Erko Mojra
Pasal 197 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf h dan ayat (2) KUHAP
Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28I ayat (4), Pasal 28J ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian KUHAP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.3] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo namun sebelum Mahkamah mempertimbangkan permohonan lebih lanjut mengenai kedudukan hukum Pemohon dan pokok permohonan, Mahkamah perlu terlebih dahulu mempertimbangkan permohonan Pemohon sebagai berikut:
[3.3.1] Bahwa setelah mencermati secara saksama permohonan Pemohon, telah ternyata Pemohon mengajukan permohonan pengujian terhadap Pasal 197 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf h dan ayat (2) KUHAP namun dalam menguraikan alasan permohonannya, Pemohon tidak secara sistematis menjelaskan argumentasinya, khususnya terhadap alasan inkonstitusionalitas norma yang diajukan untuk diuji. Selain itu, dalam alasan permohonannya, Pemohon menguraikan secara panjang lebar mengenai kasus konkrit yang dialami Pemohon namun tidak menguraikan dengan jelas kaitan norma yang diajukan untuk diuji dengan kasus konkrit yang dialami Pemohon. Bahkan, Pemohon sejak awal telah menyatakan dalam permohonannya, bahwa permasalahan yang dihadapi oleh Pemohon adalah karena adanya penyalahgunaan wewenang oleh oknum dalam usaha menjadikan Pemohon sebagai tersangka. Pemohon dalam menguraikan permohonannya mengaitkannya dengan berbagai persoalan konkrit yang dialami Pemohon, di antaranya mengenai delik pidana yang disangkakan terhadap Pemohon dan persoalan penyalahgunaan wewenang dalam penyidikan.
[3.3.2] Bahwa norma yang dimohonkan pengujian, yaitu Pasal 197 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf h dan ayat (2) KUHAP pada pokoknya adalah mengatur mengenai sistematika atau isi dari surat putusan pemidanaan pada pengadilan tingkat pertama [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 103/PUU-XIV/2016 bertanggal 10 Oktober 2017]. Terhadap pokok permohonan Pemohon, dikaitkan dengan sistematika permohonan pengujian undang-undang, Pasal 51A ayat (2) UU MK dan Pasal 5 ayat (1) huruf b Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 06/2005), yang pada pokoknya menyatakan permohonan harus dengan sistematika sebagai berikut:
“Uraian mengenai hal yang menjadi dasar Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b untuk perkara Pengujian undang-undang meliputi:
a. kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian;
b. kedudukan hukum pemohon yang berisi uraian tentang hak/dan atau kewenangan konstitusi pemohon yang dianggap dirugikan dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian, dan
c. alasan Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b diuraikan dengan jelas dan terperinci.
Setelah Mahkamah membaca dengan saksama permohonan Pemohon dan apabila dikaitkan dengan aturan tersebut, telah ternyata permohonan Pemohon hanya memuat kewenangan Mahkamah dan kedudukan hukum serta petitum tanpa menyertakan alasan permohonan (fundamentum petendi atau posita). Tanpa adanya uraian mengenai alasan permohonan maka sebuah permohonan akan kehilangan landasan atau dasar argumentasi untuk menilai materi apa yang sesungguhnya dipersoalkan Pemohon.
[3.3.3] Bahwa selain itu, Pemohon dalam bagian Petitum memohon adanya penambahan norma pada Pasal 197 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf h dan ayat (2) KUHAP yang membuat permohonan Pemohon menjadi semakin tidak jelas. Selain itu tidak terdapat kesesuaian antara alasan- alasan mengajukan permohonan (fundamentum petendi atau posita) dengan hal- hal yang diminta untuk diputus (petitum).
[3.3.4] Bahwa terkait dengan uraian dan sistematika permohonan Pemohon, dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang dilaksanakan pada tanggal 19 November 2019, Panel Hakim telah menasihatkan kepada Pemohon untuk menguraikan dengan jelas mengenai alasan Pemohon yang menganggap bahwa norma undang-undang yang diajukan pengujian tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan mempersingkat uraian mengenai kasus konkrit yang dialami Pemohon, agar permohonan Pemohon dapat lebih fokus. Lebih lanjut, Panel Hakim juga telah menyarankan kepada Pemohon untuk berkonsultasi dengan lembaga bantuan hukum atau dengan pihak lain yang memahami hukum acara Mahkamah Konstitusi dan kewenangan Mahkamah atau setidaknya mempelajari format permohonan pengujian undang-undang [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 69/PUU-XVII/2019, tanggal 19 November 2019]. Namun, dalam Perbaikan Permohonan yang diterima Mahkamah pada tanggal 2 Desember 2019, permohonan Pemohon tetap tidak jelas karena alasan permohonan bercampur dengan banyaknya uraian kasus konkrit yang dialami oleh Pemohon.
Bahwa apabila dicermati lebih lanjut, Pemohon tetap tidak menguraikan permohonannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51A ayat (2) UU MK dan Pasal 5 ayat (1) PMK 06/2005 termasuk tidak menguraikan dengan jelas mengenai alasan pertentangan antara norma yang diuji dengan UUD 1945 yang semestinya termuat dalam alasan permohonan (fundamentum petendi atau posita). Dengan demikian permohonan Pemohon haruslah dinyatakan tidak jelas atau kabur.
[3.3.5] Bahwa andaikatapun permasalahan konstitusionalitas norma yang dimaksud oleh Pemohon adalah dikaitkan dengan syarat batal demi hukum terhadap putusan pemidanaan di pengadilan tingkat pertama, menurut Mahkamah hal tersebut telah jelas dengan prinsip bahwa batal demi hukumnya suatu putusan pengadilan adalah hanya dapat diputus oleh pengadilan yang lebih tinggi. Sehingga, terpenuhi atau tidaknya syarat Pasal 197 ayat (1) KUHAP terhadap suatu putusan pemidanaan di pengadilan tingkat pertama merupakan kewenangan dari pengadilan di atasnya untuk menilai dan menyatakan batal demi hukum putusan a quo, atau dengan kata lain, putusan pengadilan tidak dapat dinyatakan “batal demi hukum” kecuali oleh putusan pengadilan yang lebih tinggi tingkatannya yang menyatakan demikian.
[3.4] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon adalah tidak jelas atau kabur sehingga kedudukan hukum dan pokok permohonan tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430