oleh Etty Afiyati Hentihu, Agung Prastio Wibowo, Mahestu Hari Nugroho, Dodi Ilham, dan Lucky Rachman Fauzi, yang dikuasakan kepada Ferdian Sutanto, S.H., C.L.A., dan kawan-kawan, yang tergabung dalam Tim Advokasi Hukum dan Pengendara Online Nasional “TIMAH PANAS” Advocates & Legal Consultant, beralamat di Rawa Kepa Utama Nomor 22 C, Tomang, Grogol Petamburan Jakarta Barat - DKI Jakarta.
Pasal 151 huruf a UU LLAJ
Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang – Undang Badan Keahlian DPR RI.
Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 151 huruf a UU LLAJ, Mahkamah
memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
1. Bahwa tidak lengkapnya pengaturan undang-undang atau
tertinggalnya undang-undang dalam menghadapi laju perkembangan
sosial kemasyarakatan tidak dengan sendirinya menyebabkan undang-
undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Suatu undang-undang
tidaklah dapat mengatur segala sesuatunya secara sempurna, terlebih jika
hal tersebut merupakan suatu perkembangan yang baru ada setelah
undang-undang tersebut dibuat. Undang-undang sebagai aturan hukum
yang bersifat tertulis acapkali mengandung kelemahan-kelemahan,
misalnya tidak dapat mengikuti perkembangan sosial dan
mengakomodasikan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat yang
bersifat dinamis. Pengaturan yang demikian tidak dengan sendirinya
dapat dinyatakan inkonstitusional sepanjang materi muatannya memang
tidak bertentangan dengan UUD 1945. Terlebih, masih terdapat ruang
penafsiran yang dapat dilakukan, atau pengaturan terhadap hal yang
tidak ada tersebut dapat dilakukan dalam peraturan pelaksana dari
undang-undang dimaksud;
2. Bahwa masalah sesungguhnya yang dipersoalkan oleh para
Pemohon adalah berhubungan dengan terjadinya kondisi yang dinilai oleh
para Pemohon sebagai kekosongan hukum. Dalam hal ini, sekalipun
terjadi kekosongan hukum, quod non, akibat tertinggalnya hukum dari
perkembangan masyarakat, namun Mahkamah tidak sepenuhnya
berwenang melakukan pengisiannya jika hal itu melibatkan perumusan
norma secara positif yang merupakan kewenangan pembentuk undang-
undang. Dalam hal ini, pembentuk undang-undanglah yang seharusnya
melakukan perubahan melalui proses legislasi. Bagaimanapun,
pemenuhan terhadap kebutuhan hukum dalam masyarakat adalah tugas
pembentuk undang-undang. Pemenuhan kebutuhan hukum masyarakat
merupakan salah satu alasan bagi pembentuk undang-undang untuk
mengubah ataupun membentuk undang- undang baru. Adapun
Mahkamah hanya dapat memberikan putusan dalam rangka mengisi
kekosongan hukum dalam hal norma suatu undang-undang saling
bertentangan, multitafsir atau mengandung ketidakpastian hukum melalui
penafsiran;
3. Bahwa terkait dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 151 huruf
a UU LLAJ mengandung ketidakpastian hukum, para Pemohon sama
sekali tidak menjelaskan ketidakpastian hukum seperti apa yang terjadi
akibat keberlakuan norma a quo. Apabila norma dalam Pasal 151 huruf a
UU LLAJ dibaca secara saksama, sama sekali tidak terdapat ketidakjelasan
dan ketidakpastian hukum. Rumusan normanya jelas, maksud dan
tujuannya juga jelas, dalam arti, tidak terdapat sesuatu yang terkait
angkutan orang dengan taksi yang tidak tercakup dalam norma tersebut.
Begitu pula, pada saat yang bersamaan, norma tersebut juga tidak
mengandung pertentangan dengan norma lain yang potensial
menyebabkan ketidakpastian hukum;
4. Bahwa dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah
menyatakan Pasal 151 huruf a UU LLAJ bertentangan dengan UUD 1945
secara bersyarat. Terhadap masalah tersebut, Mahkamah sesungguhnya
telah menyatakan pendiriannya terkait permohonan pengujian undang-
undang yang berhubungan dengan permintaan agar Mahkamah
menyatakan suatu norma bertentangan dengan UUD 1945 secara
bersyarat (conditionally unconstitutional). Mahkamah hanya menjatuhkan
putusan demikian dalam hal terdapat ketidakjelasan atau multitafsir,
ketidakpastian hukum, dan potensial menimbulkan pertentangan dengan
norma lainnya. Selain itu, juga mungkin terjadi apabila suatu norma
belum mencakup keadaan lain yang menjadi bagian tak terpisahkan dari
norma itu, namun tidak terumuskan secara jelas dalam norma tersebut.
Bahwa merujuk pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 132/PUU- XIII/2015, bertanggal 5 April 2017, halaman
51-52, Pasal 151 huruf a UU LLAJ sama sekali tidak menimbulkan
penafsiran berbeda ketika dilaksanakan. Sebab, maksud norma tersebut
jelas ditujukan bagi angkutan orang menggunakan taksi. Selain itu,
sebagaimana telah disinggung sebelumnya, juga tidak berpotensi untuk
bertentangan dengan UUD 1945 maupun norma undang-undang lainnya.
Oleh karena itu, tidak terdapat alasan hukum bagi Mahkamah untuk
menyatakan norma tersebut bertentangan dengan UUD 1945 secara
bersyarat sebagaimana dimohonkan oleh para Pemohon;
5. Bahwa selain dua alasan hukum sebagaimana diuraikan di atas,
para Pemohon juga mendalilkan bahwa menjadi pengemudi “taksi aplikasi
berbasis teknologi” merupakan pekerjaan untuk penghidupan yang layak
bagi para Pemohon, sementara para Pemohon mendapatkan perlakuan
yang menghambat berjalannya pekerjaan dimaksud. Menurut Mahkamah,
Pasal 151 UU LLAJ sama sekali tidak mengandung substansi ketentuan
yang menghambat siapapun untuk bekerja atau berusaha di sektor
angkutan umum. Bahkan sebaliknya, substansi ketentuan Pasal 151 UU
LLAJ justru telah membuka kesempatan bagi siapapun untuk bekerja dan
berusaha di sektor angkutan umum. Bahwa selain itu, kalaupun misalnya
para Pemohon sebagai pengemudi “taksi aplikasi berbasis teknologi”
merasa pekerjaannya terhambat, dalam batas-batas tertentu, hal
demikian bukan disebabkan oleh keberadaan Pasal151 huruf a UU LLAJ.
Sebab, sesuatu yang baru tentu tidak selalu akan diterima secara mulus
atau mudah. Akan terjadi dinamika dalam dunia transportasi dengan
hadirnya taksi dengan aplikasi berbasis teknologi. Dalam konteks ini,
dibutuhkan pengaturan sedemikian rupa agar kebutuhan transportasi
masyarakat tetap dapat terpenuhi secara baik dan perlu diatur agar
terjadi persaingan yang sehat antar angkutan yang ada. Di sinilah peran
negara untuk mengatur agar angkutan orang tidak dibiarkan berjalan
dalam ruang yang sangat bebas, sehingga dibutuhkan campur tangan
negara untuk mengaturnya. Proses pengaturan tersebut merupakan
ranah atau kewenangan Pemerintah dan/atau pembentuk undang-
undang. Sementara Mahkamah sama sekali tidak dapat ikut campur
terkait apa yang menjadi ranah kewenangan Pemerintah maupun
pembentuk undang-undang tersebut; dan
6. Bahwa berdasarkan uraian argumentasi tersebut di atas,
keberadaan Pasal 151 huruf a UU LLAJ yang memang belum atau tidak
memuat norma tentang “taksi aplikasi berbasis teknologi” sebagaimana
yang dikehendaki oleh para Pemohon, akan tetapi menurut Mahkamah
tidak serta-merta pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Sebab,
ketika suatu norma tidak/belum mengakomodir aspirasi atau
perkembangan masyarakat yang begitu dinamis, norma dimaksud tetap
tidak dapat dengan sendirinya dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430