Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 9/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 19-05-2020

Mahmudin, dkk yang berjumlah 19 Pemohon, dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Paulus Sanjaya, S.Sos., S.H., M.H., dkk Advokat yang tergabung dalam Lembaga Bantuan Hukum Serikat Buruh Sejahtera (selanjutnya disebut Para Pemohon).

Pasal 6, Pasal 58 ayat (1), Pasal 99 ayat (1), dan Pasal 99 ayat (2) UU 5/2014

Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 28I ayat (4) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 6, Pasal 58 ayat (1), Pasal 99 ayat (1), dan Pasal 99 ayat (2) UU 5/2014 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.9] Menimbang bahwa oleh karena Permohonan a quo telah jelas, Mahkamah berpendapat tidak terdapat urgensi maupun kebutuhan untuk mendengar keterangan pihak-pihak sebagaimana disebut dalam Pasal 54 UU MK;

[3.10] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dan memeriksa dengan saksama permohonan para Pemohon dan bukti-bukti yang diajukan, masalah konstitusional dalam Permohonan a quo adalah berkenaan dengan hak pegawai honorer yang tidak diatur dalam Pasal 6, Pasal 58 ayat (1) dan Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) UU ASN sehingga menurut para Pemohon hal tersebut telah melanggar hak konstitusional para Pemohon sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

[3.11] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan permasalahan konstitusionalitas yang dipersoalkan para Pemohon tersebut, penting bagi Mahkamah mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:

[3.11.1] Bahwa Mahkamah dalam beberapa putusan sebelumnya, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XVII/2019, bertanggal 26 Maret 2019, telah mempertimbangkan dan memutus mengenai konstitusionalitas norma Pasal 58 ayat (1) UU ASN dan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-XIII/2015, bertanggal 15 Juni 2016, telah mempertimbangkan dan memutus konstitusionalitas Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) UU ASN, yang juga dimohonkan oleh para Pemohon dalam perkara a quo. Untuk itu, sebelum mempertimbangkan pokok permohonan sepanjang mengenai norma tersebut, Mahkamah perlu mempertimbangkan terlebih dahulu apakah Permohonan para Pemohon a quo dapat diajukan kembali sebagaimana diatur Pasal 60 UU MK yang menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undangundang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.

[3.11.2] Bahwa dalam perkara Nomor 6/PUU-XVII/2019, Pemohon yang berprofesi sebagai perawat pada pokoknya mendalilkan dirugikan dengan berlakunya Pasal 58 ayat (1) UU ASN karena adanya perlakuan berbeda terhadap pengangkatan PNS yang dibebankan oleh Pasal 58 ayat (1) UU ASN terhadap Pemohon. Dalam perkara tersebut Pemohon menggunakan dasar pengujian Pasal 28H ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28I ayat (4) UUD 1945. Sedangkan dalam perkara a quo, para Pemohon meminta secara otomatis ditetapkan sebagai CPNS atau PPPK serta meminta agar pasal a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dengan memberikan kesempatan tenaga honorer atau sebutan lain sejenis menjadi CPNS melalui suatu rekrutmen khusus”. Dalam perkara a quo para Pemohon menggunakan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 sebagai dasar pengujian;

[3.11.3] Bahwa berdasarkan hal tersebut, oleh karena norma dalam UUD 1945 yang digunakan sebagai dasar pengujian berbeda dan ditambah lagi terdapat alasan permohonan yang berbeda yang menjadi dasar kerugian konstitusional sehingga terlepas ada atau tidaknya persoalan konstitusionalitas apabila dilakukan pengujian dengan alasan sebagaimana tersebut di atas, Mahkamah berpendapat terhadap norma Pasal 58 ayat (1) UU ASN dapat dimohonkan pengujian kembali;

[3.11.4] Bahwa dalam perkara Nomor 9/PUU-XIII/2015, para Pemohon yang berprofesi sebagai pegawai honorer pada pokoknya mendalilkan merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan belakunya Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) dikarenakan pasal a quo telah menyebabkan para Pemohon tidak secara otomatis dapat diangkat menjadi PNS. Padahal para Pemohon sebelumnya adalah pegawai honorer yang telah diangkat jadi PPPK sehingga seharusnya para Pemohon diprioritaskan menjadi PNS. Dalam perkara tersebut, para Pemohon menggunakan dasar pengujian Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Sedangkan dalam perkara a quo, para Pemohon memohon secara otomatis ditetapkan sebagai CPNS serta meminta agar pasal a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dengan memberikan pengecualian terhadap para tenaga honorer atau sebutan lain sejenis dan PPPK yang berasal dari para tenaga honorer”. Dalam perkara a quo para Pemohon menggunakan Pasal 28I ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945 sebagai dasar pengujian.

[3.11.5] Bahwa berdasarkan hal tersebut, oleh karena norma dalam UUD 1945 yang digunakan sebagai dasar pengujian berbeda serta terdapat alasan permohonan yang berbeda yang menjadi dasar kerugian konstitusional juga berbeda sehingga terlepas ada atau tidaknya persoalan konstitusionalitas apabila dilakukan pengujian dengan alasan sebagaimana tersebut di atas, maka Mahkamah berpendapat terhadap norma Pasal 58 ayat (1) dan Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) UU ASN dapat diajukan kembali dalam permohonan ini.

[3.12] Menimbang bahwa oleh karena ketentuan dalam Pasal 60 UU MK dan Pasal 42 ayat (2) PMK Nomor 06/PMK/2005 tidak menjadi halangan bagi para Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo terutama berkenaan dengan Pasal 58 ayat (1) dan Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) UU ASN. Oleh karena itu, sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut isu konstitusionalitas sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon Mahkamah akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa salah satu pertimbangan mendasar dibentuknya UU ASN adalah perlunya dibangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral, dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai pelaksanaan cita-cita bangsa serta mampu mewujudkan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 [vide konsiderans “Menimbang” huruf a UU ASN]. Pertimbangan tersebut juga ditegaskan dalam Penjelasan Umum UU ASN [vide Penjelasan Umum UU ASN]
2. Bahwa UU ASN menjadi salah satu UU yang paling sering di uji di MK. Sejak UU ASN diundangkan pada tanggal 15 Januari 2014 setidaknya telah 14 permohonan diajukan oleh berbagai kalangan masyarakat ke Mahkamah Konstitusi termasuk perkara a quo yang diajukan oleh para pegawai honorer.
3. Bahwa norma UU ASN yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo adalah berkenaan langsung dengan status pegawai honorer yang menurut para Pemohon dengan diundangkannya UU ASN telah menyebabkan hak konstitusional para Pemohon in casu para pegawai honorer dirugikan sehingga menyebabkan hilangnya kesempatan para Pemohon untuk menjadi CPNS.
4. Bahwa berkenaan dengan status pegawai honorer tersebut, setidaknya sudah ada dua putusan Mahkamah yang telah mempertimbangkan terkait status pegawai honorer yakni:
a. Perkara Nomor 9/PUU-XIII/2015 tentang pengujian Pasal 1 angka 4, Pasal 96 ayat (1), Pasal 98 ayat (2), Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 105 ayat (1) UU ASN terhadap UUD 1945 yang amar putusannya menyatakan permohonan ditolak untuk seluruhnya.
b. Perkara Nomor 6/PUU-XVII/2019 tentang pengujian Pasal 58 ayat (1) UU ASN terhadap UUD 1945 yang amar putusannya menyatakan permohonan ditolak untuk seluruhnya.
5. Bahwa berdasarkan pertimbangan pada angka 1 sampai dengan angka 4 di atas, dalam mempertimbangkan permohonan a quo tidak mungkin dilepaskan konteksnya dari pertimbangan mendasar dibentuknya UU ASN sebab dalam diri ASN melekat tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan tertentu. Selain itu, dalam mempertimbangkan permohonan a quo, tidak mungkin dilepaskan dari pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-XIII/2015 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XVII/2019 yang secara garis besar telah memberikan pertimbangan secara seksama berkenaan dengan permasalahan pegawai honorer tersebut.

[3.13] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan uraian pada Paragraf [3.12] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil para Pemohon sebagai berikut:

[3.14] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dan memeriksa dengan saksama permohonan para Pemohon dan bukti-bukti yang diajukan, permasalahan konstitusionalitas dalam permohonan a quo adalah berkenaan dengan hak konstitusional pegawai honorer yang diatur dalam Pasal 6, Pasal 58 ayat (1) dan Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) UU ASN;
[3.15] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 6, Pasal 58 ayat (1) dan Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) UU ASN telah menimbulkan ketidakpastian hukum karena lebih cenderung melindungi penerimaan CPNS dari jalur umum dan mengabaikan hak konstitusional tenaga honorer yang telah mengabdi dan bekerja selama beberapa tahun. Selain itu, menurut para Pemohon, pasal a quo telah pula menimbulkan tindakan diskriminasi sehingga menyebabkan hilangnya jaminan pemenuhan hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Tambah lagi, menurut para Pemohon, dalam UU ASN sama sekali tidak menyebutkan mengenai status dan kedudukan tenaga Honorer, guru bantu atau sebutan lain yang sejenis sebagai bagian dari aparatur sipil negara sehingga dengan terbitnya UU ASN menimbulkan ketidakjelasan status serta hilangnya perlindungan tenaga honorer dalam sistem hukum ketenagakerjaan maupun dalam sistem hukum lainnya yang berlaku di Indonesia. Padahal menurut para Pemohon praktik mempekerjakan tenaga honorer pada instansi pemerintah pusat maupun daerah sejatinya ada karena kebutuhan atas pelaksanaan suatu pekerjaan sehingga menurut para Pemohon Pasal 6, Pasal 58 ayat (1) dan Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) UU ASN seharusnya dimaknai dengan mengakomodir atau mengikutsertakan tenaga honorer atau sebutan lainnya.
Terhadap dalil para Pemohon tersebut, setelah Mahkamah memeriksa secara saksama uraian panjang lebar para Pemohon berkenaan dengan hal tersebut, tampak nyata inti keberatan para Pemohon sesungguhnya menurut Pemohon bukanlah terletak pada keberadaan Pasal 6, Pasal 58 ayat (1) dan Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) UU ASN melainkan pada Permenpan 36/2018 dan PP 49/2018 [vide perbaikan permohonan hlm. 6 sampai dengan hlm. 16]. Fakta demikian makin diperkuat oleh permohonan para Pemohon kepada Mahkamah sebagaimana tertuang dalam Petitum Angka 2, Petitum Angka 3, dan Petitum Angka 4.
Selain itu, dalam uraian argumentasi yang dibangun oleh para Pemohon dalam legal standing juga terlihat bahwa isu utama yang dipermasalahkan oleh para Pemohon adalah terkait dengan berlakunya Permenpan 36/2018 dan PP 49/2018 yang secara langsung mengakibatkan para Pemohon tidak dapat secara otomatis dapat diangkat menjadi PNS dan juga menjadi PPPK.
Dengan demikian apabila mengikuti alur berpikir para Pemohon, maka keberatan para Pemohon ditujukan bukan terhadap norma Pasal 6, Pasal 58 ayat (1) dan Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) UU ASN melainkan kepada peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang secara konstitusional bukan merupakan kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Apalagi pendelegasian demikian dibenarkan secara hukum dalam sistem perundang-undangan.
Lebih lanjut dijelaskan, konstitusional atau inkonstitusionalnya suatu norma undang-undang tidak dinilai berdasarkan peraturan perundang-undangan di bawahnya yang merupakan delegasi melainkan harus dinilai secara tersendiri berdasarkan substansi peraturan tersebut. Bahkan ketika suatu norma undang-undang telah ditafsirkan secara berbeda pun oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya hal itu tidak serta-merta menjadikan norma undang-undang demikian bertentangan dengan Konstitusi. Sebab, dalam hal demikian, peraturan perundangundangan di bawah undang-undang itulah yang harus diuji kebersesuaiannya terhadap norma undang-undang yang menjadi dasarnya.

[3.16] Menimbang bahwa terlepas dari argumentasi yang dibangun oleh para Pemohon dalam perkara a quo, terkait dengan permohonan para Pemohon, Mahkamah telah mempertimbangkan substansi permohonan a quo dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-XIII/2015 bertanggal 15 Juni 2016 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XVII/2019 bertanggal 26 Maret 2019.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XVII/2019 terkait dengan isu rekrutmen CPNS Mahkamah telah mempertimbangkan sebagai berikut:
“Bahwa program pengadaan ASN merupakan kewenangan pemerintah gunamenjalankan tugas pemerintahan dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan yang meliputi pendayagunaan kelembagaan, kepegawaian, dan ketatalaksanaan serta dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional yang meliputi, antara lain, pembangunan ekonomi, sosial, dan pembangunan bangsa yang diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat Indonesia sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu untuk dapat menjalankan pemerintahan, antara lain, tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan dan tugas pembangunan, tenaga ASN harus memiliki profesionalitas berdasarkan kriteria kualifikasi, kompetensi, kinerja yang dibutuhkan oleh jabatan dengan kualifikasi yang dimiliki oleh calon dalam proses rekrutmen, pengangkatan, dan penempatan pada jabatan yang dibutuhkan hingga bisa dilaksanakan secara terbuka sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik.

Bahwa sebagai salah satu hak konstitusional warga negara, UUD 1945 pada pokoknya menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama dalam pemerintahan, termasuk kesempatan yang sama menjadi ASN setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Pengadaan ASN yang dilaksanakan oleh Pemerintah harus melalui penilaian secara objektif berdasarkan kompetensi, kualifikasi, kebutuhan instansi Pemerintah, dan persyaratan lain yang dibutuhkan dalam suatu jabatan. Pengadaan ASN tersebut diselenggarakan oleh Pemerintah secara nasional berdasarkan perencanaan kebutuhan jumlah ASN yang dilaksanakan melalui “panitia seleksi nasional pengadaan ASN” dengan melibatkan unsur dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang aparatur negara dan Badan Kepegawaian Negara.
Bahwa sebagai upaya untuk memenuhi pengadaan ASN yang sesuai dengan kebutuhan, diperlukan dasar hukum yang kuat bagi Pemerintah untuk mengisi kebutuhan tersebut, baik kebutuhan jabatan administrasi dan/atau jabatan fungsional dalam satu instansi pemerintah. Dalam posisi demikian, keberadaan norma Pasal 58 ayat (1) UU 5/2014 adalah untuk memberikan dasar hukum dalam memenuhi kebutuhan ASN dimaksud. Oleh karenanya, dalam pengadaan ASN, Pemerintah harus memberikan ruang dan kesempatan yang sama kepada warga negara untuk ikut berkompetisi dalam pengisian ASN. Artinya, setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi ASN sepanjang memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundangundangan. Pengadaan ASN yang diselenggarakan oleh pemerintah dengan mendasarkan kepada prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Kesempatan yang sama demikian sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya dan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, yaitu tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Oleh karena itu dalam proses pengisian ASN, Pemerintah harus mempertimbangkan syarat dan kriteria yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, antara lain, jumlah dan jenis jabatan, waktu pelaksanaan, jumlah instansi pemerintah yang membutuhkan dan persebaran. Secara yuridis, kemungkinan untuk melakukan pertimbangan dalam mengisi kebutuhan jabatan administrasi dan/atau jabatan fungsional demikian didasari pada ketentuan Pasal 58 ayat (1) UU 5/2014”. [vide hlm 20 s.d. hlm 22]
Sementara itu terkait dengan isu PPPK yang diatur dalam UU ASN yang seolah-olah hanya diperuntukan untuk pelamar umum dan tidak mengakomodir hak pegawai honorer, Mahkamah telah pula mempertimbangkannya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-XIII/2015 yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:

[3.13.1] Bahwa sebelum berlakunya UU 5/2014, Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (PP 48/2005) karena pada saat itu, kelancaran pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, baik pada pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah, sebagian dilakukan oleh tenaga honorer. Di antara tenaga honorer tersebut ada yang telah lama bekerja kepada Pemerintah dan keberadaannya sangat dibutuhkan oleh Pemerintah; Dalam perkembangannya, berdasarkan hasil evaluasi atas pelaksanaan PP 48/2005, beberapa ketentuan mengenai batas usia dengan masa kerja, proses seleksi dan ketentuan lainnya sebagaimana diatur dalam PP 48/2005 belum dapat menyelesaikan pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS. Oleh karena itu, Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil; Dengan demikian, Pemerintah telah memprioritaskan tenaga honorer untuk menjadi Calon Pegawai Negari Sipil (CPNS) karena pada saat itu, usia tenaga honorer yang melebihi 35 (tiga puluh lima) tahun pun dapat diangkat menjadi CPNS. Itulah sebabnya, Pemerintah menetapkan pengaturan khusus mengenai pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS yang mengecualikan beberapa pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002, guna mengangkat tenaga honorer menjadi CPNS; Namun demikian, sejak ditetapkannya PP 48/2005, semua Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis (vide Pasal 8 PP 48/2005);

[3.13.2] Bahwa kini dengan berlakunya UU 5/2014, paradigma tentang pegawai pemerintah pun berubah karena lebih mengutamakan profesionalisme. Dalam konteks ini, pada hakikatnya pegawai ASN dibutuhkan untuk mencapai tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Pegawai ASN diserahi tugas untuk melaksanakan tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan tertentu. Tugas pelayanan publik dilakukan dengan memberikan pelayanan atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan Pegawai ASN. Adapun tugas pemerintahan dilaksanakan dalam rangka penyelenggaraan fungsi umum pemerintahan yang meliputi pendayagunaan kelembagaan, kepegawaian, dan ketatalaksanaan. Sedangkan dalam rangka pelaksanaan tugas pembangunan tertentu dilakukan melalui pembangunan bangsa (cultural and political development) serta melalui pembangunan ekonomi dan sosial (economic and social development) yang diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat;

[3.13.3] Bahwa Pasal 1 angka 1 UU 5/2014 menyatakan ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah. Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan (vide Pasal 1 angka 2 UU 5/2014). Dengan demikian, P3K merupakan bagian dari ASN;
[3.13.4] Bahwa Pasal 1 angka 4 UU 5/2014 menyebutkan P3K adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan. Menurut Mahkamah, Pasal 1 angka 4 tersebut diatur dalam Bab I tentang Ketentuan Umum, yang memuat tentang batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi, dan/atau hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab (vide Lampiran II C.1. 98 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Ketentuan umum dalam suatu peraturan perundang-undangan dimaksudkan agar batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim yang berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah memang harus dirumuskan sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda (vide Lampiran II C.1. 107 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan); Permohonan Pemohon yang mempersoalkan batasan pengertian atau hal lain mengenai P3K bersifat umum yang dijadikan dasar/pijakan bagi pasal berikutnya dalam UU 5/2014, sangat tidak beralasan dan tidak tepat, sebab ketentuan a quo adalah untuk memberikan batasan dan arah yang jelas mengenai P3K. Lagipula ketentuan umum a quo bukan merupakan norma yang bersifat mengatur dan tidak mengandung pertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, dalil Pemohon terhadap Pasal 1 angka 4 UU 5/2014 tidak beralasan menurut hukum;

[3.13.5] Bahwa untuk mewujudkan pemerintahan yang berkualitas dan mempunyai daya saing dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asia pada tahun 2015 dimana akan berdampak terjadinya persaingan yang ketat di kawasan Asia, sehingga diperlukan adanya tenaga profesional di dalam birokrasi. Untuk mengantisipasi hal tersebut maka UU 5/2014 memberlakukan pengadaan P3K. Itulah sebabnya, cara perekrutan P3K tidak harus meniti karier dari bawah dan P3K dapat langsung menduduki posisi yang dibutuhkan sebagai tenaga profesional;
P3K bukanlah pegawai honorer. Sejak disahkannya UU 5/2014 maka secara otomatis pegawai honorer dihapuskan. Bahkan P3K pun mendapat jaminan perlindungan dari Pemerintah berupa jaminan hari tua, jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan bantuan hukum;
Mahkamah sependapat dengan ahli Pemerintah Eko Prasojo yang menerangkan bahwa P3K diangkat dengan basis utama kualifikasi, kompetensi, kompetisi, dan kinerja. Keberadaan P3K setidak-tidaknya dimaksudkan dalam rangka memperkuat penerapan open career system, penegakan prinsip merit, dan mengubah lingkungan birokrasi dari comfort zone menuju competitive zone. P3K merupakan based practices aparatur sipil negara di negara-negara yang telah menerapkan performance based bureaucracy;
Oleh karena P3K merupakan tenaga profesional yang dapat menduduki posisi tertentu di pemerintahan maka sudah sewajarnya jika pemerintah merekrut tenaga P3K yang berkualitas. Bahkan untuk menjadi tenaga P3K tidaklah dibatasi usia maksimal 35 (tiga puluh lima) tahun. Hal ini berbeda dengan persyaratan menjadi CPNS yang dibatasi usia maksimal 35 (tiga puluh lima) tahun;
Meskipun demikian, tujuan perekrutan P3K dan pengadaan CPNS adalah untuk memperoleh tenaga profesional yang memiliki kualifikasi kompetensi, kompetisi, dan kinerja terbaik untuk berkarya di lingkungan pemerintahan dan birokrasi. Oleh karena itu maka sudah sewajarnya proses seleksi dan tes diselenggarakan, tanpa membedakan apakah seseorang yang akan direkrut telah memiliki pengalaman kerja di pemerintahan yang mempekerjakannya. Dimanapun seseorang memperoleh pengetahuan dan pengalaman kerja, walaupun di luar lingkungan pemerintahan sekalipun maka ia memiliki kesempatan yang sama dengan seseorang yang memiliki pengalaman kerja di lingkungan pemerintahan untuk menjadi P3K atau CPNS sepanjang ia memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan oleh pemerintah dan lulus seleksi. Hal ini sesuai dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang menjamin bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja;
Proses penerimaan P3K adalah hampir sama dengan proses pengadaan CPNS dari kalangan umum. Setiap tahapan proses rekrutmen dilakukan dengan penilaian objektif berdasarkan kompetensi, kualifikasi, kebutuhan instansi pemerintah, dan persyaratan lain yang dibutuhkan dalam jabatan. Metode yang digunakan dalam penyaringan P3K adalah menggunakan metode ujian Computer Assisted Test (CAT) CPNS dengan penilaian utama, yaitu tes wawasan kebangsaan, tes intelegensi umum dan tes kepribadian. Jika seorang P3K ingin menjadi seorang PNS maka yang bersangkutan harus mengikuti semua proses seleksi yang dilaksanakan bagi seorang CPNS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian berdasarkan pertimbangan hukum dalam kedua putusan Mahkamah tersebut sudah jelas bahwa seharusnya para tenaga honorer tidak perlu khawatir bahwa hak konstitusionalnya akan terlanggar dengan diberlakukannya UU ASN karena faktanya UU ASN yang terkait dengan hak pegawai honorer tetap ada dan mengakomodir hak para tenaga honorer yang saat ini masih ada.

[3.17] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, regulasi manajemen ASN yang saat ini sudah berlaku memang memerlukan waktu yang cukup untuk dapat dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Batas waktu lima tahun sebagaimana diatur dalam peraturan pelaksana UU ASN bagi para tenaga honorer adalah batas waktu untuk menentukan pilihan tanpa menghilangkan hak para tenaga honorer yang saat ini masih ada. Dalam hal ini, pemerintah agar mempertimbangkan setiap kebijakan yang diambil untuk dapat melindungi hak-hak tenaga honorer dengan memperhatikan persyaratan khusus sesuai dengan tujuan pembentukan UU ASN sehingga tercipta pegawai ASN yang profesional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut, dalil para Pemohon berkaitan inkonstitusionalitas Pasal 6, Pasal 58 ayat (1) dan Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) UU ASN tidak beralasan menurut hukum.

[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil Permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.