Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 8/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-06-2020

Eliadi Hulu dan Ruben Saputra Hasiholan.

Pasal 107 ayat (2), dan Pasal 293 ayat (2) UU LLAJ.

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

[3.6] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pada paragraf [3.5] dikaikan dengan paragraf [3.3] dan paragraf [3.4] di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon dalam kualifikasinya sebagai perorangan warga negara Indonesia yang merupakan pengguna sepeda motor pemegang Surat Ijin Mengemudi (vide bukti P-6 dan bukti P-7), telah dapat menjelaskan anggapan kerugian konstitusional yang dialaminya, yaitu para Pemohon mengalami ketidakpastian hukum yang adil sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, anggapan kerugian dimaksud memiliki keterkaitan atau hubungan kausalitas dengan berlakunya ketentuan norma dalam Pasal 107 ayat (2) dan Pasal 293 ayat (2) UU LLAJ yang dimohonkan pengujian. Di samping itu para Pemohon telah menjelaskan pula bahwa kerugian konstitusional yang dianggapkan tersebut tidak akan terjadi lagi apabila permohonan para Pemohon dikabulkan. Oleh karena itu terlepas dari ada atau tidaknya persoalan inkonstitusionalitas norma yang didalilkan para Pemohon, menurut Mahkamah para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai para Pemohon dalam permohonan a quo.

[3.12] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.11] di atas, terhadap dalil para Pemohon, persoalan konstitusional yang harus dipertimbangkan Mahkamah adalah apakah benar frasa “siang hari” dalam Pasal 107 ayat (2) dan Pasal 293 ayat (2) UU LLAJ menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap persoalan konstitusional tersebut Mahkamah mempertimbangkan:

[3.12.1] Bahwa angka kecelakaan lalu lintas yang terjadi terus mengalami peningkatan, salah satu penyebabnya adalah sesama pengendara yang tidak dapat mengantisipasi keberadaan kendaraan satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu undang-undang mengatur mengenai pembatasan yang merupakan antisipasi bagi pengendara terhadap pengendara lain, seperti prasyarat kesehatan penglihatan bagi pengendara, lampu kendaraan, klakson, kaca spion, dan lain sebagainya. Adapun tujuan pengaturan dan pembatasan demikian tak lain adalah untuk mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas;
Dalam kaitan ini, Pasal 107 UU LLAJ mengatur mengenai penggunaan lampu utama bagi pengendara kendaraan bermotor dan Pasal 293 UU LLAJ mengatur mengenai sanksi atas pelanggaraan penggunaan lampu utama. Lampu utama merupakan salah satu bagian dari seluruh sistem lampu dan alat pemantul cahaya dalam sebuah kendaraan sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 48 ayat (2) huruf a bagian i yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan. Khusus sepeda motor harus dilengkapi dengan lampu utama dekat dan lampu utama jauh paling banyak dua buah dan dapat memancarkan cahaya paling sedikit 40 (empat puluh) meter ke arah depan untuk lampu utama dekat dan 100 (seratus) meter ke arah depan untuk lampu utama jauh [vide Pasal 24 ayat (1) PP 55/2012]

[3.12.2] Bahwa di samping pengaturan tersebut di atas Pasal 107 UU LLAJ menyatakan:
(1) Pengemudi kendaraan bermotor wajib menyalakan lampu utama kendaraan bermotor yang digunakan di jalan pada malam hari dan pada kondisi tertentu.
(2) Pengemudi sepeda motor selain mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyalakan lampu utama pada siang hari.

Dengan demikian ketentuan yang terdapat dalam norma tersebut adalah bahwa bagi semua kendaraan bermotor tanpa terkecuali wajib menyalakan lampu utama pada malam hari dan pada kondisi tertentu [Pasal 107 ayat (1) UU LLAJ], yang baik malam hari maupun kondisi tertentu merupakan kondisi yang gelap atau terbatasnya jarak pandang akibat kurangnya pencahayaan. Pada kondisi ini setiap kendaraan tanpa terkecuali harus menyalakan lampu utama, sehingga semua kendaraan yang berada di jalan satu sama lain dapat saling mengantisipasi kendaraan lain yang berada di sekitarnya dan yang akan melintas.
Sementara itu untuk siang hari, hanya sepeda motor yang diwajibkan untuk menyalakan lampu utama [Pasal 107 ayat (2) UU LLAJ]. Kewajiban menyalakan lampu utama khusus sepeda motor pada siang hari, memiliki alasan keamanan tersendiri. Siang hari adalah saat yang terang, maka sesungguhnya setiap kendaraan bisa mengantisipasi kendaraan lain, termasuk kendaraan di belakangnya melalui kaca spion. Namun karena ukuran dan bentuk sepeda motor yang mudah melakukan akselerasi di jalan, serta bentuk sepeda motor relatif lebih kecil maka seringkali pengendara lain tidak bisa mengantisipasi keberadaan sepeda motor yang ada di belakangnya maupun dari depan dengan jarak yang masih relatif jauh. Lebih lanjut lagi sepeda motor dapat dengan mudah melintas maupun mendahului kendaraan di depannya. Dengan kewajiban pengendara sepeda motor menyalakan lampu utama pada siang hari, maka pengendara kendaraan lain di depan motor tersebut dengan mudah dapat mengantisipasi keberadaan sepeda motor yang ada di sekitarnya atau yang sedang atau akan melintas. Di samping alasan tersebut, sinar lampu utama dari sepeda motor akan dipantulkan dari kaca spion kendaraan yang berada di depannya sehingga kendaraan bisa mengantisipasi adanya sepeda motor yang ada di belakangnya, dan dalam batas penalaran yang wajar, hal ini dapat menghindari terjadinya kecelakaan;
Bahwa jumlah pengendara sepeda motor semakin meningkat dan angka kecelakaan yang melibatkan sepeda motor juga semakin tinggi. Hal tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga terjadi di pelbagai belahan dunia. Oleh karena itu aturan untuk menyalakan lampu kendaraan bagi pengendara sepeda motor pada siang hari juga diterapkan di negara lain, seperti di Malaysia, India, Canada, termasuk negara-negara Uni Eropa (bukan hanya negara Nordik). Penerapan aturan menyalakan lampu kendaraan pada siang hari (baik daytime running light ataupun automatic headlamp on) di pelbagai belahan dunia kini semakin digalakkan, dari tingkatan “himbauan” sampai dengan tingkatan “kewajiban”;
Dengan demikian berdasarkan ratio legis dari pengaturan penggunaan lampu utama pada siang hari yang diatur dalam Pasal 107 ayat (2) UU LLAJ, maka pentingnya menyalakan lampu sepeda motor adalah saat hari sedang terang, sehingga akan menegaskan adanya perbedaan pengaturan norma yang ada dalam Pasal 107 ayat (1) dengan Pasal 107 ayat (2) UU LLAJ, khususnya penekanan perbedaan pada keadaan gelap dan keadaan terang. Dalam keadaan gelap (malam hari dan kondisi tertentu) semua pengendara kendaraan wajib menyalakan lampu utama, dan dalam keadaan terang hanya sepeda motor yang wajib menyalakan lampu utama.
Dengan demikian menurut Mahkamah, maka makna “siang hari” haruslah dilekatkan dengan keadaan pada saat hari sedang terang. Oleh karena itu sesungguhnya dalam konteks norma a quo tidak diperlukan pembagian pagi-siang-petang/sore untuk memaknainya. Terlebih apabila makna “siang hari” harus dikaitkan dengan pembagian waktu sebagaimana yang didalilkan para Pemohon, maka implementasi Pasal 107 ayat (2) UU LLAJ menjadi rancu, sebab pada waktu pagi dan petang sepeda motor tidak perlu menyalakan lampu utama (sebagaimana posita para Pemohon yang menganggap pukul 09.00 WIB bukanlah saat yang tepat untuk melakukan penilangan dengan menggunakan Pasal 107 ayat (2) UU LLAJ), padahal pentingnya sepeda motor menyalakan lampu utama pada saat terang, baik siang, pagi maupun petang adalah agar kendaraan lain bisa mengantisipasi gerak dari sepeda motor. Jika pagi dan petang dimaknai tidak termasuk dalam siang hari yang dimaksud oleh Pasal 107 ayat (2) UU LLAJ dan kendaraan sepeda motor belum/tidak diwajibkan menyalakan lampu utama, maka kecelakaan akibat tidak dapat mengantisipasi adanya sepeda motor akan sering terjadi pada pagi dan petang. Dengan penegasan lain ketika hari sudah terang, yaitu sejak matahari terbit hingga matahari terbenam, diperlukan penanda yang jelas karena telah terkamuflasenya antara sinar matahari pada waktu hari sudah terang dengan fisik benda pengguna lalu lintas dalam hal ini sepeda motor yang bentuknya relatif kecil dan kadang dalam jumlah yang padat. Sehingga, menurut Mahkamah hal ini menunjukkan tidak ada relevansinya untuk mengelompokkan pembagian waktu siang hari dengan waktu pagi, siang dan sore/petang sebagaimana yang dimohonkan para Pemohon. Sebab hal fundamental yang menjadi esensi persoalan sesungguhnya bukan membedakan pagi hingga sore hari dengan pengelompokan waktu, akan tetapi semangatnya adalah frasa “siang hari” pada norma Pasal 107 ayat (2) UU LLAJ tersebut yang dimaksudkan adalah hari sudah terang;
Bahwa secara doktriner maupun ilmu astronomi, berkenaan pembagian waktu hanya dikenal waktu siang dan malam, hal tersebut disebabkan adanya fenomena alam dengan mengikuti perputaran bumi dan matahari. Pada waktu siang sesungguhnya adalah waktu di mana ketika bumi berputar pada porosnya dan ketika itu wajah bumi berhadapan dengan matahari. Sedangkan, waktu malam adalah di mana ketika itu wajah bumi membelakangi matahari. Oleh karena itu berdasarkan perputaran bumi terhadap matahari diperoleh adanya pembagian waktu siang dan malam yang esensinya adalah berasal dari keadaan waktu ketika bumi dalam keadaan gelap dan terang.
Lebih lanjut dapat dijelaskan berkaitan dengan pembagian waktu ini, untuk wilayah negara Indonesia hampir mendapatkan waktu yang sama antara siang dan malam, yaitu masing-masing kurang lebih 12 jam. Sementara itu sebutan atau istilah waktu pagi dan sore atau petang, sesungguhnya hanya menegaskan, bahwa waktu pagi adalah waktu mulainya siang dan waktu sore atau petang adalah waktu berakhirnya siang. Oleh karena itu pada hakikatnya waktu pagi maupun sore atau petang sebenarnya adalah merupakan bagian dari waktu siang hari;
Bahwa untuk memperkuat pertimbangan tersebut, penting bagi Mahkamah mempertimbangkan pula, oleh karena frasa “siang hari” ini berkaitan dengan norma yang mengatur tentang perintah dan sanksi apabila dilanggar, maka sebagai perbandingan relevan apabila dikaitkan dengan frasa “malam hari” sebagaimana yang terdapat dalam kualifikasi perbuatan pidana yang dilakukan pada “malam hari” yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Bahwa frasa “malam hari” dalam KUHP yang dimaksudkan adalah ketika antara matahari mulai terbenam hingga matahari terbit. Oleh karena itu frasa “siang hari” dalam Pasal 107 ayat (2) UU LLAJ ekuivalen dengan frasa “malam hari” dalam KUHP. Dengan demikian dapat dimaknai siang hari adalah waktu ketika matahari terbit sampai matahari terbenam.

[3.12.3] Bahwa di samping pertimbangan hukum tersebut di atas, lebih lanjut dapat dipertimbangkan, apabila permohonan para Pemohon dikabulkan sebagaimana yang dikehendaki dalam petitumnya yang meminta agar frasa “siang hari” dimaknai sepanjang hari, maka menurut Mahkamah di samping tidak bersesuaian dengan kerugian konstitusional yang didalilkan para Pemohon juga dapat berdampak adanya ambiguitas terhadap pemberlakuan Pasal 107 UU LLAJ. Sebab, jika dibaca secara keseluruhan Pasal 107 UU LLAJ, baik pada ayat (1) maupun ayat (2), maka maksud pembentuk undang-undang memang memerintahkan kepada pengendara sepeda motor untuk menyalakan lampu utama baik pada saat gelap maupun terang. Oleh karena itu jika para Pemohon mengartikan ke dalam sequence pembagian hari, maka memang secara faktual bermakna lampu sepeda motor wajib dinyalakan sepanjang waktu, tanpa harus ada pembagian waktu. Hal ini yang kemudian secara faktual pula mendorong pabrikan sepeda motor memproduksi kendaraan sepeda motor dengan membuat lampu utama menyala secara otomatis saat motor dinyalakan, sehingga tidak lagi dibuat instrumen untuk menyalakan dan mematikan lampu utama sepeda motor saat motor dalam keadaan menyala. Namun apakah dengan demikian frasa “siang hari” dalam Pasal 107 ayat (2) UU LLAJ perlu diubah menjadi “sepanjang hari” Menurut Mahkamah hal ini justru tidak tepat karena di samping menjadi ambigu sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, juga akan terjadi tumpang tindih dengan norma yang ada dalam Pasal 107 ayat (1) UU LLAJ.
Bahwa lebih lanjut penting dijelaskan, di samping terjadi ambiguitas dan tumpang tindih sebagaimana Mahkamah pertimbangkan tersebut di atas, juga akan terjadi redundansi pengaturan, jika frasa “siang hari” dalam Pasal 293 ayat (2) diganti menjadi frasa “sepanjang hari”. Dalam Pasal 293 ayat (2) UU LLAJ yang dimohonkan pengujian, mengatur mengenai sanksi atas pelanggaraan penggunaan lampu utama pada siang hari. Namun jika frasa “siang hari” diganti dengan frasa sepanjang hari, maka akan terjadi tumpang tindih dan redundansi serta saling tidak bersesuaian dengan norma Pasal 293 ayat (1) UU LLAJ yang mengatur sanksi atas pelanggaran penggunaan lampu utama pada saat gelap dan kondisi tertentu. Hal tersebut dikarenakan kata “sepanjang hari” sebagaimana yang dimohonkan para Pemohon dapat bermakna baik siang maupun malam, termasuk saat gelap dan kondisi tertentu, padahal pengaturan sanksi untuk pelanggaran penggunaan lampu utama saat gelap dan kondisi tertentu sudah diatur dalam Pasal 293 ayat (1) UU LLAJ, yang mana baik kualifikasi pelanggarannya maupun ancaman sanksinya juga berbeda, yaitu sanksi dalam Pasal 293 ayat (1) UU LLAJ lebih berat daripada sanksi yang ditentukan dalam Pasal 293 ayat (2) UU LLAJ.
Bahwa di samping pertimbangan hukum Mahkamah sebagaimana diuraikan di atas, hal yang amat krusial dapat terjadi adalah adanya kerancuan yang muncul saat aparat hendak melakukan penegakan hukum jika ada pengendara sepeda motor tidak menyalakan lampu utama pada malam hari. Sebab, terhadap pelanggaran demikian, maka aparat penegak hukum akan menemukan kesulitan berkenaan dengan kualifikasi pelanggaran yang dilakukan pengendara sepeda motor, apakah terhadapnya dapat dikenakan sangkaan melanggar Pasal 293 ayat (1) UU LLAJ ataukah melanggar Pasal 293 ayat (2) UU LLAJ karena disebabkan adanya redundansi pemaknaan “sepanjang hari” sebagaimana yang dikehendaki dan didalilkan para Pemohon, karena malam hari juga merupakan bagian dari sepanjang hari.
[3.12.4] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendirian, makna frasa “siang hari” sebagaimana yang termuat dalam Pasal 107 ayat (2) UU LLAJ dan Pasal 293 ayat (2) UU LLAJ telah jelas dan memberikan kepastian hukum. Sehingga jikalau masih ada pendapat yang menganggap pagi dan sore atau petang hari adalah berbeda dengan siang hari, hal demikian semata-mata hanya permasalahan anggapan yang didasarkan pada kelaziman istilah penyebutan saja, bukan permasalahan yang berdasarkan pada kajian teori, doktrin, dan argumentasi ilmiah. Oleh karena itu hal demikian menjadi jawaban bahwa sesungguhnya tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma terhadap Pasal 107 ayat (2) dan Pasal 293 ayat (2) UU LLAJ.
[3.13] Menimbang bahwa selain hal-hal yang telah dipertimbangkan pada pertimbangan hukum di atas, terhadap dalil-dalil para Pemohon selain dan selebihnya, oleh karena tidak ada relevansinya maka Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut;
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.