMN adalah
pemegang hak dan kewajiban menurut hukum dan berhak melakukan
perbuatan hukum. Dalam melakukan perbuatan hukum, BUMN diwakili
oleh Direksi, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 UU BUMN. Perbuatan
hukum BUMN dapat berupa perbuatan hukum pada umumnya maupun
perbuatan hukum dalam rangka aksi atau tindakan korporasi. Sebagai
subjek hukum berupa badan hukum (rechtspersoon), maka terhadap
BUMN pada dasarnya juga berlaku seluruh ketentuan sebagaimana yang
berlaku terhadap subjek hukum alamiah yaitu orang (naturlijke persoon).
Namun, terhadap BUMN, baik yang berbentuk Persero maupun Perum,
UU BUMN menegaskan bahwa terhadap BUMN berlaku ketentuan dalam
UU BUMN, anggaran dasar, dan ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 UU BUMN.
Adapun terhadap BUMN yang berbentuk Persero, Pasal 11 UU BUMN
menegaskan bahwa terhadap Persero juga berlaku segala ketentuan dan
prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas yang diatur dalam
UU 1/1995 (yang telah diganti dengan UU 40/2007).
Tindakan pembentukan anak perusahaan atau penyertaan yang dirujuk
oleh Pasal 14 ayat (3) huruf g UU BUMN, adalah bagian dari tindakan
atau aksi korporasi yang artinya tindakan itu baru ada setelah BUMN
terbentuk. Dalam hal ini tindakan atau aksi korporasi yang berkenaan
dengan pengurusan Perseroan. Oleh karena itu, sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 31 UU BUMN juncto Pasal 108 ayat (1) UU 40/2007,
pengawasannya dilakukan oleh Komisaris, bukan oleh DPR. Dengan
demikian, mendalilkan adanya pengawasan DPR dalam tindakan korporasi
yang dilakukan oleh BUMN secara tidak langsung para Pemohon berarti
hendak menempatkan DPR seolah-olah sebagai Komisaris BUMN.
Berdasarkan pertimbangan di atas, dalil para Pemohon a quo adalah tidak
beralasan menurut hukum.
Bahwa para Pemohon selanjutnya mempersoalkan terbitnya Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tatacara Penyertaan dan
Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan
Perseroan Terbatas (PP 72/2016) yang oleh para Pemohon diyakini
bahwa PP tersebut sebagai salah satu perangkat untuk memprivatisasi
BUMN tanpa terkecuali, termasuk BUMN yang produksinya menyangkut
hajat hidup orang banyak sebagaimana tertuang dalam Peraturan
Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha Yang
Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang
Penanaman Modal, di mana menurut para Pemohon dalam Lampiran
halaman 32 dan halaman 33 Peraturan Presiden ini pembangkit listrik,
transmisi tenaga listrik, dan distribusi tenaga listrik swasta dapat memiliki
saham 95% - 100%.
Terhadap dalil para Pemohon a quo Mahkamah berpendapat
andaikatapun anggapan para Pemohon itu benar, quod non, hal itu bukan
merupakan yurisdiksi Mahkamah untuk mengadilinya. Lagi pula, dalam
persidangan terungkap bahwa terhadap PP 72/2016 tersebut telah
diajukan pengujian ke Mahkamah Agung melalui Perkara Nomor
21P/HUM/2017 dan oleh Mahkamah Agung telah dinyatakan ditolak,
sebagaimana diterangkan Pemerintah dalam persidangan tanggal 28
Maret 2018 yang tidak dibantah oleh para Pemohon.
3) Bahwa para Pemohon mendalilkan, BUMN bukan merupakan tempat
untuk berinvestasi tetapi memiliki fungsi strategis sebagai alat negara
untuk menjalankan fungsi negara terutama pada sektor strategis.
Peleburan atau penggabungan BUMN akan menyebabkan berakhirnya
perseroan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas (UU 40/2007) dan Peraturan Pelaksana
namun para Pemohon tidak jelas menyebut peraturan pelaksana yang
mana. Para Pemohon kemudian menyatakan bahwa berakhirnya
perseroan menyebabkan dapat dilakukannya pemutusan hubungan kerja
dengan mengutip ketentuan dalam Pasal 163 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah berpendapat bahwa
peleburan atau penggabungan BUMN, sebagaimana telah
dipertimbangkan sebelumnya, adalah bagian dari tindakan korporasi.
Selain itu, menyatakan BUMN bukan sebagai tempat berinvestasi tidaklah
rasional. Sebab, penggunaan uang negara yang dipisahkan guna
membentuk BUMN itu sendiri adalah sebuah investasi. Bedanya dengan
investasi lainnya, misalnya yang dilakukan oleh perorangan dalam
mendirikan suatu perusahaan, adalah bahwa investasi dalam wujud
pembentukan atau pendirian BUMN itu maksud dan tujuannya bukanlah
sekadar mengejar keuntungan, bahkan justru lebih banyak fungsi
sosialnya. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 2 UU BUMN yang menyatakan:
(1) Maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah:
a. memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian
nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya;
b. mengejar keuntungan;
c. menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat
hidup orang banyak;
d. menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat
dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi;
e. turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha
golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.
(2) Kegiatan BUMN harus sesuai dengan maksud dan tujuannya serta
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban
umum, dan/atau kesusilaan.
Sementara itu, dalam kaitannya dengan pemutusan hubungan kerja
(PHK), Mahkamah perlu menegaskan bahwa PHK tidaklah serta-merta
mengandung persoalan konstitusional. PHK baru menjadi persoalan
konstitusional, khususnya yang berkait dengan pelanggaran terhadap
hak-hak konstitusional warga negara, apabila norma undang-undang
yang mengatur tentang PHK itu sendiri bertentangan dengan UUD 1945.
Selama norma undang-undang yang mengatur tentang PHK itu tidak
bertentangan dengan UUD 1945 maka peristiwa konkrit berupa terjadinya
PHK tidaklah merupakan persoalan konstitusional yang menjadi
kewenangan Mahkamah untuk mengadilinya. Apabila dalam praktik
terjadi pelanggaran terhadap ketentuan PHK (yang norma undang-
undangnya konstitusional itu) maka hal itu merupakan kewenangan
Pengadilan Hubungan Industrial sebagai bagian dari pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum yang berada di bawah Mahkamah Agung
untuk mengadilinya. Berdasarkan pertimbangan di atas, dalil para Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.
4) Menimbang, berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, telah terang
bagi Mahkamah bahwa dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 14
ayat (2) dan ayat (3) UU BUMN bertentangan dengan UUD 1945 adalah
tidak beralasan menurut hukum.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430