Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 37/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 26-02-2020

Arjuna Pemantau Pemilu, dkk yang berjumlah 7 Pemohon, dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Viktor Santoso Tandiasa, S.H., M.H., dkk

Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu

Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 alinea ke-4, Pasal 28G, Pasal 28H ayat (1), Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian frasa pada bagian Menimbang dan bagian Penjelasan I (Umum) Paragraf 7 dan 8 UU 12/1969 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.14] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan dalil para Pemohon, penting bagi Mahkamah mengemukakan dasar penyelenggaraan Pemilu Serentak sebagaimana termaktub di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU- XI/2013. Dalam Putusan yang diucapkan pada tanggal 23 Januari 2014 tersebut, Mahkamah mempertimbangkan antara lain:

[3.17] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, untuk menentukan konstitusionalitas penyelenggaraan Pilpres apakah setelah atau bersamaan dengan penyelenggaraan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan, paling tidak harus memperhatikan tiga pertimbangan pokok, yaitu kaitan antara sistem pemilihan dan pilihan sistem pemerintahan presidensial, original intent dari pembentuk UUD 1945, efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilihan umum, serta hak warga negara untuk memilih secara cerdas.

Berdasarkan pertimbangan pokok tersebut, Mahkamah menyatakan pemisahan pemilihan umum presiden dan wakil presiden dengan pemilihan umum anggota legislatif sebagaimana tertuang dalam norma Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Artinya, secara substantif Mahkamah berada dalam posisi bahwa memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum presiden dan wakil presiden dengan pemilihan umum anggota legislatif adalah bertentangan dengan UUD 1945. Karena dengan pertimbangan pokok tersebut, Mahkamah berpendirian bahwa pemilihan umum presiden dan wakil presiden dengan pemilihan umum anggota legislatif yang konstitusional adalah yang dilaksanakan secara serentak;

[3.15] Menimbang bahwa setelah melihat bentangan empirik dalam penyelenggaraan Pemilu Serentak Tahun 2019, dengan alasan mewujudkan pemilihan umum yang berkeadilan dan berkemanusiaan sebagai bentuk perwujudan “living constitution”, para Pemohon berupaya untuk menjemput dan menghidupkan kembali semangat norma Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah. Dengan upaya menjemput dan menghidupkan kembali norma a quo, para Pemohon menghendaki agar Mahkamah menyatakan bahwa pemilihan umum presiden dan wakil presiden dengan pemilihan umum anggota legislatif yang diselenggarakan serentak adalah bertentangan dengan UUD 1945 atau inkonstitusional;

[3.16] Menimbang bahwa berkenaan dengan kehendak para Pemohon tersebut, praktik pengujian konstitusionalitas undang-undang yang terjadi selama ini, perubahan pendirian Mahkamah dapat dimungkinkan. Berkenaan dengan kemungkinan untuk mengubah pendirian dari putusan sebelumnya tersebut, misalnya, dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XVII/2019, sebagaimana halnya juga digunakan oleh para Pemohon untuk menguatkan dalil permohonannya, Mahkamah menyatakan:

[3.18] Menimbang bahwa secara doktriner maupun praktik, dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang, perubahan pendirian Mahkamah bukanlah sesuatu yang tanpa dasar. Hal demikian merupakan sesuatu yang lazim terjadi. Bahkan, misalnya, di Amerika Serikat yang berada dalam tradisi common law, yang sangat ketat menerapkan asas precedent atau stare decisis atau res judicata, pun telah menjadi praktik yang lumrah di mana pengadilan, khususnya Mahkamah Agung Amerika Serikat (yang sekaligus berfungsi sebagai Mahkamah Konstitusi), mengubah pendiriannya dalam soal-soal yang berkait dengan konstitusi (hlm. 63).

Sementara itu, berkenaan dengan permohonan a quo, Mahkamah berpandangan, menyandarkan basis argumentasi untuk mengubah pendirian Mahkamah kepada bentangan empirik yang terjadi dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum Serentak Tahun 2019 masih jauh dari cukup dan tidaklah sesederhana itu. Bagi Mahkamah, berbagai catatan sekitar penyelenggaraan pemilihan umum serentak harus mendapat perhatian khusus. Namun semua itu tidak cukup untuk mengubah pendirian Mahkamah karena bagaimanapun pertimbangan untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial, sebagai bentuk sistem pemerintahan yang disepakati para pengubah UUD 1945, lebih mendasar dalam menilai konstitusionalitas pemilihan umum presiden dan wakil presiden diselenggarakan serentak dengan pemilihan umum anggota legislatif. Penyelenggaraan pemilihan umum presiden/wakil presiden dan pemilihan umum anggota legislatif (concurrent election), secara teori maupun praktik, diyakini mampu memberikan kontribusi atas penguatan sistem pemerintahan presidensial, terutama di negara-negara yang menganut sistem kepartaian majemuk.

[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.