Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA), Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah Provinsi Kalimantan Barat (KPPAD Provinsi Kalimantan Barat), Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Kota Bogor (KPAID Kota Bogor), Komisi Perlindungan Anak Daerah Kota Bandung (KPAD Kota Bandung), Komisi Perlindungan Anak Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (KPAD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung), Komisi Pengawasan Dan Perlindungan Anak Daerah Provinsi Kepulauan Riau (KPPAD Provinsi Kepulauan Riau), Komisi Perlindungan Anak Daerah Kabupaten Subang (KPAD Kabupaten Subang), Dr. M. Zahrin Piliang, M.Si., Meidy Hendrianus, A.Md.Par dan Elvi Hadriany, S.P., M.Psi yang diwakili kuasa hukumnya Muhammad Joni, S.H., M.H., dkk, para advokat dan konsultan hukum yang tergabung dalam Tim Kuasa Hukum KPAI & KPAD (selanjutnya disebut Para Pemohon).
Pasal 74 ayat (1) dan (2) dan Pasal 76 huruf a UU 35/2014
Pasal 28B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 74 ayat (1) dan (2) dan Pasal 76 huruf a UU 35/2014 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan para Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan, pada pokoknya permohonan a quo menguji konstitusionalitas norma Pasal 74 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 76 huruf a UU Perlindungan Anak yang menurut para Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 dengan alasan-alasan sebagaimana telah diuraikan dalam Paragraf [3.7]. Terhadap dalil-dalil para Pemohon tersebut, sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan hal-hal sebagai berikut:
[3.10.1] Bahwa anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan (vide Penjelasan Umum UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, selanjutnya disebut UU 23/2002). Sekalipun hak anak telah dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, namun untuk memperkuat jaminan pemenuhan hak anak tersebut maka dalam UU Perlindungan Anak ditentukan secara lebih komprehensif mengenai hak dan kewajiban serta tanggung jawab pihak-pihak demi terpenuhinya hak anak dimaksud. Oleh karena itu untuk mengefektifkan penyelenggaraan perlindungan anak perlu dibentuk KPAI, dengan tugas semula adalah melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak, serta memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak (vide Pasal 74 dan Pasal 76 UU 23/2002). Selanjutnya, dalam perubahan UU 23/2002 dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, tugas KPAI pun mengalami perubahan menjadi: melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak anak; memberikan masukan dan usulan dalam perumusan kebijakan tentang penyelenggaraan perlindungan anak; mengumpulkan data dan informasi mengenai perlindungan anak; menerima dan melakukan penelaahan atas pengaduan masyarakat mengenai pelanggaran hak anak; melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran hak anak; melakukan kerja sama dengan lembaga yang dibentuk masyarakat di bidang perlindungan anak; dan memberikan laporan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang ini;
[3.10.2] Bahwa perubahan atas UU Perlindungan Anak dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas implementasi pengawasan oleh kelembagaan yang diberi tugas melakukan pengawasan atas pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak anak hingga di daerah. Ketentuan yang semula mengatur mengenai kelembagaan pengawasan tersebut hanya terdapat di tingkat pusat (KPAI) sebagaimana dinyatakan bahwa “Dalam rangka meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak, dengan undang-undang ini dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen” (vide Pasal 74 UU 23/2002). Undang-Undang tersebut belum memberikan kejelasan bagaimana jangkauan upaya penyelenggaraan perlindungan anak hingga tingkat daerah dan bagaimana pula upaya pemerintah daerah mendukung penyelenggaraan perlindungan anak sehingga benar-benar bisa sejalan dengan maksud pengesahan Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on The Rights of The Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak). Oleh karena tuntutan kebutuhan tersebut, selanjutnya pembentuk undang-undang mengubah secara menyeluruh Bab XI tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia dalam UU 23/2002. Perubahan-perubahan tersebut pada pokoknya berkaitan dengan:
1. Dapat dibentuknya Komisi Perlindungan Anak Daerah oleh pemerintah daerah guna mendukung pengawasan penyelenggaraan perlindungan anak di daerah (Pasal 74 ayat (2) UU Perlindungan Anak);
2. Perubahan struktur KPAI yang semula seorang ketua, 2 (dua) orang wakil ketua, dan seorang sekretaris serta 5 (lima) orang anggota, menjadi seorang ketua, seorang wakil ketua dan 7 orang anggota (Pasal 75 ayat (1) dan ayat (2) UU Perlindungan Anak);
3. Perubahan masa jabatan KPAI yang semula 3 (tiga) tahun menjadi 5 (lima) tahun (Pasal 75 ayat (3) UU Perlindungan Anak); dan
4. Penataan tugas KPAI agar sejalan dengan tujuan perlindungan anak.
Sebelumnya, dalam UU 23/2002 tidak disebutkan sama sekali pembentukan kelembagaan KPAI di daerah (KPAID), karena hanya disinggung sekilas dalam penjelasan UU ketika hendak menjelaskan mengenai struktur organisasi KPAI yang menjelaskan, “kelengkapan organisasi yang akan diatur dalam Keputusan Presiden termasuk pembentukan organisasi di daerah” (vide Penjelasan Pasal 75 ayat (5) UU 23/2002). Penjelasan tersebut kemudian ditingkatkan oleh pembentuk undang-undang menjadi bagian dari substansi UU Perlindungan Anak, yang menentukan bahwa “Dalam hal diperlukan, Pemerintah Daerah dapat membentuk Komisi Perlindungan Anak Daerah atau lembaga lainnya yang sejenis untuk mendukung pengawasan penyelenggaraan Perlindungan Anak di daerah” (vide Pasal 74 ayat (2) UU Perlindungan Anak).
[3.10.3] Bahwa selain diatur dalam UU Perlindungan Anak, ketentuan mengenai perlindungan hak anak juga diatur dalam UU 23/2014 dengan menggunakan nomenklatur urusan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak (Pasal 12 ayat (2) huruf b UU 23/2014). Setidaknya terdapat 2 (dua) sub urusan mengenai hak anak yang ditegaskan dalam UU tersebut yaitu: Pertama, sub-urusan Pemenuhan Hak Anak (PHA) di mana dalam perspektif pembagian urusan konkuren telah ditentukan bahwa: (a) pemerintah (pusat) menyelenggarakan pelembagaan PHA pada lembaga pemerintah, nonpemerintah, dan dunia usaha tingkat nasional serta penguatan dan pengembangan lembaga penyedia layanan peningkatan kualitas hidup anak tingkat nasional; (b) pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota menyelenggarakan pelembagaan PHA pada lembaga pemerintah, nonpemerintah, dan dunia usaha serta penguatan dan pengembangan lembaga penyedia layanan peningkatan kualitas hidup anak tingkat daerah provinsi dan lintas daerah kabupaten/kota serta daerah kabupaten/kota. Kedua, sub-urusan Perlindungan Khusus Anak (PKA), di mana dalam perspektif pembagian urusan konkuren telah ditentukan pula bahwa: (a) pemerintah pusat melakukan pencegahan kekerasan terhadap anak yang melibatkan para pihak dalam lingkup nasional dan lintas daerah provinsi; penyediaan layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus yang memerlukan koordinasi tingkat nasional dan internasional; serta penguatan dan pengembangan lembaga penyedia layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus tingkat nasional dan lintas daerah provinsi. (b) pemerintah daerah pada tingkat provinsi dan/atau kabupaten/kota menyelenggarakan urusan berupa: 1) Pencegahan kekerasan terhadap anak yang melibatkan para pihak lingkup daerah provinsi dan lintas daerah kabupaten/kota dan daerah kabupaten/kota; 2) Penyediaan layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus yang memerlukan koordinasi tingkat daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota; 3) Penguatan dan pengembangan lembaga penyedia layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus tingkat daerah provinsi dan lintas daerah kabupaten/kota serta daerah kabupaten/kota.
Berdasarkan pertimbangan di atas penyelenggaraan urusan perlindungan anak dalam konteks otonomi daerah berdasarkan UU 23/2014 pada pokoknya menghendaki adanya pelembagaan PHA, penguatan kelembagaan penyedia layanan untuk peningkatan kualitas hidup anak, pencegahan kekerasan terhadap anak dan penyediaan layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus.
Selain ditentukan lingkup penyelenggaraan urusan konkuren untuk perlindungan hak anak di daerah, UU 23/2014 juga telah menentukan bahwa urusan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak merupakan urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar (vide Pasal 12 ayat (2) huruf b UU 23/2014). Hal ini berbeda dengan urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, misalnya pendidikan, kesehatan, perumahan, di mana pemerintah daerah memrioritaskan pelaksanaan urusan tersebut dengan berpedoman pada standar pelayanan minimal dalam rangka menjamin hak-hak konstitusional masyarakat. Sementara itu, untuk melaksanakan urusan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar, pemerintah daerah harus terlebih dahulu melakukan pemetaan urusan guna menentukan intensitas urusan tersebut berdasarkan jumlah penduduk, besarnya APBD, dan luas wilayah. Pemetaan ini penting artinya karena menjadi basis daerah dalam penetapan kelembagaan, perencanaan, dan penganggaran untuk penyelenggaraan urusan tersebut, termasuk pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah pusat secara berjenjang.
Berkenaaan dengan penetapan kelembagaan yang akan menyelenggarakan urusan perlindungan anak, apakah akan dibentuk dalam wadah satu dinas tersendiri sebagai operating core atau diwadahi dalam bentuk perumpunan urusan dalam satu dinas. Hal tersebut tergantung pada kebutuhan daerah dengan memperhitungkan pembobotan variabel umum dan teknis guna mewujudkan efisiensi dan efektivitas kerja-kerja suatu lembaga yang dibentuk oleh daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Apabila berdasarkan pembobotan tidak mungkin dibentuk dinas tersendiri maka penyelenggaraan urusan tersebut akan dilakukan dalam bentuk perumpunan urusan dalam satu kelembagaan (dinas) dengan mempertimbangkan aspek berupa: (1) kedekatan karakteristik masing-masing urusan pemerintahan; dan/atau (2). keterkaitan antar penyelenggaraan urusan pemerintahan. Artinya, sekalipun perlindungan anak merupakan urusan wajib daerah namun belum tentu pemerintah daerah secara otomatis dapat membentuk lembaga, organ atau perangkat dalam bentuk dinas yang khusus hanya menangani pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
Bertolak dari pertimbangan di atas, UU 23/2014 pada pokoknya menghendaki tidak boleh ada urusan yang telah diserahkan menjadi kewenangan daerah dan telah dilakukan pemetaan untuk urusan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar, kemudian tidak diselenggarakan. Berkenaan dengan hal inilah, untuk urusan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, apabila pembobotannya tidak mungkin dapat dibentuk dalam satu wadah dinas maka penyelenggaraannya dapat dilakukan dalam perumpunan urusan kesehatan, sosial, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, pengendalian penduduk dan keluarga berencana, administrasi kependudukan dan pencatatan sipil, serta pemberdayaan masyarakat dan desa. Dalam konteks ini dapat dibentuk satu dinas dengan paling banyak menyelenggarakan tiga macam urusan yang berada dalam rumpun urusan yang telah ditentukan tersebut.
[3.11] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan dengan tidak adanya frasa “termasuk Komisi Perlindungan Anak Daerah” dalam norma Pasal 74 ayat (1) UU Perlindungan Anak serta tidak adanya kata “wajib” bagi daerah untuk membentuk KPAID sebagai lembaga independen dalam norma Pasal 74 ayat (2) UU Perlindungan Anak akan berdampak terhadap berkurangnya perlindungan anak di daerah karena KPAI tidak memiliki kapasitas untuk menjangkau pengawasan penyelenggaraan hak anak di seluruh pelosok wilayah NKRI sehingga bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945.
Berkenaan dengan dalil para Pemohon tersebut, penting bagi Mahkamah untuk mengutip terlebih dahulu secara utuh ketentuan Pasal 74 ayat (2) UU Perlindungan Anak yang menyatakan, “Dalam hal diperlukan, Pemerintah Daerah dapat membentuk Komisi Perlindungan Anak Daerah atau lembaga lainnya yang sejenis untuk mendukung pengawasan penyelenggaraan Perlindungan Anak di daerah”.
Poin penting dari ketentuan tersebut adalah frasa “untuk mendukung pengawasan atas penyelenggaraan perlindungan anak di daerah” apakah untuk melaksanakan dukungan tersebut akan dibentuk dalam kelembagaan tersendiri atau tidak, diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah. Karena UU Perlindungan Anak menyerahkan sepenuhnya pembentukan kelembagaan tersebut kepada pemerintah daerah maka dengan sendirinya terkait dengan pembentukan kelembagaan apapun di daerah harus merujuk pada seluruh regulasi yang terkait dengan pembentukan lembaga, organ atau perangkat di daerah agar tidak terjadi proliferasi kelembagaan sebagaimana pernah terjadi di era awal pelaksanaan otonomi seluas-luasnya di bawah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, terlebih jika lembaga-lembaga tersebut kemudian saling bertumpang tindih dalam melaksanakan tugas dan fungsinya maka tujuan pembentukan lembaga tidak akan optimal yang pada akhirnya bermuara pada pemborosan keuangan negara.
Sementara itu terkait dengan salah satu core business KPAI adalah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak anak sebagaimana telah dinyatakan dalam Pasal 76 huruf a UU Perlindungan Anak. Sementara itu pula, berdasarkan pembagian urusan pemerintahan konkuren, tidak disebutkan kewenangan daerah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak anak karena lingkup kewenangan daerah meliputi pelembagaan PHA, penguatan kelembagaan penyedia layanan untuk peningkatan kualitas hidup anak, pencegahan kekerasan terhadap anak, dan penyediaan layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah pada sub-Paragraf [3.10.2]. Namun demikian, sekalipun tugas pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak anak tidak disebutkan secara spesifik sebagai tugas pemerintah daerah, bukan berarti daerah terlepas sama sekali dari pelaksanaan fungsi pengawasan. Dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah, fungsi pengawasan merupakan fungsi yang inheren dalam penyelenggaraan pemerintahan. Bahkan, hal demikian senantiasa ditegaskan dalam setiap undangundang pemerintahan daerah sebagaimana hal tersebut termaktub pula dalam Pasal 7 ayat (1) UU 23/2014 yang menegaskan, “Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan oleh Daerah”. Pembinaan dan pengawasan ini dilakukan menteri/pimpinan lembaga terkait dengan urusan pemerintahan tersebut. Lebih lanjut, dalam Pasal 91 UU 23/2014 ditambahkan pula, “Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota dan Tugas Pembantuan oleh Daerah kabupaten/kota, Presiden dibantu oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat”.
Oleh karena urusan perlindungan anak merupakan urusan wajib daerah yang tidak terkait dengan pelayanan dasar maka secara berjenjang pemerintah pusat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan tersebut. Dalam konteks inilah, KPAI seharusnya bersinergi dengan pemerintah daerah agar hak konstitusional anak dapat semakin terjamin dan terpenuhi. Oleh karena itu, dalil para Pemohon yang memohon agar Mahkamah menambahkan frasa “termasuk Komisi Perlindungan Anak Daerah” dalam Pasal 74 ayat (1) UU Perlindungan Anak terlebih lagi jika hal tersebut didalilkan para Pemohon agar wajib dibentuk oleh daerah (Pasal 74 ayat (2) UU Perlindungan Anak) adalah dalil yang tidak mendasar. Namun demikian, sesuai dengan amanat Pasal 74 ayat (2) UU Perlindungan Anak, daerah dapat membentuk kelembagaan dimaksud sepanjang dibutuhkan oleh daerah yang bersangkutan sesuai dengan situasi dan kondisi serta kompleksitas persoalan perlindungan anak di daerah. Kebutuhan demikian sekaligus menjawab amanat Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Oleh karenanya, pembentukan KPAID berdasarkan Pasal 74 ayat (2) UU Perlindungan Anak tidaklah dimaksudkan untuk menggerus kewenangan daerah atas penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan yang telah diserahkan sebagai urusan daerah, in casu urusan perlindungan anak.
Dengan demikian Mahkamah berpendapat tidak terdapat persoalan inkonstitusionalitas norma Pasal 74 ayat (1) dan ayat (2) UU Perlindungan Anak sehingga dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum;
[3.12] Menimbang bahwa para Pemohon juga mendalilkan Pasal 76 huruf a UU Perlindungan Anak inkonstitusional karena meniadakan tugas sosialisasi oleh KPAI. Berkenaan dengan dalil para Pemohon ini Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa ketentuan Pasal 76 huruf a UU 23/2002 menyatakan,
Komisi Perlindungan Anak Indonesia bertugas:
a. melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
Kemudian, dengan diubahnya UU Perlindungan Anak, Pasal 76 mengalami perubahan secara menyeluruh agar lebih mudah dipahami rincian tugas KPAI. Atas dasar perubahan tersebut Pasal 76 UU Perlindungan Anak selengkapnya menyatakan:
Komisi Perlindungan Anak Indonesia bertugas:
a. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan Hak Anak;
b. memberikan masukan dan usulan dalam perumusan kebijakan tentang penyelenggaraan Perlindungan Anak;
c. mengumpulkan data dan informasi mengenai Perlindungan Anak;
d. menerima dan melakukan penelaahan atas pengaduan Masyarakat mengenai pelanggaran Hak Anak;
e. melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran Hak Anak;
f. melakukan kerja sama dengan lembaga yang dibentuk Masyarakat di bidang Perlindungan Anak; dan
g. memberikan laporan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang ini;
[3.12.2] Bahwa ketentuan Pasal 76 UU Perlindungan Anak tidak lagi menyebutkan secara spesifik tugas KPAI untuk melakukan sosialisasi. Oleh karenanya, para Pemohon dalam petitumnya memohon agar Mahkamah menambahkan frasa “termasuk sosialisasi” pada tugas KPAI. Menurut Mahkamah, tugas sosialisasi dari KPAI tidaklah hilang hanya karena tidak tercantum secara spesifik dalam Pasal 76 UU Perlindungan Anak, namun tugas tersebut telah ternyata oleh pembentuk undang-undang dialihkan menjadi bagian dari peran masyarakat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 72 ayat (3) huruf a UU Perlindungan Anak yang menyatakan,
Peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak dilakukan dengan cara memberikan informasi melalui sosialisasi dan edukasi mengenai hak anak dan peraturan perundang-undangan tentang anak.
Masyarakat yang dimaksud berdasarkan ketentuan Pasal 72 ayat (2) UU Perlindungan Anak adalah orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga kesejahteraan sosial, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan, media massa, dan dunia usaha. Artinya, dengan adanya perubahan ketentuan ini maka sosialisasi bukan lagi menjadi monopoli tugas dari KPAI sebagaimana semula ditentukan dalam Pasal 76 ayat (1) UU 23/2002. Sementara itu, untuk pengaturan peran masyarakat dalam ketentuan UU 23/2002 diatur secara sangat terbatas tanpa ada kejelasan ruang lingkup peran yang dapat dilakukannya, termasuk cara melakukannya (vide Pasal 73 UU 23/2002). Oleh karena itu, seiring dengan dilakukannya perubahan UU Perlindungan Anak, peran masyarakat perlu dikuatkan dalam rangka mewujudkan tujuan UU Perlindungan Anak. Konsekuensi penguatan tersebut, tugas sosialisasi pun diperluas yang dapat dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk KPAI dan KPAID sebagai lembaga perlindungan anak. Bahwa dengan semakin luasnya keterlibatan pihak-pihak dalam melakukan sosialisasi maka dalam batas penalaran yang wajar akan semakin luas pula jangkauan pemahaman masyarakat mengenai hak-hak anak. Perluasan pemahaman ini menjadi penting artinya tidak hanya untuk pemajuan (to promote) hak-hak anak, termasuk di dalamnya adalah menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya pemenuhan hak anak agar anak dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Pentingnya pemenuhan hak tersebut sejalan dengan maksud pengesahan Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child. Adanya kekhawatiran para Pemohon yang beranggapan tidak dapat lagi melakukan pengawasan atas penyelenggaraan hak anak sampai ke pelosok wilayah NKRI karena tidak ada lagi tugas sosialisasi yang merupakan satu nafas dengan pengawasan, merupakan hal yang tidak mendasar karena pada prinsipnya Pasal 76 UU Perlindungan Anak menentukan bahwa lembaga perlindungan anak termasuk lembaga yang diberi peran untuk melakukan sosialisasi. Dalam konteks ini, fungsi pengawasan yang dimiliki oleh KPAI sekaligus dapat disinergikan dengan fungsi sosialisasi. Apalagi, nomenklatur yang digunakan oleh UU a quo adalah lembaga perlindungan anak (dalam huruf kecil) sehingga tidak menutup ruang bagi KPAI (termasuk KPAID) untuk melakukan sosialisasi.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon berkaitan dengan persoalan inkonstitusionalitas norma Pasal 76 huruf a UU Perlindungan Anak tidak beralasan menurut hukum;
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430