Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
RESUME (RESUME PUTUSAN PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG TIDAK DAPAT DITERIMA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 12/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 19-05-2020

Sandhy Handika, Danang Yudha Prawira, Dr. Muh. Ibnu Fajar Rahim, S.H., M.H. (selanjutnya disebut Para Pemohon).

Pasal 72, Penjelasan Pasal 72, Pasal 143 ayat (4) dan Penjelasan Pasal 143 KUHAP

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945.

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU KIP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.6] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pada Paragraf [3.5] dikaitkan dengan Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, menurut Mahkamah, Pasal 72, Penjelasan Pasal 72, Pasal 143 ayat (4), dan Penjelasan Pasal 143 KUHAP pada pokoknya mengatur mengenai hak tersangka untuk mendapatkan turunan berita acara pemeriksaan dan kewajiban penuntut umum berkaitan dengan pemberian atau penyerahan berkas turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan kepada tersangka atau kuasanya. Para Pemohon mengaitkan hak tersebut dengan uraian kedudukan hukum para Pemohon, yaitu sebagai warga negara yang menurut para Pemohon berpotensi sewaktu-waktu dijadikan tersangka. Norma tersebut pada prinsipnya telah menegaskan bahwa tersangka memang memiliki hak atas salinan berkas berita acara pemeriksaan atas permintaan (Pasal 72 KUHAP) dan turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan (Pasal 143 ayat (4) KUHAP). Berdasarkan norma a quo apabila dikaitkan dengan hak seorang tersangka, maka sebenarnya tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap hak tersangka tersebut apabila penyerahan tersebut harus berdasarkan permintaan atau tidak berdasarkan permintaan, karena diartikan atas permintaan atau tidak atas permintaan sesungguhnya tidak mengurangi atau menghilangkan hak konstitusional tersangka terhadap salinan berkas sebagaimana dimaksud norma a quo. Dengan kata lain tidak ada kerugian konstitusional yang dapat ditimbulkan oleh norma a quo terhadap seorang tersangka, walaupun norma Pasal 72 menentukan adanya syarat permintaan dari tersangka dan Pasal 143 ayat (4) tidak menentukan syarat yang demikian. Dalam hal ini sifat kepastian hukum terhadap kewajiban untuk memenuhi hak tersangka tersebut telah terpenuhi melalui kedua norma ini. Selain itu menurut Mahkamah, argumentasi para Pemohon yang menempatkan diri sebagai warga negara yang sewaktu-waktu dapat ditetapkan sebagai tersangka adalah argumentasi yang terlalu luas karena para Pemohon tidak secara spesifik mengaitkan dengan kerugian aktual yang telah atau pernah dialami para Pemohon ketika berhadapan dengan implementasi norma a quo, sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007. Jikapun para Pemohon benar dapat dianggap potensial ditetapkan sebagai tersangka maka sebagaimana pendapat Mahkamah di atas, hak konstitusional para Pemohon tidak menjadi hilang atau terganggu dengan berlakunya Pasal 72, Penjelasan Pasal 72, Pasal 143 ayat (4), dan Penjelasan Pasal 143 KUHAP dimaksud.

[3.7] Menimbang bahwa terkait dengan uraian yang menyatakan para Pemohon adalah pembayar pajak (tax payer) dan karenanya memiliki hak konstitusional untuk mempersoalkan undang-undang a quo, menurut Mahkamah, para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) tidak serta-merta memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan setiap permohonan pengujian undang- undang. Para Pemohon dapat memiliki kedudukan hukum apabila para Pemohon dapat menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran hak konstitusional atas berlakunya undang-undang yang diuji adalah dalam kaitannya dengan status para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) memang menunjukkan kerugian yang nyata. Alasan untuk dapat mengajukan permohonan pengujian norma baik berupa pasal, ayat, dan bagian-bagian tertentu dari undang-undang, termasuk penjelasannya, tidak cukup dengan hanya mendalilkan sebagai pembayar pajak (tax payer) tanpa terlebih dahulu menjelaskan kerugian konstitusional yang nyata atau potensial dan terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak konstitusional para Pemohon dengan bagian-bagian tertentu dari suatu undang-undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya ke Mahkamah. Berkenaan dengan hal tersebut, Mahkamah dalam perkembangannya melalui putusan-putusannya telah menegaskan pendiriannya bahwa terhadap pembayar pajak (tax payer) hanya dapat diberikan kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi yang berhubungan dengan keuangan negara dan kerugian konstitusional itu harus bersifat spesifik dan merupakan kerugian aktual atau potensial yang mempunyai kaitan yang jelas dengan berlakunya Undang-Undang tersebut (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014, bertanggal 22 September 2015 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-XVII/2019, bertanggal 13 Maret 2019).
Selain itu, setelah dicermati secara saksama uraian terhadap kerugian konstitusional para Pemohon, terdapat kontradiksi dalam argumentasi tersebut di mana pada satu sisi para Pemohon menguraikan adanya kerugian sebagai warga negara pembayar pajak karena norma tersebut dianggap menimbulkan biaya besar dalam implementasinya. Di sisi lain para Pemohon juga menempatkan diri sebagai warga negara yang berpotensi ditetapkan sebagai tersangka dan mengaitkan potensi kerugian dengan hak tersangka sebagaimana diatur dalam pasal yang diajukan, sehingga tidak jelas posisi mana yang digunakan para Pemohon untuk menguraikan adanya kerugian konstitusional yang spesifik dan nyata terhadap berlakunya norma tersebut. Dengan demikian para Pemohon tidak dapat menguraikan secara spesifik mengenai adanya kerugian konstitusional terhadap berlakunya norma a quo.

[3.8] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan di atas, tidak ada kerugian konstitusional yang dialami para Pemohon baik yang bersifat aktual ataupun potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi dengan berlakunya Pasal 72, Penjelasan Pasal 72, Pasal 143 ayat (4) dan Penjelasan Pasal 143 KUHAP, sehingga dengan sendirinya tidak terdapat hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian yang dimaksudkan oleh para Pemohon dengan berlakunya penjelasan pasal dalam undang-undang a quo yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian, tidak ada keraguan sedikit pun bagi Mahkamah untuk menyatakan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

[3.9] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.