Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 16/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS TERHADAP UNDANG-UNDANG TAHUN 1945 / 23-06-2020

Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) dalam hal ini diwakili oleh Setia Untung Arimuliadi, Olivia Sembiring, Asep N. Mulyana, Reda Manthovani, dan R. Narendra Jatna yang memberikan kuasa kepada Dr. Adnan Hamid, S.H., M.H., M.M., dkk, Advokat dan Advokat Magang yang tergabung dalam “Tim Penasehat Hukum PJI”

frasa “dengan persetujuan majelis kehormatan Notaris” pada Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris

Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

[3.11] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih jauh permohonan a quo, oleh karena terhadap Pasal 66 ayat (1) UU 2/2014 pernah dimohonkan pengujiannya dan telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi 72/PUU-XII/2014, bertanggal 26 Agustus 2015 yang amarnya menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima. Setelah itu Mahkamah juga pernah memutus pengujian Pasal 66 ayat (1) UU 2/2014 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XVII/2019, bertanggal 20 Mei 2019, yang amarnya menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk pengujian Pasal 66 ayat (1) UU 2/2014. Oleh karena itu, Mahkamah akan mempertimbangkan terlebih dahulu apakah permohonan Pemohon tersebut dapat dimohonkan pengujian kembali berdasarkan Pasal 60 UU MK yang selengkapnya menyatakan: (1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang-Undang yang telah diuji, tidak dapat diajukan pengujian kembali; (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda. Bahwa selain ketentuan Pasal 60 UU MK tersebut, Pasal 42 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (selanjutnya disebut PMK 06/2005) menyatakan bahwa: (1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. (2) Terlepas dari ketentuan ayat (1) di atas, permohonan pengujian UU terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang sama dengan perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda. Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-XII/2014 Mahkamah belum mempertimbangkan pokok permohonan karena Pemohon dinyatakan tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan dan permohonan dinyatakan tidak dapat diterima. Oleh karenanya meskipun permohonan Pemohon berkenaan dengan pengujian norma yang sama dengan permohonan Nomor 72/PUU-XII/2014, namun oleh karena pokok permohonan belum dipertimbangkan oleh Mahkamah maka permohonan Pemohon tidak ada relevansinya untuk dikaitkan dengan ketentuan Pasal 60 UU MK jo. Pasal 42 PMK 06/2005;
Bahwa terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUUXVII/2019, berdasarkan ketentuan Pasal 60 UU MK, maka terhadap pasal yang telah dilakukan pengujian konstitusionalitasnya dan telah diputus oleh Mahkamah hanya dapat diuji kembali apabila terdapat dasar pengujian yang berbeda. Setelah memperhatikan dengan saksama permohonan Pemohon, ternyata dasar pengujian yang digunakan dalam permohonan Nomor 22/PUU-XVII/2019 adalah Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, sedangkan permohonan a quo menggunakan dasar pengujian Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Sementara itu, berkenaan dengan alasan pengujian, Mahkamah menilai terdapat perbedaan dengan permohonan sebelumnya antara lain, Pemohon mendalilkan mengalami kerugian konstitusional yaitu terhambatnya proses penegakkan hukum dan merugikan kepentingan jaksa serta publik secara umum. Di samping itu, Pemohon juga mendalilkan terhadap penolakan pemanggilan notaris tidak dapat dilakukannya upaya hukum apapun;
Dengan demikian terdapat perbedaan dasar dan alasan pengujian yang digunakan pada permohonan a quo, sehingga berdasarkan Pasal 60 UU MK dan Pasal 42 PMK 06/2005 Pemohon dapat mengajukan permohonan a quo;
Bahwa namun demikian, setelah Mahkamah membaca secara cermat kedua permohonan dimaksud, ternyata masalah konstitusionalitas Pasal 66 ayat (1) UU 2/2014 pada permohonan a quo sama dengan masalah konstitusionalitas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XVII/2019. Dalam putusan tersebut Mahkamah telah mempertimbangkan antara lain:
“[3.13] Menimbang bahwa Pemohon mempersoalkan Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris berpotensi menghalangi penyidikan atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh seorang notaris karena adanya ketentuan di mana penyidik harus mendapatkan persetujuan dari MKN terlebih dahulu untuk dapat mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris dan memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. Hal ini menurut Pemohon mengakibatkan terjadinya penghentian penyidikan karena penyidik terhalangi mendapatkan bukti yang cukup untuk melanjutkan penyidikan terhadap seorang notaris.
Terhadap dalil tersebut, menurut Mahkamah, Pemohon tidak memahami norma Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris tersebut secara utuh dalam kaitannya dengan ketentuan lain dalam UU a quo termasuk kewenangan dari MKN. Adanya persetujuan MKN tidak bertujuan untuk mempersulit proses penyidikan atau keperluan pemeriksaan terhadap notaris karena hal tersebut telah diantisipasi dengan adanya ketentuan Pasal 66 ayat (3) yang menyatakan, bahwa MKN dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan jawaban menerima atau menolak permintaan persetujuan. Hal ini pun kemudian ditegaskan kembali pada Pasal 66 ayat (4) yang menyatakan, “Dalam hal majelis kehormatan Notaris tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), majelis kehormatan Notaris dianggap menerima permintaan persetujuan.” Dalil Pemohon yang menganggap bahwa Pasal 66 ayat (4) UU Jabatan Notaris bersifat redundant, karena secara substansi dianggap Pemohon sama dengan Pasal 66 ayat (3) adalah tidak tepat. Menurut Mahkamah Pasal 66 ayat (4) UU Jabatan Notaris a quo justru merupakan penegasan bahwa MKN tidak dapat menghalangi kewenangan penyidik, penuntut umum atau hakim dalam melakukan kewenangannya untuk kepentingan proses peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris. Terlebih lagi ketentuan pasal a quo dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada notaris sebagai pejabat publik dalam melaksanakan tugasnya, khususnya melindungi keberadaan minuta sebagai dokumen negara yang bersifat rahasia.
Selain itu, jika dicermati petitum permohonan Pemohon mengenai Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris, yaitu petitum angka (6) yang pada pokoknya, meminta kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris bertentangan dengan UUD 1945 karena telah ada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2013 [sic!]. Menurut Pemohon justru dengan adanya revisi UU Jabatan Notaris telah menyulitkan aparatur penegakan hukum untuk memeriksa notaris. Menurut Mahkamah, Pemohon tidak memahami substansi Putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya dan bahkan mengutip nomor putusan yang salah yaitu Putusan 49/PUU-X/2013 [sic!], padahal putusan Mahkamah yang substansinya menyangkut norma pada UU Jabatan Notaris sebagaimana disebutkan Pemohon adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2012 bertanggal 28 Mei 2013. Menurut Mahkamah, perubahan dan tambahan norma di dalam UU Jabatan Notaris sudah tepat dan tidak bertentangan dengan maksud Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, yaitu dengan menambahkan norma pada Pasal 66 yaitu ayat (3) dan ayat (4) yang bertujuan untuk menghindarkan adanya hambatan penyidikan oleh MKN. Justru apabila permohonan Pemohon dikabulkan yaitu membatalkan Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris secara keseluruhan dapat menciptakan persoalan di mana tidak adanya peran MKN dalam melakukan pembinaan notaris, khususnya dalam mengawal pelaksanaan kewajiban notaris, yang di antaranya merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan [vide Pasal 16 ayat (1) huruf f UU Jabatan Notaris].
Terhadap permohonan Pemohon yang menginginkan agar Pasal 66 ayat (4) UU Jabatan Notaris dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, sebagaimana pertimbangan Mahkamah di atas, justru menurut Mahkamah Pasal 66 ayat (4) sangat diperlukan dalam menciptakan kepastian hukum yang adil terhadap batas kewenangan MKN memberikan persetujuan bagi penyidik, penuntut umum dan hakim dalam melakukan pemanggilan terhadap notaris ataupun memeriksa berkas-berkas lain untuk keperluan peradilan sebagaimana dimaksud Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 66 ayat (1) dan ayat (4) UU Jabatan Notaris adalah tidak beralasan menurut hukum.”

Dengan demikian, meskipun dasar dan alasan pengujian yang digunakan berbeda sehingga permohonan a quo dapat diajukan, namun karena masalah konstitusionalitas yang dimohonkan pengujian sama, yaitu mengenai persetujuan MKN untuk mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat terkait dan untuk memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris, maka pertimbangan Mahkamah dalam pengujian Pasal 66 ayat (1) UU 2/2014 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XVII/2019 dimaksud mutatismutandis berlaku pula terhadap permohonan a quo.

[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 16/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan permohonan permohonan Pemohon I, Pemohon III, Pemohon IV, dan Pemohon V tidak dapat diterima dan menolak permohonan Pemohon II untuk selain dan selebihnya terhadap pengujian UU Jabatan Notaris mengandung arti bahwa ketentuan pasal a quo tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.