Hendra Otakan Indersyah selanjutnya disebut Pemohon.
Pasal 176 ayat (2) UU Pilkada
Pasal 18 ayat (4) frasa “dipilih secara demokratis” UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.
Bahwa terhadap Pasal 176 (2) UU Pilkada dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut:
1. Bahwa norma yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dalam permohonan a quo adalah Pasal 176 ayat (2) UU Pilkada, yang selengkapnya menyatakan:
Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung mengusulkan 2 (dua) orang calon Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui Gubernur, Bupati, atau Walikota, untuk dipilih dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
2. Bahwa Pemohon dalam pemohonannya menerangkan selaku perseorangan warga negara Indonesia yang tercatat sebagai penduduk di Sumbawa Besar, Kabupaten Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dalam kualifikasinya tersebut, Pemohon menganggap hak konstitusionalnya untuk dicalonkan ataupun mencalonkan diri menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta Periode 20172022 menjadi dirugikan dengan berlakunya norma a quo dengan alasan-alasan yang pada pokoknya sebagai berikut (selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara);
a. Bahwa Pemohon dalam permohonannya menyatakan hak konstitusional Pemohon sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 7 ayat (2) UU Pilkada dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 176 ayat (2) UU Pilkada.
b. Bahwa Pemohon sudah berusaha mengajukan diri kepada partai politik pengusung untuk maju sebagai Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta namun dalam kenyataannya permohonan pencalonan diri Pemohon tersebut tidak diakomodir oleh partai politik pengusung. Sehingga menurut Pemohon, mekanisme sebagaimana tercantum dalam Pasal 176 ayat (2) UU Pilkada merugikan hak konstitusionalnya untuk maju dalam kontestasi Pemilihan Wakil Gubernur khususnya Pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta untuk sisa masa Periode 2017-2022.
3. Bahwa Pemohon dalam permohonan khususnya pada bagian kedudukan hukum menerangkan memiliki kedudukan hukum sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”, dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 176 ayat (2) UU Pilkada. Namun, dalam uraian permohonan yang berkaitan dengan kedudukan hukum, Pemohon tidak menguraikan secara rinci dan jelas anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Norma Pasal 176 ayat (2) UU Pilkada berlaku bagi setiap orang yang ingin menjadi calon wakil gubernur, calon wakil bupati, dan calon wakil walikota yang diusung oleh partai politik dan atau gabungan partai politik. Artinya, hak seseorang untuk sama dalam pemerintahan, dalam hal ini menjadi calon wakil gubernur, calon wakil bupati, dan calon wakil walikota yang berasal dari partai politik dan atau gabungan partai politik, mekanismenya diserahkan kepada partai politik dan atau gabungan partai politik pengusung. Pemohon dalam permohonannya menerangkan telah mengajukan diri sebagai Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta kepada partai politik pengusung namun pengajuan itu tidak diakomodir. Dengan tidak diakomodirnya pengajuan Pemohon tersebut oleh Partai Politik pengusung bukan merupakan bentuk kerugian konstitusional karena hak konstitusional Pemohon yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 tidak berkorelasi dengan norma dalam Pasal 176 ayat (2) UU Pilkada yang merupakan ketentuan antisipatif jikalau terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 176 ayat (1) UU Pilkada;
4. Bahwa selain itu, Pemohon pada bagian kedudukan hukum tidak menjelaskan hubungan sebab akibat antara anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon dengan berlakunya Pasal 176 ayat (2) UU Pilkada. Hubungan sebab akibat yang diuraikan oleh Pemohon lebih bersifat keluhan pribadi Pemohon yang tidak diakomodir oleh Partai Politik pengusung. Demikian pula dengan uraian spesifikasi kerugian, uraian Pemohon tidak menjelaskan dengan detail dan spesifik perihal apa sesungguhnya yang menjadi kerugian konstitusionalnya melainkan justru menguraikan kompetensi calon wakil gubernur yang menurut Pemohon tidak sesuai dengan bidang yang diperlukan dalam mengelola tata pemerintahan di DKI Jakarta. Andaipun terdapat kompetensi, sebagaimana dijelaskan Pemohon, kompetensi yang dimiliki calon hanya merupakan kompetensi umum. Uraian demikian, menurut Mahkamah bukan merupakan uraian untuk menjelaskan alasan kerugian hak konstitusional yang ditentukan dalam UU MK dan putusan-putusan Mahkamah perihal kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang;
5. Bahwa Pemohon juga menerangkan kerugian hak konstitusionalnya dengan UU Pilkada dalam hal ini Pasal 7 ayat (2) UU Pilkada. Dalam batas penalaran yang wajar, hal itu tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk menerangkan kerugian hak konstitusional karena secara substansial mempertentangkan antar-pasal dalam UU Pilkada. Padahal, jamak dipahami, pertentangan norma yang dijadikan sebagai dasar dalam menjelaskan kerugian hak konstitusional adalah norma undang-undang dengan UUD 1945.
Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, Pemohon tidak dapat menerangkan kerugian konstitusional, baik aktual maupun potensial yang dialami oleh Pemohon dengan berlakunya Pasal 176 ayat (2) UU Pilkada. Bahkan seandainya pun uraian Pemohon dalam permohonannya dianggap sebagai uraian terhadap kerugian konstitusional, Pemohon tidak mengalami kerugian baik secara langsung maupun tidak langsung dengan berlakunya norma a quo serta tidak terdapat pula hubungan sebab-akibat antara anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon yang spesifik dengan berlakunya norma a quo. Dengan demikian, menurut Mahkamah, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo.
[3.6] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan Pemohon, disebabkan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan, Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430