Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 17/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-06-2020

PT. Korea World Center Indonesia, yang diwakili oleh Mr. Gi Man Song, Direktur Utama PT. Korea World Center dalam hal ini diwakili kuasa hukumnya Alexius Tantrajaya, S.H. M.Hum, dkk, kuasa hukum pada kantor hukum Alexius Tantrajaya & Partner

Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU Kepailitan

Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

[3.11] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut dalil-dalil permohonan Pemohon, oleh karena norma Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon saling berkaitan erat dan esensinya tidak berbeda yakni mengenai tidak adanya upaya hukum terhadap putusan PKPU mengenai kepailitan, maka Mahkamah akan mempertimbangkan substansi kedua norma tersebut secara bersamaan.

[3.12] Menimbang bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 inkonstitusional karena tidak berkeadilan, menurut Mahkamah untuk memahami ketentuan norma a quo tidaklah berdiri sendiri karena berkaitan erat dengan esensi keseluruhan Bab III UU 37/2004 yang mengatur mengenai “Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”. Apakah benar dengan tidak adanya ketentuan upaya hukum dalam norma a quo adalah inkonstitusional karena tidak berkeadilan sebagaimana dalil Pemohon, maka sebelum menjawab pertanyaan tersebut penting bagi Mahkamah untuk menegaskan prinsip-prinsip PKPU sebagai berikut:

[3.12.1] Bahwa Lembaga PKPU pada dasarnya adalah bagian dari upaya hukum yang mempunyai fungsi yang salah satunya untuk membantu pengusaha khususnya debitor yang terganggu akibat macetnya usaha yang dijalaninya sehingga menyebabkan kesulitan untuk memenuhi kewajiban kepada para kreditor dalam menyelesaikan utang-piutangnya. Dengan melihat keadaan seperti itu maka sangatlah tepat jika permasalahan antara debitor dan kreditor dapat diselesaikan dengan jalan damai sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Umum UU 37/2004 yang antara lain menyatakan bahwa “Untuk kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif, sangat diperlukan perangkat hukum yang mendukungnya”. Dengan demikian, prinsip dari PKPU adalah upaya hukum yang dapat dijadikan pilihan oleh para kreditor ataupun debitor yang diberikan oleh UU 37/2004 melalui putusan hakim pengadilan niaga di mana pihak kreditor dan debitor memperoleh kesempatan untuk bermusyawarah mengenai cara-cara pembayaran seluruh atau sebagian utangnya, termasuk apabila perlu dapat melakukan restrukturisasi utangnya tersebut;

[3.12.2] Bahwa PKPU dapat diajukan atas inisiatif salah satu pihak, debitor yang mempunyai lebih dari 1 (satu) kreditor atau oleh kreditor atas dasar adanya kekhawatiran baik dari pihak debitor atau kreditor yang menilai bahwa debitor tidak dapat atau diperkirakan tidak akan dapat lagi melanjutkan pembayaran utangutangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dengan maksud agar tercapai rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada para kreditor agar debitor tidak perlu dipailitkan [vide Pasal 222 UU 37/2004]. Permohonan PKPU tersebut harus diajukan sebelum permohonan pailit atau pada waktu permohonan pailit diperiksa. Apabila yang mengajukan permohonan PKPU adalah debitor, maka permohonan harus disertai dengan daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang debitor beserta surat bukti secukupnya, serta dapat juga melampirkan rencana perdamaian, sedangkan jika permohonan tersebut diajukan oleh kreditor maka pengadilan wajib memanggil debitor melalui juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang, dan selanjutnya debitor mengajukan daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang debitor beserta surat bukti secukupnya dan sekiranya ada rencana untuk melakukan perdamaian [vide Pasal 224 UU 37/2004].

[3.12.3] Bahwa dalam kaitan inilah, pengadilan niaga dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan yang diajukan oleh debitor harus mengabulkan PKPU Sementara dan menunjuk seorang Hakim Pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih Pengurus untuk bersama debitor mengurus harta debitor. Demikian pula halnya jika permohonan PKPU diajukan oleh kreditor maka pengadilan niaga dalam waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan, harus mengabulkan permohonan PKPU Sementara dan harus menunjuk Hakim Pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih Pengurus yang bersama dengan debitor mengurus harta debitor [vide Pasal 225 UU 37/2004]. Jangka waktu untuk putusan PKPU Sementara tersebut ditentukan singkat karena menyangkut kepentingan semua pihak dengan maksud agar kesepakatan yang dicapai antara debitor dan para kreditornya mengenai rencana perdamaian dapat segera dilaksanakan secara efektif.

[3.12.4] Bahwa dengan ditetapkannya putusan PKPU Sementara oleh pengadilan adalah fase sebelum pengadilan menjatuhkan putusan PKPU Tetap sesuai dengan proses pemeriksaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 225, Pasal 226, Pasal 227, dan Pasal 228 UU 37/2004 yang pada intinya menentukan mekanisme dan tahapannya sesuai dengan batas waktunya, sebagai berikut:
1. Bahwa hanya dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak putusan PKPU Sementara diucapkan, pengadilan niaga melalui pengurus wajib memanggil debitor dan para kreditor yang dikenal dengan surat tercatat atau melalui kurir, untuk menghadap dalam sidang. Apabila debitor tidak hadir dalam sidang, PKPU Sementara berakhir dan pengadilan wajib menyatakan debitor pailit dalam sidang yang sama [vide Pasal 225 ayat (4) dan ayat (5) UU 37/2004];
2. Bahwa Pengurus wajib segera mengumumkan putusan PKPU Sementara dalam Berita Negara Republik Indonesia serta paling sedikit dalam 2 (dua) surat kabar harian yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas. Pengumuman tersebut juga harus memuat undangan untuk hadir pada persidangan yang merupakan rapat permusyawaratan hakim dengan mencantumkan tanggal, tempat, waktu sidang, nama Hakim Pengawas, dan nama serta alamat Pengurus [vide Pasal 226 ayat (1) UU 37/2004]. PKPU Sementara tersebut berlaku sejak tanggal putusan PKPU diucapkan dan berlangsung sampai dengan tanggal sidang diselenggarakan [vide Pasal 227 UU 37/2004];
3. Bahwa apabila ada rencana perdamaian maka harus dilampirkan pada permohonan PKPU Sementara atau telah disampaikan oleh debitor sebelum sidang sehingga pemungutan suara tentang rencana perdamaian dapat dilakukan [vide Pasal 228 ayat (3) UU 37/2004]. Pelaksanaan ketentuan inipun harus memperhatikan terpenuhinya persyaratan dalam Pasal 267 UU 37/2004 bahwa “Dalam hal sebelum putusan pengesahan perdamaian memperoleh kekuatan hukum tetap, ada putusan Pengadilan yang menyatakan bahwa penundaan kewajiban pembayaran utang berakhir, gugurlah rencana perdamaian tersebut”
4. Bahwa apabila para kreditor belum dapat memberikan suara mereka mengenai rencana perdamaian maka atas permintaan debitor, para kreditor harus menentukan pemberian atau penolakan PKPU Tetap dengan maksud untuk memungkinkan debitor, pengurus, dan kreditor untuk mempertimbangkan dan menyetujui rencana perdamaian pada rapat atau sidang yang diadakan selanjutnya [vide Pasal 228 ayat (4) UU 37/2004]. Jika pada akhirnya PKPU Tetap tidak dapat ditetapkan oleh Pengadilan Niaga maka dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari, debitor dinyatakan pailit.
5. Bahwa sesuai dengan esensi pengaturan jangka waktu yang menghendaki adanya kepastian terhadap berlakunya PKPU Sementara termasuk juga jangka waktu berlakunya PKPU Tetap, maka apabila PKPU Tetap disetujui, penundaan tersebut berikut perpanjangannya tidak boleh melampaui jangka waktu 270 (dua ratus tujuh puluh) hari setelah putusan PKPU Sementara diucapkan.

[3.13] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan prinsip-prinsip PKPU yang berkaitan dengan mekanisme dan tahapan PKPU tersebut di atas, menurut Mahkamah telah jelas bahwa dalam hal sebuah perusahaan yang mengalami kesulitan mengenai kewajiban pembayaran utang kepada kreditor tidaklah serta merta dapat dinyatakan pailit. UU 37/2004 telah memberikan mekanisme hukum yang jelas yaitu dapat melalui PKPU dengan tujuan untuk mengadakan rencana perdamaian antara para kreditor dan debitor mengenai restrukturisasi hutang debitor kepada para kreditor yang diharapkan debitor dapat melakukan pembayaran utang dengan jalan perdamaian. Dengan adanya pengaturan jangka waktu untuk melakukan tahapan-tahapan PKPU termasuk di dalamnya adalah perdamaian antara debitor dan kreditor sebagaimana diatur dalam UU 37/2004, hal demikian memberikan kesempatan atau waktu yang cukup bagi debitor untuk melunasi utang-piutangnya kepada para kreditor secara keseluruhan atau sebagian berdasarkan rencana perdamaian yang disepakati dalam PKPU. Dengan demikian norma pasal a quo tidak hanya memenuhi rasa keadilan bagi para pihak tetapi sekaligus memberikan kepastian hukum bagi debitor dan para kreditor karena batas waktunya telah ditentukan oleh undang-undang.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas, adalah dapat dipahami mengapa dalam putusan PKPU tidak diperkenankan adanya upaya hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004, karena mengingat proses dari PKPU itu sendiri yang telah memberikan waktu yang cukup kepada kedua belah pihak yakni debitor dan para kreditor untuk melakukan musyawarah guna mencapai perdamaian dalam hal penyelesaian hutang piutang mereka yang dimediasi oleh badan peradilan. Dengan demikian, jika hasil dari putusan PKPU tersebut dipersoalkan kembali oleh salah satu pihak dengan jalan melakukan upaya hukum, maka hal tersebut akan membuat musyawarah antara kedua belah pihak yang telah ditempuh melalui jalur pengadilan yakni PKPU dan sudah memakan waktu yang cukup lama justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi permohonan PKPU itu sendiri, karena persoalan hutang piutang antara kreditor dan debitor tidak juga kunjung selesai sehingga tidak dapat dipastikan kapan berakhirnya. Hal demikian menegaskan bahwa di samping perkara PKPU tidak dapat diajukan untuk kedua kalinya karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap upaya perdamaian yang telah dicapai, hal tersebut juga jelas bertentangan dengan sifat dari perkara PKPU itu sendiri maupun asas peradilan yaitu cepat, sederhana, dan biaya ringan.

Adapun dalil Pemohon yang pada pokoknya menyatakan bahwa dengan adanya upaya hukum PKPU Pemohon berharap Putusan PKPU yang pertimbangannya keliru dapat dikoreksi atau diperbaiki oleh badan peradilan yang tingkatannya lebih tinggi. Menurut Mahkamah, terhadap dalil Pemohon tersebut sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Mahkamah di atas bahwa pada hakikatnya substansi PKPU esensinya adalah merupakan hasil musyawarah perdamaian antara debitor dengan para kreditor sebagai representasi kehendak dari kedua belah pihak, oleh karena itu tidak ada relevansinya mengkhawatirkan adanya putusan PKPU oleh peradilan yang perlu dikoreksi atau diperbaiki karena adanya kekeliruan. Terlebih lagi pernyataan pailit dari badan peradilan yang sesungguhnya berkaitan dengan kepailitan yang tidak didahului dengan PKPU telah disediakan upaya hukumnya. Sementara itu, terhadap dalil-dalil Pemohon yang berhubungan dengan kasus konkret yang dialami oleh Pemohon, Mahkamah tidak berwenang untuk menilainya.

Berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah, telah ternyata tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 sehingga dalil-dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.