Marcell Kurniawan dan Rosliana Ginting
Pasal 77 ayat (3) UU LLAJ
Pasal 1 ayat (3), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 31 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945
Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa para Pemohon mendalilkan frasa “atau belajar sendiri” dalam Pasal 77 ayat (3) UU LLAJ bertentangan dengan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 karena dapat menghambat adanya keseragaman kompetensi dalam sikap, pengetahuan dan keterampilan mengemudi sehingga menghambat penyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Terhadap dalil a quo, perlu ditegaskan bahwa sistem pendidikan nasional yang bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, tidak hanya dilakukan melakukan jalur tertentu saja. Penyelenggaraan pendidikan dapat dilakukan melalui berbagai jalur, yaitu jalur formal, nonformal dan informal. Ketiga jalur tersebut saling melengkapi satu sama lain dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan pendidikan nasional. Dengan demikian sistem pendidikan nasional Indonesia mengakui setiap proses pendidikan manapun dan dilaksanakan oleh siapapun sepanjang sesuai dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional. UU Sisdiknas sama sekali tidak membatasi pendidikan hanya boleh dilakukan oleh pemerintah saja, kelompok masyarakat tertentu saja atau perorangan tertentu saja, melainkan dapat dilakukan secara formal atau nonformal oleh lembaga pelatihan maupun secara mandiri oleh keluarga dan lingkungan. Norma yang diajukan oleh para Pemohon pada pokoknya mengatur mengenai salah satu syarat bagi warga negara untuk mendapatkan SIM. Norma a quo menyatakan bahwa calon pengemudi harus memiliki kompetensi mengemudi dan kompetensi tersebut dapat diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan atau belajar sendiri. Kompetensi seperti apa yang dibutuhkan bagi seseorang untuk mendapatkan SIM ditentukan melalui mekanisme ujian sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 81 dan Pasal 87 UU LLAJ, di mana Kepolisian Negara Republik Indonesia diberikan wewenang oleh undang-undang a quo untuk mengatur mengenai tata cara, persyaratan, pengujian dan penerbitan SIM. Dengan demikian “belajar sendiri” dalam rangka memperoleh kompetensi mengemudi pada dasarnya juga merupakan bagian dari proses pendidikan informal dalam rangka memperoleh keterampilan mengemudi. Hal mana, ketika keterampilan yang diperoleh dari “belajar sendiri” memenuhi standar dan/atau syarat mendapatkan SIM, maka keterampilan dari belajar sendiri dimaksud tentu akan mendapatkan pengakuan. Dalam konteks ini, pengakuan terhadap kompetensi belajar sendiri akan dibuktikan dari berhasil atau tidaknya seseorang untuk lulus dalam ujian dan/atau tes mendapatkan SIM. Berkenaan dengan hal itu, selama seorang warga negara telah memenuhi syarat dan dinyatakan lulus ujian sebagaimana diatur oleh ketentuan tersebut, maka kompetensi mengemudi seseorang tersebut sudah seharusnya telah mencukupi terlepas belajar melalui pelatihan atau belajar sendiri. Selain itu, Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 yang digunakan para Pemohon sebagai dasar pengujian pada pokoknya merupakan pernyataan kewajiban pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Jika dikaitkan dengan pendidikan dan pelatihan mengemudi, kewajiban tersebut telah diakomodasi dalam bentuk aturan mengenai izin dan akreditasi lembaga pendidikan dan pelatihan mengemudi yang termaktub pada Pasal 78 UU LLAJ. Dalam hal ini, Pasal 78 ayat (3) menyatakan bahwa,
“Izin penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan mengemudi yang diberikan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.”
Oleh karena itu, sesungguhnya tidak terdapat pertentangan antara pengaturan terkait pendidikan yang diatur dalam UU Sisdiknas dengan pengaturan cara memperoleh kompetensi mengemudi dalam UU LLAJ. Bahkan kesempatan memiliki kompetensi mengemudi dengan belajar sendiri dalam Pasal 77 ayat (3) UU LLAJ telah sejalan dengan ruang atau jalur mendapatkan pendidikan sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas. Pertentangan justru akan terjadi apabila kesempatan untuk memperoleh kompetensi mengemudi dari belajar sendiri dihapus atau dihilangkan, undang-undang a quo justru menutup salah satu jalur pendidikan dalam rangka mendapatkan kompetensi mengemudi, dan pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah dalil para Pemohon bahwa frasa “atau belajar sendiri” dalam Pasal 77 ayat (3) UU LLAJ bertentangan dengan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.12.2] Bahwa para Pemohon mendalilkan frasa “atau belajar sendiri” dalam Pasal 77 ayat (3) UU LLAJ bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena menimbulkan ketidakadilan bagi output lembaga kursus dan pelatihan para Pemohon. Terhadap dalil tersebut, jika dicermati argumentasi para Pemohon berkenaan dengan anggapan adanya pertentangan antara frasa a quo dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 pada pokoknya adalah sama yaitu adanya anggapan terjadi ketidakpastian hukum terhadap output lembaga kursus dan pelatihan tempat usaha para Pemohon. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah telah terjawab melalui pertimbangan pada Paragraf [3.11] dan [3.12.1] di atas bahwa yang menjadi objek atau tujuan untuk memperoleh kompetensi mengemudi, dalam hal ini adalah untuk memperoleh SIM, di mana segala aturan mengenai syarat, jenis serta lembaga yang berwenang menerbitkan SIM tersebut telah jelas diatur dalam Pasal 77, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, dan Pasal 88 UU LLAJ. Dengan demikian sudah jelas bahwa apapun bentuk kompetensi yang menjadi output dari lembaga pendidikan pelatihan, selama calon pengemudi tersebut tidak lulus ujian mengemudi sebagaimana dimaksud undang-undang a quo, maka dapat dipastikan kompetensi tersebut tidak cukup sebagai syarat untuk mendapatkan SIM, khususnya untuk calon pengemudi yang belajar di lembaga pendidikan dan pelatihan. Namun sebaliknya, jika seseorang yang belajar sendiri ternyata berdasarkan hasil ujian mengemudi dinyatakan memiliki kompetensi yang cukup untuk mendapatkan SIM maka kompetensi tersebut harus diakui, dan tidak dapat dikatakan kompetensi tersebut menjadi tidak sah atau tidak valid. Selain itu, secara umum baik dalam sistem pendidikan nasional maupun dalam praktik sehari-hari, untuk berbagai jenis keahlian jika seseorang yang belajar sendiri dapat lulus ujian standardisasi sebagaimana seseorang yang mendapatkan keahlian tersebut melalui pendidikan dan pelatihan yang resmi atau dengan dilatih tenaga profesional bukan berarti terjadi ketidakpastian terhadap akreditasi tenaga pelatih dan instruktur dimaksud. Oleh karena itu, negara tidak mungkin melarang warga negaranya untuk memperoleh keahlian dengan belajar sendiri tanpa melalui lembaga yang terakreditasi, karena ukuran kompetensi adalah pada ujian yang telah ada standarnya, bukan pada dengan cara apa kompetensi tersebut diperoleh. Bahkan dalam standar internasional pun, pada batas-batas tertentu, misalnya, untuk penguasaan bahasa Inggris yang dibuktikan dengan sertifikat Test of English as a Foreign Language (TOEFL) atau International English Language Testing System (IELTS) tidak mensyaratkan bahwa seseorang harus sebelumnya mengikuti pendidikan dan pelatihan terkait keahlian dimaksud. Hal inipun tidak berimplikasi pada terjadinya ketidakpastian hukum dan ketidakadilan terhadap akreditasi pengajar bahasa Inggris.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalil para Pemohon tentang frasa “atau belajar sendiri” dalam Pasal 77 ayat (3) UU LLAJ bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.12.3] Bahwa para Pemohon mendalilkan frasa “atau belajar sendiri” dalam Pasal 77 ayat (3) UU LLAJ bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 karena dengan berlakunya frasa “atau belajar sendiri” dalam Pasal 77 ayat (3) UU LLAJ, dapat menjadi legitimasi bagi calon pengemudi untuk tidak mengikuti pendidikan, pelatihan dan ujian mengemudi dari lembaga kursus dan pelatihan yang telah terakreditasi oleh Pemerintah. Lebih lanjut hal ini menurut para Pemohon berimplikasi pada sulitnya para Pemohon mengembangkan usahanya karena sulit mendapatkan investasi. Terhadap dalil ini, menurut Mahkamah, tidak tepat apabila para Pemohon mengganggap telah terhambat pengembangan usahanya karena adanya faktor undang-undang atau regulasi yang menghambat, karena dalam UU LLAJ, profesi dan jenis usaha para Pemohon sebagai pengusaha pada lembaga pendidikan dan pelatihan mengemudi sudah diakomodasi dan diatur dengan jelas dalam Pasal 78. Tidak ada norma yang secara langsung menghambat atau menghalangi para Pemohon dalam mengembangkan usahanya tersebut. Jikapun para Pemohon tetap beranggapan kebebasan bagi calon pengemudi untuk belajar sendiri dalam memperoleh kompetensi mengemudi sebagai bentuk regulasi yang dapat menghambat usaha para Pemohon, maka para Pemohon sebagai pelaku usaha harusnya memahami bahwa regulasi bukanlah satu-satunya faktor penentu dalam berkembang atau tidaknya suatu usaha. Berkembang atau tidaknya usaha para Pemohon juga dapat didorong dengan adanya kreatifitas, inovasi dan komitmen untuk maju dan mempromosikan usahanya kepada calon investor. Sebagai contoh, fenomena munculnya usaha di bidang transportasi umum berbasis jaringan (online) yang lahir dan berkembang serta berhasil menarik investasi dengan begitu cepat sebelum adanya regulasi yang mendukung. Justru sebaliknya apabila belajar sendiri tidak dimunculkan sebagai salah satu alternatif untuk memperoleh kompetensi mengemudi, maka akan melanggar atau menghalangi hak konstitusional warga negara untuk mengembangkan dirinya secara otodidak untuk memperoleh SIM. Proses belajar melalui lembaga kursus tentunya lebih baik dibandingkan belajar sendiri karena prosesnya dilakukan berdasarkan kurikulum dan standar tertentu yang ditetapkan pemerintah, serta dilaksanakan oleh lembaga pelatihan dan pendidikan yang memiliki izin dan akreditasi. Namun, hal itu sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk menutup ruang bagi warga negara yang memilih untuk mendapatkan kompetensi melalui proses belajar sendiri. Dalam konteks ini, hukum atau undang-undang tidak dapat meniadakan proses “belajar sendiri” sebagai alternatif mendapatkan kompetensi mengemudi di samping belajar melalui lembaga pelatihan. Sebab, upaya memiliki kompetensi tentunya juga merupakan bagian dari hak warga negara dan oleh karenanya, warga negara juga berhak memilih cara yang tersedia untuk mendapatkan kompetensi dimaksud. Jika semua calon pengemudi untuk mendapatkan SIM diharuskan mengikuti lembaga pendidikan dan pelatihan yang mendapat izin dan akreditasi dari pemerintah, maka kebutuhan akan jumlah dan persebaran lembaga tersebut menjadi mutlak diperlukan. Tanpa jumlah yang memadai dan persebaran yang merata maka hak konstitusional warga negara yang ingin mendapatkan SIM menjadi terhalangi. Setelah Mahkamah mencermati dokumen yang dilampirkan para Pemohon berkenaan dengan daftar yang menurut para Pemohon sebagai daftar lembaga pendidikan dan pelatihan mengemudi (bukti P-10), terlihat bahwa dari wilayah administrasi di Indonesia, yaitu dari 416 Kabupaten dan 98 Kota, lembaga pendidikan dan pelatihan di bidang mengemudi baru terdapat di 145 Kabupaten dan 66 Kota, sehingga terdapat wilayah administrasi sebanyak 271 Kabupaten dan 32 Kota yang belum memiliki lembaga terdaftar. Dengan fakta tersebut, dapat dipastikan hak warga negara untuk memajukan dirinya akan terlanggar jika dalil para Pemohon dikabulkan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalil para Pemohon tentang frasa “atau belajar sendiri” dalam Pasal 77 ayat (3) UU LLAJ bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.12.4] Bahwa para Pemohon mendalilkan frasa “atau belajar sendiri” dalam Pasal 77 ayat (3) UU LLAJ bertentangan dengan Pasal 28A dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, karena seseorang yang belajar mengemudi di Jalan dan/atau areal umum secara otodidak atau diajar oleh orang yang tidak memiliki kompetensi, kualifikasi dan kewenangan sebagai Instruktur merupakan ancaman terhadap rasa aman dan hak hidup masyarakat Indonesia dan ancaman terhadap perlindungan harta benda milik masyarakat Indonesia. Terhadap dalil tersebut, menurut Mahkamah para Pemohon harus dapat memahami bahwa setiap warga negara terikat pada ketentuan pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU LLAJ yang di dalamnya terdapat aturan mengenai larangan dalam penggunaan jalan umum serta pertanggungjawaban pidana terhadap segala jenis kelalaian yang terjadi di jalan umum, misalnya, Pasal 359 KUHP juncto Pasal 310 UU LLAJ yang mengatur mengenai kelalaian yang menyebabkan kematian. Dengan kata lain warga negara yang sedang belajar mengemudi maupun yang telah mahir jika melakukan kelalaian yang menyebabkan kecelakaan di jalan tentu tidak dapat menghindar dari pertanggungjawaban pidananya.
Jika dicermati pasal demi pasal dalam UU LLAJ, maka Pasal 77 ayat (3) haruslah dipahami bersama-sama dengan pasal lain dalam undang-undang a quo, di mana Pasal 77 ayat (1) UU LLAJ menyatakan bahwa, “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan,” dengan demikian jika calon pengemudi yang “belajar sendiri” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3) a quo adalah orang yang belum memiliki SIM, maka seharusnya orang tersebut dilarang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan, di mana “Jalan” dalam undang-undang ini diartikan sebagai “seluruh bagian Jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi Lalu Lintas Umum” [vide Pasal 1 angka 12 UU LLAJ]. Selain itu Pasal 79 ayat (1) menyatakan bahwa setiap calon pengemudi pada saat belajar mengemudi atau mengikuti ujian praktik mengemudi di Jalan wajib didampingi instruktur atau penguji. Dengan demikian berdasarkan serangkaian ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa jika seseorang yang tidak memiliki SIM tidak diperbolehkan mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan (yang diperuntukkan bagi Lalu Lintas Umum), dan jika seseorang belajar mengemudi di Jalan (yang diperuntukkan bagi Lalu Lintas Umum), harus didampingi instruktur. Dengan kata lain, ketentuan Pasal 77 ayat (3) UU LLAJ hanya memungkinkan seorang yang tidak memiliki SIM dan tidak didampingi instruktur untuk belajar mengemudi sendiri di tempat selain Jalan yang diperuntukkan bagi Lalu Lintas Umum. Oleh karena itu menurut Mahkamah ketentuan Pasal 77 ayat (3) UU LLAJ bukan berarti merupakan pembiaran adanya calon pengemudi untuk belajar sendiri di Jalan umum dan membahayakan orang maupun harta benda, karena norma lain dalam UU a quo tidak memungkinkan hal tersebut. Frasa “atau belajar sendiri” masih memungkinkan karena ada berbagai cara dan sarana untuk belajar sendiri tanpa menggunakan Jalan yang diperuntukkan bagi Lalu Lintas umum, seperti menggunakan lahan pribadi, lapangan, atau melalui teknologi simulasi sehingga tidak melanggar UU LLAJ khususnya Pasal 77 ayat (1) dan Pasal 79 ayat (1). Dengan demikian UU LLAJ sesungguhnya telah menegaskan bahwa seseorang yang tidak memiliki SIM mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan (yang diperuntukkan bagi Lalu Lintas Umum) tanpa didampingi instruktur merupakan pelanggaran terhadap undangundang a quo apapun alasannya, termasuk dengan alasan “belajar (mengemudi) sendiri.” Selain itu, beban tanggung jawab bagi orang yang belajar sendiri tidak dapat disamakan dengan orang yang belajar pada lembaga pendidikan dan pelatihan. Pilihan belajar sendiri di satu sisi, misalnya, tidak menambahkan beban keuangan yang mesti dikeluarkan untuk mendapatkan kompetensi mengemudi, namun di sisi lain, proses belajar sendiri juga berimplikasi terhadap munculnya kewajiban untuk menanggung segala akibat dari proses belajar sendiri tersebut. Artinya, dalam hal bagi seseorang yang “belajar sendiri”, ia tetap memikul tanggung jawab atas pelanggaran dan/atau kecelakaan lalu lintas yang terjadi pada saat belajar dan mengikuti ujian praktik mengemudi di jalan. Namun demikian, meskipun seseorang diperbolehkan untuk belajar sendiri, hanya dibolehkan sepanjang didampingi oleh pendamping yang memiliki SIM sesuai dengan golongan kendaraan dan tidak dilakukan di jalan umum.
Jikapun para Pemohon dalam permohonannya mendalilkan dengan contoh berbagai kasus konkret di mana keamanan masyarakat di jalan umum terancam oleh warga yang terindikasi sedang belajar sendiri mengemudi di jalan, maka perilaku tersebut sesungguhnya merupakan pelanggaran UU LLAJ dan KUHP dan merupakan ranah implementasi norma bukan persoalan konstitusionalitas norma. Dengan demikian, merupakan tugas pemerintah c.q menteri terkait sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU LLAJ serta Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menegakkan hukum berkenaan dengan persoalan kompetensi mengemudi yaitu dengan cara melaksanakan proses ujian kompetensi mengemudi yang akuntabel dan tegas serta melakukan sosialiasi agar para calon pengemudi tidak menggunakan jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum untuk belajar mengemudi tanpa didampingi oleh instruktur. Dan apabila menggunakan jalan yang tidak diperuntukkan bagi lalu lintas umum harus didampingi seseorang yang memiliki SIM sesuai dengan jenis kendaraan yang digunakan untuk belajar.
Berdasarkan pertimbangan di atas menurut Mahkamah dalil para Pemohon mengenai frasa “atau belajar sendiri” dalam Pasal 77 ayat (3) UU LLAJ bertentangan dengan Pasal 28A dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil-dalil permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430