Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dan/Atau Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 48/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-01-2020

Surya Efitrimen, Nursari, dan Sulung Muna Rimbawan, dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Veri Junaidi, S.H., M.H, Muh Salman Darwis, S.H., M.H.Li., dan Slamet Santoso, S.H.

1. Frasa “Panwas Kabupaten/Kota” dalam ketentuan Pasal 1 angka 17; Pasal 1 angka 18; Pasal 5 ayat (2) huruf e; Pasal 22A ayat (1); Pasal 22A ayat (3); Pasal 22B huruf e; Pasal 22B huruf f; Pasal 22B huruf h; Pasal 22B huruf j; Pasal 22D; Pasal 23 ayat (1); Pasal 23 ayat (2); Pasal 24 ayat (3); Pasal 25 ayat (2); Pasal 30; Pasal 32; Pasal 34 huruf b; Pasal 34 huruf c; Pasal 34 huruf d; Pasal 82 ayat (5); Pasal 83; Pasal 104 ayat (11); Pasal 105 ayat (1); Pasal 105 ayat (7); Pasal 110 ayat (1); Pasal 110 ayat (3); Pasal 119 ayat (1); Pasal 119 ayat (2); Pasal 134 ayat (1); Pasal 134 ayat (5); Pasal 134 ayat (6); Pasal 135 ayat (2); Pasal 141; Pasal 144 ayat (1); Pasal 144 ayat (2); Pasal 144 ayat (3); Pasal 146 ayat (1); Pasal 146 ayat (3); Pasal 152 ayat (1); Pasal 152 ayat (2); Pasal 154 ayat (1); Pasal 154 ayat (2); Pasal 193 ayat (1); Pasal 193 ayat (2); Pasal 193B ayat (2) UU Pilkada dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan mengikat sepanjang tidak dimaknai menjadi “Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten/Kota”;

2. Frasa “masing-masing beranggotakan 3 (tiga) orang” dalam ketentuan Pasal 23 ayat (3) UU Pilkada dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan mengikat sepanjang tidak dimaknai menjadi “sama dengan jumlah anggota Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksudkan dalam UU Pemilu”

3. Ketentuan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada

Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5), Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian pasal-pasal a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.14.1] Bahwa berkenaan dengan penyelenggara Pilkada, dalam pertimbangan hukum Sub-paragraf [3.10.1.4] poin 7, halaman 97, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XVI/2018, bertanggal 23 Juli 2018, Mahkamah menyatakan:
“.....Sekalipun rezim hukum Pemilu dan Pilkada dianggap berbeda, namun penyelenggara Pilkada yang diberi tugas oleh UU 10/2016 untuk melaksanakan Pilkada adalah penyelenggara Pemilu yang dibentuk sesuai dengan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945. Oleh karena itu, struktur penyelenggara Pemilu dan Pilkada seharusnya tetap sama meskipun melaksanakan mandat dari dua undang-undang yang berbeda.”
Merujuk pertimbangan hukum sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XVI/2018 a quo, dalam memosisikan penyelenggara pemilihan, Mahkamah tidak membedakan antara penyelenggara pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana termaktub dalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 dengan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota sebagaimana termaktub di dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang di dalam UU Pilkada termasuk juga pemilihan Wakil Gubernur, Wakil Bupati dan Wakil Walikota. Sesuai dengan pertimbangan dalam putusan a quo, kesemua pemilihan tersebut diselenggarakan sesuai dengan semangat Pasal 22E ayat (5) UUD 1945;


[3.15.2] Bahwa terjadinya perbedaan nomenklatur kelembagaan pengawas pemilihan antara yang diatur dalam UU Pilkada dengan UU 7/2017 disebabkan terjadinya perubahan regulasi pemilu. Perubahan tersebut terjadi karena Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, UU 15/2011, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD digabung satu undang-undang, yaitu menjadi UU 7/2017. Secara faktual, sekalipun nomenklatur pengawas pemilu di kabupaten/kota, sebagaimana diatur dalam UU Pilkada sama dengan apa yang pernah diatur dalam UU 15/2011, namun ketika substansi UU 15/2011 telah diganti dengan UU 7/2017, nomenkaltur pengawas pemilihan masih belum lagi terjadi keseragaman untuk semua jenis pemilihan. Dalam hal ini, lembaga pengawas pemilihan, in casu pengawas pemilihan kepala daerah di tingkat kabupaten/kota dalam pemilihan bupati dan wakil bupati dan walikota dan wakil walikota dilaksanakan oleh Panwaslu Kabupaten/Kota.

[3.15.3] Bahwa ketika UU 7/2017 disahkan, dalam Pasal 571 huruf b UU a quo ditegaskan “Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”. Ketentuan Penutup UU 7/2017 tidak saja menegaskan ihwal substansi status UU 15/2011 telah diadopsi dalam UU 7/2017, melainkan juga menunjukkan terjadinya peralihan atau pergantian UU yang menjadi dasar atau rujukan pengaturan kelembagaan penyelenggara pemilu. Pada saat dasar hukum kelembagaan penyelenggara pemilu berganti, maka segala peraturan perundang-undangan yang merujuk pada UU 15/2011 seharusnya menyesuaikan pula dan/atau disesuaikan dengan pergantian yang terjadi.

[3.15.4] Bahwa ketika UU Pilkada yang mengatur lembaga pengawas pemilihan yang notabene adalah pengawas pemilu sebagaimana diatur oleh UU 7/2017 tidak disesuaikan dengan perubahan nomenklatur pengawas pemilu tingkat kabupaten/kota, hal demikian akan menyebabkan terjadinya ketidakseragaman pengaturan dalam penyelenggaraan fungsi pengawasan terutama dalam pemilihan kepala daerah. Ketidakseragaman tersebut dapat berdampak terhadap munculnya dua institusi pengawas penyelenggaraan pemilihan di tingkat kabupetan/kota dalam pemilihan anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan anggota DPRD dengan pilkada. Padahal, kelembagaan Bawaslu sebagaimana diatur dalam UU 7/2017 adalah lembaga yang diberi status atau sifat tetap (permanen) hingga di tingkat kabupaten/kota. Sementara itu, UU Pilkada justru mengatur pembentukan, nomenklatur, dan sifat yang berbeda terhadap lembaga pengawas dalam pemilihan kepala daerah.

[3.15.5] Bahwa dengan terjadinya perubahan kelembagaan Bawaslu Kabupaten/Kota berdasarkan UU 7/2017, maka hal tersebut tidak hanya berdampak terhadap kedudukan Bawaslu Kabupaten/Kota dalam mengawasi penyelenggaraan pemilu, melainkan juga dalam menyelenggarakan pengawasan pemilihan kepala daerah. Artinya, dengan adanya tugas dan wewenang Bawaslu mengawasi pemilihan kepala daerah sesuai UU Pilkada, perubahan kelembagaan Bawaslu melalui UU 7/2017 dengan sendirinya berlaku pula dalam pelaksanaan pilkada, sehingga penyesuaian terhadap perubahan dimaksud dalam UU Pilkada menjadi sangat penting. Dalam konteks ini, UU 7/2017 sebagai landasan hukum yang mengatur ihwal kelembagaan Bawaslu harus dijadikan rujukan ketika lembaga tersebut diberi tugas dan wewenang untuk mengawasi pilkada. Dalam arti, tugas dan wewenang pengawasan pemilihan dalam UU Pilkada dilaksanakan oleh lembaga Bawaslu sesuai dengan nomenklatur, sifat dan hierarki kelembagannya sebagaimana dimaksud dalam UU 7/2017.

[3.15.6] Bahwa dengan adanya perubahan yang dilakukan oleh UU 7/2017, pengawas pemilu tingkat kabupaten/kota yang awalnya hanyalah sebagai lembaga ad hoc sebagaimana diatur dalam UU Pilkada secara konstitusional harus pula menyesuaikan menjadi lembaga yang bersifat tetap dengan nama Bawaslu Kabupaten/Kota serta mengikuti perubahan lain sebagaimana diatur dalam UU 7/2017. Selama tidak dilakukan penyesuaian kelembagaan pengawas pemilihan tingkat kabupaten/kota sebagaimana diatur dalam UU Pilkada dengan perubahan dalam UU 7/2017, hal demikian menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum keberadaan lembaga pengawas pemilihan kepala daerah di kabupaten/kota. Bahkan, sebagaimana telah dinyatakan dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XVI/2018 di atas maka sesuai dengan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945, struktur penyelenggara pemilihan untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan anggota DPRD, dan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah seharusnya tetap sama meskipun melaksanakan mandat dari dua undang-undang yang berbeda.

[3.15.7] Bahwa dengan pertimbangan hukum sebagaimana dikemukakan di atas, dalil para Pemohon yang menyatakan norma Pasal 1 angka 17; Pasal 1 angka 18; Pasal 5 ayat (2) huruf e; Pasal 22A ayat (1); Pasal 22A ayat (3); Pasal 22B huruf e; Pasal 22B huruf f; Pasal 22B huruf h; Pasal 22B huruf j; Pasal 22D; Pasal 23 ayat (1); Pasal 23 ayat (2); Pasal 24 ayat (3); Pasal 25 ayat (2); Pasal 30; Pasal 32; Pasal 34 huruf b; Pasal 34 huruf c; Pasal 34 huruf d; Pasal 82 ayat (5); Pasal 83; Pasal 104 ayat (11); Pasal 105 ayat (1); Pasal 105 ayat (7); Pasal 110 ayat (1); Pasal 110 ayat (3); Pasal 119 ayat (1); Pasal 119 ayat (2); Pasal 134 ayat (1); Pasal 134 ayat (5); Pasal 134 ayat (6); Pasal 135 ayat (2); Pasal 141; Pasal 144 ayat (1); Pasal 144 ayat (2); Pasal 144 ayat (3); Pasal 146 ayat (1); Pasal 146 ayat (3); Pasal 152 ayat (1); Pasal 152 ayat (2); Pasal 154 ayat (1); Pasal 154 ayat (2); Pasal 193 ayat (1); Pasal 193 ayat (2); Pasal 193B ayat (2) UU Pilkada sepanjang frasa “Panwas Kabupaten/Kota” tidak dimaknai menjadi frasa “Badan Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota” bertentangan dengan UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum.

[3.16] Menimbang bahwa selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan norma yang dimohonkan untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan mengikat sepanjang frasa “masing-masing beranggotakan 3 (tiga) orang” dalam Pasal 23 ayat (3) UU Pilkada tidak dimaknai “sama dengan jumlah anggota Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksudkan dalam UU Pemilu” adalah bertentangan dengan UUD 1945. Perihal dalil tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut.

[3.16.1] Bahwa secara substansi, ketika materi muatan UU 15/2011 diadopsi ke dalam UU 7/2017, terdapat beberapa perubahan terkait kelembagaan Bawaslu dan jajarannya, khususnya Bawaslu Kabupaten/Kota. Sebagaimana telah dikemukakan dalam pertimbangan sebelumnya, perubahan dimaksud terkait dengan nomenklatur kelembagaan, sifat kelembagaan, dan komposisi keanggotaan bawaslu provinsi dan pengawas pemilu tingkat kabupaten/kota. Terkait kelembagaan pengawas di tingkat kabupaten/kota, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
1. Nomenklatur pengawas tingkat kabupaten/kota yang diatur dalam UU 15/2011 adalah Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota (Panwaslu Kabupaten/Kota). Adapun dalam UU 7/2017, nomenklatur tersebut diubah menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota. Nomenklatur pengawas tingkat kabupaten/kota sebagaimana diatur dalam UU 15/2011 merupakan dasar atau rujukan dalam menentukan nomenklatur pengawas yang diatur dalam UU Pilkada.
2. Terkait sifat kelembagaan, Panwaslu Kabupaten/Kota dan/atau Panwas Kabupaten/Kota yang diatur dalam UU 15/2011 dan UU Pilkada bersifat ad-hoc. Dalam hal ini, Panwas Kabupaten/Kota tersebut hanya dibentuk 1 (satu) bulan menjelang tahapan pemilu/pilkada dan berakhir 2 (dua) bulan setelah seluruh tahapan pemilu berakhir. Dengan diadopsinya substansi UU 15/2011 ke dalam UU 7/2017, kelembagaan Panwaslu Kabupaten/Kota yang diubah menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota ditetapkan sebagai lembaga yang bersifat tetap (permanen), di mana keanggotaanya memegang jabatan selama 5 (lima) tahun.
3. Komposisi keanggotaan Bawaslu Provinsi sebagaimana diatur dalam UU 15/2011 sebanyak 3 (tiga) orang dan anggota Panwaslu Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tiga) orang. Dengan adanya pergantian undang-undang yang mengatur kelembagaan penyelenggara pemilu, komposisi anggota Bawaslu Provinsi menjadi 5 (lima) atau 7 (tujuh) orang, dan anggota Bawaslu Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tiga) atau 5 (lima) orang. Selain, komposisi jumlah keanggotaan, perubahan juga terjadi terkait dengan mekanisme pengisian anggota Bawaslu Kabupaten/Kota. Awalnya, melalui UU 15/2011, anggota Panwaslu Kabupaten/Kota diseleksi dan ditetapkan oleh Bawaslu Provinsi, kemudian melalui UU 7/2017 diubah menjadi proses seleksi melalui Tim Seleksi yang dibentuk oleh Bawaslu.

[3.16.2] Bahwa dengan terjadinya perubahan substansi pengaturan kelembagaan pengawas pemilu kabupaten/kota dan juga komposisi keanggotaan Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota melalui UU 7/2017, maka sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, nomenklatur lembaga, sifat kelembagaan dan komposisi keanggotaan mesti disesuaikan dengan UU 7/2017 sebagai ketentuan yang di antaranya mengatur lembaga penyelenggara pemilu. Apabila penyesuaian tidak dilakukan, akan berdampak terjadinya ketidakpastian hukum kelembagaan lembaga pengawas pemilu, termasuk pengawasan terhadap pemilihan kepala daerah. Selain itu, berkenaan pula dengan jumlah anggota Bawaslu Provinsi dan jumlah anggota Bawaslu Kabupaten/Kota, dalam Paragraf [3.18] pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-XVI/2018, bertanggal 28 Maret 2019, Mahkamah telah mempertimbangkan, antara lain menyatakan bahwa jumlah anggota Bawaslu Provinsi dan jumlah anggota Bawaslu Kabupaten/Kota sebagaimana termaktub di dalam UU 7/2017 dinilai sebagai bagian dari agenda setting rasionalisasi beban kerja penyelenggara pemilu sesuai dengan tugas, wewenang, kewajiban, dan beban kerja masing-masing lembaga. Artinya, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-XVI/2018 a quo hendak menyatakan bahwa jumlah penyelenggara pemilu di setiap tingkatan sebagaimana diatur dalam UU 7/2017, termasuk jumlah anggota Bawaslu Provinsi dan jumlah anggota Bawaslu Kabupaten/Kota adalah konstitusional. Dengan telah dinyatakan bahwa frasa “Panwas Kabupaten/Kota” dimaknai “Badan Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota”, konstitusional, maka mempersamakan jumlah anggota Bawaslu Provinsi dan jumlah anggota Bawaslu Kabupaten/Kota sesuai dengan jumlah dalam UU 7/2017 juga merupakan pilihan yang konstitusional, baik dalam penyelenggaraan pemilu maupun pemilihan kepala daerah.

[3.16.3] Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum dalam Sub-paragraf [3.16.1] dan Sub-paragraf [3.16.2] di atas, bilamana jumlah anggota Bawaslu Provinsi dan jumlah anggota Bawaslu Kabupaten/Kota dalam Pasal 23 ayat (3) UU Pilkada tidak dimaknai sama dengan jumlah anggota Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksudkan dalam UU 7/2017, tindakan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan norma Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 23 ayat (3) UU Pilkada beralasan menurut hukum.

[3.17] Menimbang bahwa berkenaan dengan kategori ketiga, terkait dengan dalil para Pemohon mengenai wewenang Bawaslu Provinsi dalam membentuk dan menetapkan Panwas Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada adalah bertentangan dengan prinsip kepastian hukum, Mahkamah perlu menegaskan kembali ihwal pengisian jabatan anggota Bawaslu Kabupaten/Kota yang kemudian diberi wewenang mengawasi pemilihan di tingkat kabupaten/kota seharusnya juga disesuaikan dengan perubahan yang terjadi dalam UU 7/2017. Berkenaan dengan dalil permohonan a quo, Mahkamah
mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.17.1] Bahwa sejalan dengan ketentuan Pasal 24 ayat (2) UU Pilkada, wewenang pembentukan Panwas Kabupaten/Kota oleh Bawaslu Provinsi juga termuat dalam Pasal 1 angka 17 UU Pilkada dan Pasal 5 ayat (2) huruf e UU Pilkada. Dalam norma a quo ditegaskan bahwa Panwas Kabupaten/Kota adalah panitia yang dibentuk oleh Bawaslu Provinsi dan menjadi salah satu tahapan persiapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Dengan dipertimbangkan dan dinyatakannya oleh Mahkamah kelembagaan Panwaslu Kabupaten/Kota menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota yang proses pengisiannya dilakukan melalui sebuah tim seleksi yang dibentuk oleh Bawaslu, maka definisi Panwas Kabupaten/Kota dalam Pasal 1 angka 17 UU Pilkada yang masih mencantumkan frasa “dibentuk oleh Bawaslu Provinsi” harus juga disesuaikan agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum. Apalagi, sebagaimana dipertimbangkan pada Paragraf [3.15], Panwas Kabupaten/Kota telah dimaknai menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota, maka semua pengaturan yang menentukan batas waktu pembentukan Bawaslu Kabupaten/Kota sebagai bagian dari tahapan persiapan pilkada dan Panwas Kabupaten/Kota dibentuk dan ditetapkan oleh Bawaslu Provinsi, karena alasan agar tidak terjadi ketidakpastian hukum, harus pula dinyatakan inkonstitusional.

[3.17.2] Bahwa terkait dengan kepastian hukum sebagaimana dipertimbangkan dalam Sub-paragraf [3.17.1] di atas, sekalipun tidak dimohonkan dan didalilkan oleh para Pemohon dalam permohonannya, disebabkan substansinya berkelindan dengan “batas waktu pembentukan Bawaslu Kabupaten/Kota sebagai bagian dari tahapan persiapan pilkada dan Panwas Kabupaten/Kota dibentuk dan ditetapkan oleh bawaslu Provinsi” sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, ketentuan dalam Pasal 1 angka 17 UU Pilkada tidak cukup hanya dengan menyatakan frasa “Panwas Kabupaten/Kota” adalah konstitusional sepanjang dimaknai menjadi “Bawaslu Kabupaten/Kota”, tetapi juga demi alasan kepastian hukum, frasa “dibentuk oleh Bawaslu Provinsi” haruslah tidak berlaku sehingga pengisiannya merujuk sesuai dengan ketentuan UU 7/2017.

[3.17.3] Bahwa begitu pula dengan Pasal 5 ayat (2) huruf e UU Pilkada, karena alasan untuk kepastian hukum pula, meski tidak didalilkan dan tidak dimohonkan oleh para Pemohon, tidak cukup hanya dengan menyatakan frasa “Panwaslu Kabupaten/Kota” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai menjadi “Bawaslu Kabupaten/Kota” harus pula dinyatakan bahwa frasa “Panwaslu Kabupaten/Kota” dalam Pasal 5 ayat (2) huruf e UU Pilkada tidak berlaku dan tidak lagi menjadi dari rumusan norma a quo.

[3.17.4] Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, dalil para Pemohon sepanjang terkait Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada adalah beralasan menurut hukum.

[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, dalil-dalil para Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.