Maha Bidik Indonesia yang diwakili oleh Moch Ojat Sudrajat S, Hapid, S.H.I, M.H. dan Muhamad Madroni (selanjutnya disebut Pemohon).
Pasal 75 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan
Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 75 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.9] Menimbang bahwa setelah Mahkamah mencermati permohonan Pemohon, Mahkamah menemukan isu konstitusional yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo adalah frasa “Warga Masyarakat yang dirugikan” pada Pasal 75 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan yang mengakibatkan Pemohon terhalang untuk menggugat keputusan tata usaha negara manakala frasa tersebut dimaknai sebagai “kerugian dan kepentingan yang dialami harus secara langsung dan harus nyata/riil”. Dari aspek konstitusionalitas, Mahkamah tidak menemukan adanya tafsir dalam norma tersebut yang bermakna mempersempit objek dari Pasal 75 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan. Sebab argumentasi Pemohon yang mengaitkan dengan Putusan PTUN Nomor 45/G/2019/PTUN-SRG dan beberapa putusan lainnya (vide permohonan angka 11 halaman 7-8) yang mempersempit makna frasa “Warga Masyarakat yang dirugikan”, sesungguhnya tidak serta merta mengubah tafsir konstitusionalitas Pasal 75 ayat (1) a quo menjadi sebagaimana yang didalilkan Pemohon. Dengan kata lain, norma Pasal 75 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan sepanjang frasa “Warga Masyarakat yang dirugikan” adalah berkaitan dengan subjek hukum yang dapat mengajukan gugatan, sedangkan yang dipersoalkan konstitusionalitasnya oleh Pemohon adalah berkaitan dengan “kerugian dan kepentingan yang dialami harus secara langsung dan harus nyata/riil”, di mana hal tersebut sudah berkaitan dengan objek yang dapat menjadi materi gugatan di peradilan. Adapun perihal tidak diterimanya kedudukan hukum Pemohon oleh peradilan tata usaha negara bukanlah kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Bahwa di samping pertimbangan hukum tersebut di atas, setelah mencermati lebih lanjut dalil permohonan Pemohon, terutama pada bagian posita permohonan dan petitum permohonan, Mahkamah menemukan permasalahan sebagai berikut. Permasalahan konstitusional yang diuraikan Pemohon dalam bagian posita adalah frasa “Warga Masyarakat yang dirugikan” pada Pasal 75 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan yang mengakibatkan Pemohon terhalang untuk menggugat keputusan tata usaha negara manakala frasa tersebut dimaknai sebagai “kerugian dan kepentingan yang dialami harus secara langsung dan harus nyata/riil” (vide permohonan Pemohon halaman 17, 18, 20, 22, 25, dan halaman 31). Namun pada bagian petitum, Pemohon merumuskan hal yang bertolak belakang dengan uraian dalam posita maupun penjelasan dalam sidang pendahuluan. Pada bagian petitum Pemohon merumuskan, antara lain, “2. Menyatakan ketentuan Pasal 75 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sepanjang frasa “warga masyarakat yang dirugikan” bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai dengan “Kerugian dan kepentingan yang dialami harus secara langsung dan harus nyata/riil”.”
Rumusan petitum demikian bermakna bahwa frasa “warga masyarakat yang dirugikan” akan bersesuaian dengan UUD 1945 ketika dimaknai bahwa “kerugian dan kepentingan yang dialami harus secara langsung dan harus nyata/riil”. Padahal dalam posita permohonan, Pemohon meminta/menerangkan hal yang sebaliknya, yaitu frasa “warga masyarakat yang dirugikan” akan bertentangan dengan UUD 1945 ketika dimaknai bahwa “kerugian dan kepentingan yang dialami harus secara langsung dan harus nyata/riil”.
Adanya pertentangan demikian, yaitu antara rumusan penjelasan di bagian posita permohonan dengan rumusan petitum permohonan, memunculkan ketidakjelasan bagi Mahkamah mengenai hal apa yang sebenarnya dimohonkan oleh Pemohon. Ketidakjelasan isi permohonan mengarahkan Mahkamah untuk menyatakan bahwa permohonan Pemohon adalah kabur.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430